Potensi Rp180 Triliun, Wakaf Tunai Bisa Topang Pendidikan Islam
Data menunjukkan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia mencapai lebih dari Rp.180 triliun.
TRIBUN-TIMUR.COM - Kementerian Agama (Kemenag) meluncurkan Gerakan Wakaf Tunai untuk Pendidikan Islam, Sabtu (16/8/2025).
Gerakan ini menempatkan wakaf bukan sekadar amal ibadah individu, melainkan instrumen ekonomi sosial yang bisa menopang kemandirian institusi pendidikan.
Data menunjukkan bahwa potensi wakaf uang di Indonesia mencapai lebih dari Rp180 triliun.
Bila ditambah potensi zakat, maka totalnya bisa menembus Rp. 327 triliun per tahun.
Namun, baru sebagian kecil yang terealisasi karena kelembagaan wakaf masih tersebar dan belum dikelola secara sinergis.
Saat ini, terdapat 484 badan wakaf, 61 bank penghimpun wakaf tunai, serta 448 lembaga nazhir.
Jika hanya 10 persen potensi itu dapat dikelola, maka dana abadi pendidikan Islam bisa mencapai Rp.18 triliun.
Dengan asumsi hasil investasi syariah 5 persen per tahun, kita berbicara tentang Rp.900 miliar dana abadi yang bisa disalurkan rutin untuk beasiswa, riset, dan pembangunan sarana pendidikan. Angka ini setara dengan biaya operasional tahunan beberapa perguruan tinggi Islam besar di Indonesia.
Dari Amal Konsumtif ke Investasi Sosial
Gerakan wakaf tunai memutus pola lama: amal jariyah yang cepat habis.
Ia mengajak umat beralih pada model investasi sosial yang berjangka panjang.
Dengan kontribusi minimal Rp.10–20 ribu, setiap muslim bisa merasa memiliki “dana abadi” pribadi yang terus mengalir manfaatnya.
Simulasinya sederhana:
10 juta muslim berwakaf Rp20 ribu per bulan = Rp200 miliar per bulan = Rp2,4 triliun per tahun.
Hasilnya cukup untuk:
Memberikan 100 ribu beasiswa penuh.
Membangun 1.000 laboratorium riset.
Menopang 500 pesantren modern.
Paradigma ini revolusioner. Dari sekadar bantuan sekali pakai, umat bergerak membangun sistem pendanaan yang abadi.
Inspirasi dari Timur Tengah
Sejarah membuktikan, wakaf adalah mesin peradaban. Al-Azhar University di Mesir adalah contoh nyata. Berdiri sejak abad ke-10, ia tetap bertahan hingga kini sebagai pusat ilmu dunia Islam.
Rahasianya bukan subsidi negara, melainkan wakaf abadi yang menopang gaji guru, biaya mahasiswa, hingga pembangunan infrastruktur.
Di Turki, wakaf tunai (cash waqf) telah dipraktikkan sejak era Ottoman.
Ia membiayai pendidikan, kesehatan, dan infrastruktur sosial. Kini, model itu kembali dihidupkan dalam bentuk investasi produktif.
Di Arab Saudi, King Saud University memiliki program wakaf yang hasilnya dipakai untuk riset ilmiah dan bantuan sosial.
Di Kuwait dan UEA, masyarakat memanfaatkan crowdfunding wakaf dan sukuk wakaf—dua instrumen modern yang membuat wakaf bisa diakses oleh siapa saja dengan modal kecil, namun menghasilkan dampak besar.
Endowment Fund di Barat: Harvard, Yale, Oxford
Dunia Barat justru lebih dulu mengembangkan semangat yang sejalan dengan wakaf melalui endowment fund.
Harvard University mengelola dana abadi sebesar USD 53,2 miliar (± Rp840 triliun). Hasilnya menopang 37 % anggaran tahunan, membiayai beasiswa, riset, dan gaji fakultas.
Yale University memiliki dana abadi USD 41,4 miliar. Dalam satu dekade, dana ini telah membiayai riset dan pendidikan senilai USD 14,3 miliar.
Oxford University, bahkan sejak abad ke-13, sudah membangun endowment melalui Merton College. Prinsipnya mirip wakaf: harta diinvestasikan, hasilnya menghidupi lembaga secara berkelanjutan.
Pertanyaan reflektif pun muncul: Jika Harvard bisa melahirkan ilmuwan Nobel dengan dana abadi, mengapa pesantren kita tidak bisa melahirkan ulama kelas dunia dengan wakaf?
