Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

HMI Cabang Makassar

Putusan MK dan Wacana Pilkada Lewat DPRD Dibedah di Dialog Kebangsaan HMI Cabang Makassar

Pimpinan DPR RI dari Fraksi Partai Nasdem tiba-tiba ngopi bersama di Warung Kopi Aspirasi, Jalan AP Pettarani, Sabtu (9/8/2025).

Editor: Muh Hasim Arfah
DOK TRIBUN TIMUR
DIALOG KEBANGSAAN-Wakil Ketua DPR RI Saan Mustafa saat menghadiri  Dialog Kebangsaan dengan tema “Menakar Dampak Domino Efek Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah” adalah HMI Cabang Makassar di Warung Kopi Aspirasi, Jalan AP Pettarani, Sabtu (9/8/2025). Saan Mustafa membahas panjang soal peran HMI dalam perjalanan bangsa Indonesia.  

Salah satu kader HMI mempertanyakan langsung dampak dari putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 135 Tentang Pemisahan Pemilu Nasional dan Daerah. 

Mereka pun menganggap putusan ini membuat deadlock konstitusi. Putusan MK itu sifatnya final dan mengikat. 

Pada sisi lain, putusan MK ini menjadi bertentangan dengan undang-undang dasar. 

Pada 26 Juni 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) mengeluarkan Putusan Nomor 135/PUU-XXII/2024, yang memerintahkan pemisahan pelaksanaan Pemilu Nasional (Presiden/Wakil Presiden, DPR, DPD) dan Pemilu Daerah (DPRD, Gubernur, Bupati/Wali Kota) mulai tahun 2029. Dengan demikian, skema pemilu serentak “lima kotak” tidak lagi berlaku.

MK menilai, pemisahan ini diperlukan untuk menyederhanakan proses bagi pemilih, meningkatkan kualitas demokrasi, serta mengurangi beban kerja penyelenggara dan partai politik dalam menghadapi jadwal kampanye yang terlalu padat.

MK juga menyatakan bahwa pemisahan akan mencegah isu-isu nasional menenggelamkan agenda pembangunan daerah dan memberi ruang bagi pemilih serta partai politik untuk menyiapkan kader secara lebih matang.

Ketua Komisi II DPR RI, Muhammad Rifqinizamy Karsayuda menyampaikan beberapa catatan sehingga, putusan MK itu dianggap keliru. 

Rifqinizamy menegaskan bahwa apabila putusan MK dijalankan dalam bentuk revisi Undang-Undang Pemilu, hal tersebut bisa melanggar konstitusi.

Pasalnya, Pasal 22E ayat (1) dan (2) UUD 1945 menyatakan bahwa pemilu—untuk Presiden, DPR, DPD, dan DPRD—harus dilaksanakan setiap 5 tahun sekali.

Jeda waktu minimal 2 hingga 2,5 tahun yang diajukan MK bisa membuat siklus tersebut menjadi 7 hingga 7,5 tahun yang jelas bertentangan dengan konstitusi.

"Jika kita mengikuti putusan MK dengan jeda antara Pemilu Nasional dan Lokal minimal dua tahun hingga dua setengah tahun, maka siklus pemilu tidak lagi lima tahun sekali, melainkan bisa menjadi tujuh hingga tujuh setengah tahun. Ini jelas bertentangan dengan konstitusi," katanya. 

Rifqinizamy menegur bahwa MK tidak memiliki kewenangan untuk mengubah substansi konstitusi. 

Seharusnya, MK hanya berwenang menguji norma UU terhadap UUD, bukan menciptakan tafsir baru yang berdampak mengubah norma konstitusi.

Menurut Rifqinizamy, putusan ini terlihat kontradiktif dengan keputusan MK sebelumnya (Nomor 55/PUU-XVII/2019), yang memberikan keleluasaan kepada pembentuk UU untuk memilih satu dari enam model pemilu serentak yang diatur. 

“Putusan MK kali ini terasa kontradiktif jika dibandingkan dengan putusan sebelumnya, terutama Putusan MK Nomor 55/PUU-XVII/2019 yang memberikan ruang bagi pembentuk undang-undang untuk memilih satu dari enam model keserentakan pemilu. Tapi sekarang, MK justru menetapkan sendiri satu model, yaitu pemilu pusat dan pemilu lokal yang dipisahkan,” ungkapnya. 

Halaman
1234
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved