Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mengenang Dr Aswar Hasan: Dedikasi hingga Akhir Hayat dan Persahabatan Abadi

Dr Aswar Hasan SSi MSi atau yang akrab disapa H Aswar Hasan, telah berpulang. Sunyi yang ditinggalkannya

Editor: Edi Sumardi
TRIBUN-TIMUR.COM/KASWADI
SAHABAT ASWAR HASAN - Mantan Wakil Dekan III FISIP Unhas Hasrullah. Dia juga sahabat almarhum Dr Aswar Hasan. 

Dr Hasrullah MA

Dosen Ilmu Komunikasi FISIP Unhas, Penulis, Sahabat Almarhum Dr Aswar Hasan

DR Aswar Hasan SSi MSi atau yang akrab disapa H Aswar Hasan, telah berpulang.

Sunyi yang ditinggalkannya bukanlah kehampaan, melainkan sunyi yang penuh gema: suara kenangan yang bergaung, gemerisik kertas dari tulisan-tulisan terakhirnya, dan tawa persahabatan yang telah ia rajut sepanjang hayat.

Kepergiannya adalah sebuah puisi duka, dengan bait-bait yang ditulis dari tinta dedikasi dan cinta.

Seruan Forum Dosen, “Jangan Biarkan Aswar Hasan Pergi Tanpa Arti,” menggema bukan sebagai pekik protes, melainkan sebagai bisikan janji khidmat dari hati ke hati—sumpah untuk melanjutkan setiap langkah sebagai penghormatan bagi langkah terakhirnya.

Baca juga: Forum Dosen: Jangan Biarkan Aswar Hasan Pergi Tanpa Arti

Cahaya pikirannya tidak boleh padam, meski angin kesementaraan mencoba menghapus jejaknya.

Sehari sebelum Matahari benar-benar tenggelam dari hidupnya, ia masih mengirimkan sebuah tulisan kepada saya sebagai sesama penulis.

Bayangkan, dalam sakit atau mungkin dalam lelah yang luar biasa, jarinya tetap menari di atas papan ketik, pikirannya masih berkobar demi ilmu yang ingin ia bagi.

Baca juga: Rektor Unhas Prof Jamaluddin Jompa: Saya Berutang Tulisan ke Aswar Hasan

Itu bukan sekadar tulisan, melainkan wasiat terakhir seorang pecinta pengetahuan. 

Wasiat paling berharga: bahwa hidup harus berarti hingga detik penghabisan.

Pelajaran itu ia sampaikan tanpa keluh, tanpa ratap, seakan ingin menunjukkan bahwa cinta kepada ilmu adalah kesetiaan yang tidak mengenal batas waktu.

Persahabatan dengan Hasrullah adalah simfoni yang dimainkan dalam dua nada, berpadu harmoni, saling menguatkan selama puluhan tahun.

Mereka ibarat dua pohon yang tumbuh berdampingan di tanah kampus yang sama.

Akar mereka bertaut di bumi, batang mereka saling menopang kala badai datang, dahan mereka menjulang bersama meraih cahaya.

Demikianlah metafora persahabatan itu—teguh, indah, dan penuh makna.

Mereka memulai perjalanan sebagai dosen muda, dengan idealisme yang menyala dan masa depan yang masih berupa kanvas putih.

Satu menjadi cermin bagi yang lain.

Saat ragu dan lelah menghampiri, segelas kopi dan sebaris kalimat penyemangat mampu menyalakan kembali nyala yang meredup. 

Mereka sama-sama jatuh bangun mengejar gelar doktor, menanggung sunyi malam-malam panjang menyusun disertasi, hingga berbagi tawa ketika akhirnya gelar “Dr” berhasil mereka sandang.

Persahabatan itu tidak pernah berhenti di pesta perayaan, melainkan hadir di medan pertempuran, ketika kesulitan paling berat harus dihadapi bersama.

Waktu berjalan, uban perlahan menghiasi pelipis, namun ikatan itu tidak pernah pudar. Justru, seperti anggur tua, semakin lama semakin bernilai.

Senyum mereka tetap tulus saat melihat satu sama lain berhasil.

Baca juga: Iqbal Sultan: Aswar Hasan, dari Dosen hingga Dipercaya Jadi Wali Nikah

Mereka menjadi tempat pulang bagi cerita yang tak butuh disaring, dalam dunia akademik yang keras, persahabatan itu adalah oasis kehangatan.

Kini, satu pohon telah tumbang, dan Hasrullah harus menanggung sunyi paling dalam.

Sunyi yang hanya dipahami mereka yang kehilangan separuh jiwanya.

Kursi di sebelahnya kini kosong, telepon yang biasanya berbunyi dengan sapaan akrab, kini diam membisu.

Namun, Aswar Hasan sesungguhnya tidak pernah benar-benar pergi.

Ia hidup di setiap jengkal kampus ini, di setiap buku yang tersusun di perpustakaan, di setiap kelas yang pernah ia masuki, dan di setiap semangat yang ia titipkan pada sahabatnya.

Kini Hasrullahlah yang menjadi penjaga api warisan itu.

Kita semua, yang mengenangnya, tidak boleh membiarkan kepergiannya berlalu tanpa makna.

Kita harus menjadikan sunyi ini sebagai musik pengiring untuk melanjutkan perjuangannya: menjadi sahabat setia sebagaimana ia pada Hasrullah, menjadi dosen berdedikasi sebagaimana ia pada ilmunya, dan menjadi manusia tulus sebagaimana ia pada semua orang.

H Aswar Hasan tidak meninggalkan kehampaan, ia hanya menutup babnya dengan kesempurnaan.

Kini ia hadir dalam setiap napas kampus ini, dalam pelukan hangat antarsesama dosen, dalam setiap tulisan yang lahir dari ketulusan, dan dalam persahabatan sejati yang abadi melintasi zaman.

Selamat jalan, Guru. Selamat jalan, Sahabat.

Terima kasih telah menunjukkan kepada kami bahwa bahkan dalam perpisahan, ada keindahan yang abadi.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved