Opini
Desentralisasi, Keterbatasan Fiskal, dan Inovasi Pemerintah Daerah di Indonesia
Sementara pusat "menikmati" kenaikan anggaran belanja, daerah terpaksa harus gigit jari mencari celah pembiayaan melalui sumber PAD.
Para pengambil kebijakan di daerah, terpaksa menempuh “jalan pintas” menaikkan PBB-P2, sebagaimana terjadi di Kabupaten Pati, Kabupaten Bone, Kabupaten Jombang, dan sejumlah wilayah lain yang mengalami lonjakan hingga 250–1000 % .
Kenaikan ini sering berorientasi pada kebutuhan jangka pendek untuk mendongkrak Pendapatan Asli Daerah (PAD) guna menutupi kekurangan dana pembangunan.
Namun, lonjakan mendadak ini juga memicu gelombang protes di masyarakat, khususnya dari kalangan menengah-bawah, pensiunan, dan pelaku usaha kecil-menengah yang terdampak penurunan daya beli, likuiditas usaha, hingga kepatuhan pajak seperti yang telah diproyeksikan akan berdampak langsung terhadap layanan publik dan perlambatan pembangunan daerah, memicu gejolak sosial-ekonomi setempat.
Ketergantungan fiskal daerah pada transfer dari pusat memang sudah lama menjadi catatan kritis dalam literatur otonomi daerah di Indonesia.
Transfer dari pusat dilakukan melalui Dana Alokasi Umum (DAU), Dana Alokasi Khusus (DAK), dan Dana Bagi Hasil (DBH) mestinya diukur dari bagaimana daerah mampu bertransformasi bukan hanya sebagai “pengelola dana”, tetapi juga sebagai inovator pendapatan dan pelayanan publik.
Dari data APBD nasional tahun 2023–2024 menunjukkan sejumlah kabupaten/kota bahkan mengalami penurunan rasio kemandirian fiskal hingga di bawah 30 % karena PAD-nya yang kurang agresif dan cenderung ditempatkan di "wilayah aman".
Tantangan Pemerintah Daerah
Dalam praktik desentralisasi, pemerintah daerah tidak hanya dibebani tanggung jawab fiskal.
Tumpang-tindih kewenangan antara pusat dan daerah, perubahan regulasi yang berulang, serta minimnya koordinasi masih menjadi batu sandungan.
Ketidakpastian hukum dan keterbatasan kapasitas birokrasi menyebabkan respons kebijakan daerah cenderung reaktif, pragmatis, dan minim inovasi.
Ketergantungan daerah pada aliran dana pusat juga memiliki implikasi negatif dalam membangun kemandirian fiskal.
Meskipun regulasi telah memberi ruang otonomi, tetapi dalam praktiknya, sebagian besar daerah belum mampu mengelola potensi lokal secara efektif dan efisien.
Banyak kepala daerah lebih memilih mengutamakan kebijakan “mudah”, seperti menaikkan pajak, dibanding mengembangkan sumber pendapatan inovatif, optimalisasi aset, ataupun kolaborasi multi-sektor.
Mendorong inovasi dan akuntabilitas Pemerintah Daerah
Dalam sebuah kesempatan, Profesor Ryaas Rasyid menyampaikan bahwa pemangkasan dana transfer pusat seharusnya tidak otomatis membebani rakyat, melainkan menjadi momentum bagi pemerintah daerah untuk berinovasi.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.