Jika Oxford bisa bertahan 800 tahun dengan dana abadi, mengapa IAIN dan UIN kita tidak bisa menata masa depan seribu tahun dengan wakaf tunai?
Harapan Para Pemimpin Umat
Menteri Agama Nasaruddin Umar menegaskan bahwa gerakan wakaf tunai bukan sekadar program teknis, tetapi sebuah budaya baru yang harus mengakar di tengah umat.
Harapannya, setiap muslim menjadikan wakaf tunai sebagai bagian dari hidupnya, sebagaimana berzakat dan bersedekah.
“Wakaf tunai ini kita desain untuk mewujudkan kemandirian madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi keagamaan Islam. Kita ingin agar generasi kita nanti belajar tanpa harus selalu menunggu anggaran negara,” tegasnya.
Ketua Badan Wakaf Indonesia Prof. Kamaruddin Amin, menyampaikan optimismenya.
Ia berharap dalam waktu dekat PTKI dapat menjadi nazhir wakaf langsung, sehingga mereka mampu mengelola dan mengembangkan dana wakaf secara produktif.
Menurutnya, “Indonesia memiliki aset wakaf yang sangat besar. Jika dikelola dengan baik, aset ini bisa menjadi kekuatan pendidikan dan sosial yang tidak tertandingi.”
Ia menekankan pentingnya sinergi dan transparansi agar masyarakat percaya dan bersemangat berwakaf.
Tantangan Gerakan Wakaf Tunai di Indonesia
Meski potensinya besar, ada tantangan yang harus dipecahkan:
1. Literasi rendah: banyak masyarakat masih melihat wakaf hanya sebatas tanah untuk masjid atau kuburan, belum memandangnya sebagai instrumen keuangan modern.
2. Transparansi: kepercayaan publik lemah bila pengelolaan tidak akuntabel. Kasus aset wakaf yang terbengkalai memperburuk citra.
3. Regulasi dan kelembagaan: meski ada BWI, koordinasi antar lembaga wakaf masih lemah.
4. Inovasi finansial: belum banyak perguruan tinggi Islam yang berani mengelola wakaf dalam bentuk investasi produktif, misalnya properti, sukuk syariah, atau venture halal.
Rekomendasi Strategis
Agar gerakan ini tidak sekadar slogan, ada beberapa langkah strategis yang bisa ditempuh:
1. Integrasi kelembagaan: PTKI harus segera menjadi nadzir wakaf resmi agar bisa mengelola dana wakaf langsung.
2. Digitalisasi wakaf: membangun aplikasi nasional wakaf tunai, memudahkan masyarakat berwakaf secara daring.
3. Edukasi massif: memasukkan literasi wakaf ke dalam kurikulum madrasah dan pesantren, agar sejak dini generasi paham pentingnya wakaf produktif.
4. Benchmarking global: mengadaptasi praktik sukses Al-Azhar, King Saud, Harvard, dan Yale ke dalam sistem PTKI.
5. Transparansi publik: membuat laporan keuangan wakaf yang diaudit independen, agar kepercayaan umat terjaga.
Gerakan Wakaf Tunai adalah panggilan sejarah. Ia bukan sekadar instrumen keuangan, melainkan jalan kebangkitan peradaban.
Jika berhasil, umat Islam Indonesia akan memiliki dana abadi yang menopang madrasah, pesantren, dan perguruan tinggi, sehingga tidak lagi bergantung sepenuhnya pada negara.
Bayangkan, seratus tahun dari sekarang, mahasiswa di Parepare, Barru, Pangkep, atau Ciputat bisa kuliah gratis berkat wakaf tunai yang kita mulai hari ini.
Bayangkan, pesantren kecil di pelosok bisa punya laboratorium digital karena dana abadi umat. Itulah warisan abadi: dari umat untuk umat, dari generasi kini untuk generasi mendatang.
MQK 2025 di Wajo Berakhir Spektakuler, Ribuan Santri Saksikan Pesta Kembang Api |
![]() |
---|
To MakkadangngE Ri Labu’ Tikka, Gelar Adat Menteri Agama RI Untuk Kepemimpinan Dunia |
![]() |
---|
Menag: Kurikulum Cinta dan Pusat Riset Ekoteologi Digagas di 61 UIN, IAIN, dan STAIN |
![]() |
---|
Wali Kota Makassar Munafri Arifuddin: Baznas Berdosa Kalau Kita Lupa Bayar Zakat |
![]() |
---|
Menteri Agama: Saya Ini Putra Spiritual Puang Ramma dan Restui Saya Khatib Syuriah PW NU Sulsel |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.