Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Menakar Makna Merdeka di Bawah Tiang Bendera

Pesan Bung Karno bahwa perjuangan generasi selanjutnya akan lebih sulit dibandingkan dengan perjuangan terdahulu.

Editor: Muh Hasim Arfah
Dok Sri ulfanita
Sri Ulfanita (Pegiat Pustaka RumPut, Founder English Corner, Pengajar di Lembaga Bahasa dan Pengembangan Karakter Universitas Al Asyariah Mandar) 

Kesenjangan ekonomi makin diperparah dengan sistem fiskal yang dinilai tidak berkeadilan. Kasus kenaikan Pajak Bumi dan Bangunan (PBB) sebesar 250 % di Kabupaten Pati, Jawa Tengah, adalah contoh yang paling nyata. Kebijakan yang tertuang dalam Peraturan Bupati Pati Nomor 17 Tahun 2025 akhirnya memicu gelombang penolakan keras dari warga.

Bupati Pati pun mengungkap bahwa kenaikan itu diperlukan sebab tarif PBB tidak naik selama 14 tahun, dan pemerintah daerah membutuhkan dana untuk membiayai proyek infrastruktur seperti pembenahan RSUD. Aksi protes yang awalnya menuntut pembatalan kenaikan PBB, menyulut rasa kecewa rakyat dan kian berkobar dengan tuntutan Bupati Pati harus mundur dari jabatan yang diembannya setelah ia dituduh mengeluarkan pernyataan yang menantang rakyat dan menuduh aksi mereka ditunggangi kepentingan politik.   

Perjuangan warga Pati dalam menanggung beban pajak ini menjadi ironis ketika dibandingkan dengan potensi kerugian negara dari sektor yang seharusnya menjadi kontributor terbesar. Studi Bank Dunia yang berjudul Estimating Value Added Tax (VAT) and Corporate Income Tax (CIT) Gaps in Indonesia yang diterbitkan pada Maret 2025, mengungkapkan bahwa selama periode 2016-2021, Indonesia kehilangan potensi penerimaan pajak hingga Rp944 triliun.

Dari jumlah tersebut, Rp160 triliun merupakan selisih antara Pajak Penghasilan (PPh) Korporasi yang seharusnya dibayarkan dengan yang benar-benar diterima. Bukan hanya itu, data dari Tax Justice Network juga memprediksikan kerugian pajak dari penghindaran oleh perusahaan multinasional di Indonesia mencapai 2,2 miliar dolar AS atau sekitar Rp32 triliun pada tahun 2021.   

Ketimpangan ini semakin menguat dengan adanya kebijakan insentif pajak yang diberikan pemerintah kepada perusahaan besar. Misalnya, pemerintah memberikan diskon tarif PPh badan sebesar 3?gi perusahaan terbuka. Pada 2021, pemerintah bahkan menganggarkan Rp. 62,83 triliun untuk insentif pajak sebagai bagian dari Program Pemulihan Ekonomi Nasional (PEN). Kontradiksi dalam kebijakan fiskal ini sangat jelas; di satu sisi, pemerintah daerah menaikkan pajak properti rakyat kecil hingga 250 % untuk menutupi kekurangan anggaran, sementara di sisi lain, pemerintah pusat kehilangan ratusan triliun rupiah dari penghindaran pajak korporasi dan memberikan insentif pajak kepada perusahaan besar.

Hal ini menciptakan narasi ketidakadilan yang kuat, di mana rakyat yang paling rentan justru yang paling dibebani, sementara sektor yang paling makmur mendapatkan perlakuan istimewa. Kebijakan ini secara struktural menguntungkan segelintir elite dan membebani masyarakat luas, sebuah pilihan politik yang secara fundamental menantang prinsip keadilan.   

Pisau Hukum Tajam Mengiris Rakyat 

Janji kemerdekaan tidak akan pernah terwujud tanpa supremasi hukum yang adil. Namun, di Indonesia, muncul sebuah stigma bahwa hukum ibarat pisau yang "tajam ke bawah dan tumpul ke atas". Peribahasa ini terbukti dalam berbagai kasus yang menunjukkan perlakuan hukum yang diskriminatif.   

Dalam beberapa kasus, sistem peradilan terlihat brutal dan tanpa ampun terhadap rakyat jelata. Menelisik kasus Nenek Asyani, seorang perempuan miskin yang divonis satu tahun penjara dan denda Rp. 500 juta karena dituduh mencuri tujuh batang kayu jati. Kasus serupa juga menimpa Nenek Minah yang dituduh mencuri tiga buah kakao, serta kasus AAL yang dipukuli oleh oknum polisi karena mencuri sandal jepit dan tetap dibawa ke pengadilan. Kasus-kasus ini menjadi bukti bagaimana sistem hukum bekerja dengan "efisien" dan tanpa toleransi terhadap kesalahan-kesalahan kecil yang dilakukan oleh masyarakat miskin.   

Di sisi lain, perlakuan hukum yang sangat lunak sering kali diberikan kepada para elite yang terlibat dalam kejahatan besar, terutama korupsi. Kasus korupsi tata niaga komoditas timah, misalnya, yang merugikan negara triliunan rupiah, berakhir dengan vonis yang jauh lebih ringan dari tuntutan jaksa.

Kasus Harvey Moeis yang dituntut 12 tahun penjara, hanya divonis 6 tahun 6 bulan oleh majelis hakim. Putusan ini dinilai "menodai semangat pemberantasan korupsi" dan menimbulkan pertanyaan besar di kalangan publik tentang siapa sebenarnya aktor utama di balik kasus tersebut. Vonis ringan juga terjadi pada terdakwa kasus korupsi APD COVID, yang memicu keheranan dari mantan penyidik KPK karena dinilai "di luar nalar dan logika". 

Pola perlakuan hukum yang timpang ini bukan sekadar anomali, melainkan sinyal yang kuat dari sistem itu sendiri bahwa keadilan hanya berlaku bagi mereka yang tidak memiliki kekuasaan atau uang. Hal ini selaras dengan analisis sosiologi hukum yang menunjukkan bahwa ketidakadilan struktural diperkuat oleh pandangan elitisme dan "pengecualian yang diperlukan" (necessary exception).

Perbedaan perlakuan ini merusak kepercayaan publik terhadap lembaga penegak hukum dan mendorong masyarakat pada sikap apatis terhadap politik. Rasa frustrasi dan putus asa ini mendorong rakyat untuk mencari keadilan dengan jalan lain, termasuk melalui aksi protes.   

Antara Imajinasi dan Aspirasi Rakyat

Dalam konteks ketidakadilan yang merata; yang terasa mulai dari ekonomi, pajak, hingga hukum, muncul sebuah fenomena budaya yang menarik: penggunaan Bendera One Piece sebagai simbol kritik rakyat. Fenomena ini pertama kali mencuat di awal Agustus ketika masyarakat beramai-ramai mengibarkan bendera hitam bergambar tengkorak dan bertopi jerami itu di tempat-tempat umum, di halaman rumah, di media sosial, bahkan menjadi penghias kendaraan. Pemerintah yang anti kritik akhirnya angkat suara dan menganggap bendera Jolly Roger sebagai upaya provokasi yang sistematis dan potensi makar.

Halaman
123
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved