Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Ketika Hukum Dilecehkan: Kasus Silfester Matutina 

Putusan pengadilan yang sudah inkracht seharusnya menjadi final, wajib dilaksanakan tanpa tawar-menawar.

Editor: Sudirman
Ist
OPINI - Aswar Hasan Dosen Fisipol Unhas   

Oleh: Aswar Hasan 

Dosen Fisipol Unhas

Bung Hatta pernah berkata, “Negara yang tidak berdasar atas hukum yang adil, tidak akan pernah membawa kemakmuran bagi rakyatnya.”

Pesan itu kini seperti gema di ruang kosong, karena diabaikan oleh mereka yang berkuasa. 

Putusan pengadilan yang sudah inkracht seharusnya menjadi final, wajib dilaksanakan tanpa tawar-menawar.

Namun, praktik tersebut, tidak terjadi, karena boleh jadi kasus itu menyentuh lingkaran yang dilindungi kekuasaan.

Padahal  terjadi di negara yang mengaku demokratis dan menjunjung rule of law.

Ini merupakan pertunjukan kenyataan pahit dimana hukum bisa diabaikan sekaligus dilecehkan.

Silfester Kebal Hukum?

Kasus Silfester Matutina adalah contoh paling memalukan sebagai bentuk  pelecehan hukum.

Silfester Matutina, yang merupakan bagian dari tim relawan Jokowi, telah divonis bersalah  sejak dalam perkara yang diputus inkracht sejak 2019 alias bertahun- tahun lalu.

Secara hukum, eksekusi seharusnya dilakukan segera. Tetapi faktanya, hingga kini, hukuman tersebut tak pernah dijalankan.

Lebih buruk lagi, publik diberi narasi bahwa Silvester sudah “berdamai” dengan Jusuf Kalla, sehingga seolah tak ada lagi alasan untuk mengeksekusinya.

Namun kenyataannya, klaim damai tersebut dibantah tegas oleh orang dekat JK, yang menyatakan tidak pernah ada kesepakatan seperti itu.

Bahkan bertemu dan berdamai keduanya sebagaimana dinyatakan oleh Silvester dibantah.

Lagi pula kasus Silfester tersebut adalah kasus pidana yang telah berkekuatan hukum tetap (inkracht) dan menjadi urusan/kasus negara, bukan perdata yang bisa didamaikan.

Kondisi ini bukan sekadar kelalaian. Ia adalah bentuk pelecehan hukum, baik oleh Silfester sendiri maupun oleh pihak-pihak yang memback-up-nya.

Aparat penegak hukum yang seharusnya tunduk pada konstitusi malah diam, seolah menunggu perintah politik.

Pembiaran ini terjadi di masa pemerintahan Jokowi, dan menjadi catatan kelam, bahwa putusan pengadilan bisa diabaikan selama bertahun-tahun, jika menyangkut orang dekat kekuasaan.

Olehnya itu, kejaksan harus segera mengeksekusi kasus Silfester tersebut. Jika tidak akan menjadi preseden buruk penegakan hukum kita.

Jangan sampai menguatkan kesan bahwa hukum kita tidak berdaya oleh seorang atau pihak Silfester Matutina.

Sementara itu, hukum berjalan terhadap Hasto Kristiyanto sekjen PDI P dan Tom Lembong mantan menteri yang kritis terhadap pemerintah, diproses dengan kecepatan luar biasa, penuh sorotan, dan tanpa kompromi.

Banyak yang menilai, ini bukan semata-mata soal penegakan hukum, melainkan instrumen politik untuk membungkam lawan atau mengontrol narasi publik.

Standar Ganda

Dari sini terlihat jelas adanya double standard yang menggerogoti legitimasi hukum di mata rakyat. Di satu sisi, hukum menjadi pedang tajam bagi mereka yang berada di luar lingkar kekuasaan.

Di sisi lain, ia berubah menjadi perisai lunak yang melindungi mereka yang berada di dalamnya, meski jelas-jelas bersalah.

Praktik seperti ini mencederai prinsip equality before the law. Lebih berbahaya lagi, ia menumbuhkan budaya kebal hukum bagi kelompok tertentu, dan menanamkan rasa putus asa di hati rakyat.

Ketika publik melihat bahwa hukum bisa dilumpuhkan oleh kekuatan politik, mereka akan berhenti percaya pada negara.

Kasus Silfester Matutina bukan sekadar masalah individu yang lolos dari eksekusi.

Ia adalah simbol dari bagaimana hukum dilecehkan secara sistematis, dibungkus narasi palsu, dan dibiarkan membusuk demi kepentingan politik. 

Bersama dengan kasus Hasto dan Tom Lembong, ia menegaskan satu hal: penegakan hukum kita sedang terperosok dalam kubangan memalukan yang hanya bisa dibersihkan dengan reformasi menyeluruh dan keberanian politik untuk memutus mata rantai impunitas.

Ini juga merupakan potret bahwa setelah reformasi, hukum kita masih terseok- seok. 

Pertanyaannya apakah itu disebabkan oleh kekuasaan penguasa (pemerintah) yang zalim atau karena aparat penegak hukum kita yang lemah dan tidak independen menjadi Pekerjaan Rumah kita semua. Wallāhu a‘lam bish-shawāb.(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved