Opini
Jauhkan Nalar Kalkulator dari Pilkada
Usulan kedua tokoh pokok partai itu terasa sebagai keluhan politisi. Pendapat mereka, tak bergizi konstitusional, melainkan finansial.
Oleh; Abdul Karim
Ketua Lakpesdam NU Sulsel, Majelis Demokrasi & Humaniora
TRIBUN-TIMUR.COM - Wacana pemilihan kepala daerah dikembalikan ke DPRD mencuat lagi. Ketua Umum PKB Muhaimin Iskandar menelorkannya. Ia menyebut, biaya mahal untuk menjadi kepala daerah.
Ketua Umum Partai Golkar, Bahlil Lahadalia bersuara sama. “Jujur aja, yang menang aja sakitnya di sini. Apalagi yang kalah," kata Bahlil (detik.com, 31/7/2025).
Usulan kedua tokoh pokok partai itu terasa sebagai keluhan politisi. Pendapat mereka, tak bergizi konstitusional, melainkan finansial.
Mereka seakan menampik esensi demokrasi dalam pilkada langsung—bahwa rakyat yang berdaulat, rakyat yang memilih pemimpinnya.
Kadar kedaulatan itu pun sebenarnya menyusut 50 persen. Sebab rakyat memilih calon kepala daerah bukan persetujuannya.
Tetapi, usulan parpol pengusung. Model ini memaksa rakyat memilih calon kepala daerah selera parpol—walaupun rakyat belum tentu berselera atas usungan itu. Rela tak rela, usungan parpollah yang harus dicoblos rakyat.
Lalu mengapa biaya politik pilkada mahal?
Itu akibat ulah tangan parpol sendiri. Mereka menjebol peraturan terkait pilkada. Contoh nyata yang tak dinyatakan adalah mahar untuk parpol pengusung.
Nilainya, entah berapa rupiah—bergantung kesepakatan antar mereka yang hendak menjadi calon kepala daerah dengan parpol. Nalar kalkulator itu membingkai penentuan calon kandidat.
Fenomena uang mahar itu hanya mengalir lewat bisikan terbatas, tak pernah dialirkan diruang publik, kenapa? Barangkali karena melanggar ketentuan.
Sebab UU nomor 10 tahun 2016 yang mengatur ketentuan pilkada tegas melarang praktek uang mahar itu, terutama pasal 187 B.
Adanya uang mahar kita bisa simak dari pengakuan terdakwa dalam sidang lanjutan kasus uang palsu, Annar Salahuddin Sampetoding, yang mengaku gagal mencalonkan diri sebagai calon Gubernur Sulsel lantaran tak sanggup membayar mahar parpol sebesar Rp.100 miliar lebih (Kompas.com, 23/7/2025). Mahar, melonjakkan cost politik pilkada.
Mahalnya biaya cost politik pilkada juga akibat kesalahan kandidat sendiri. Mereka faham bahwa hanya jaringan keluarga dan tetanggalah yang mengenalnya, tetapi hendak menang pilkada.
Sadar dengan keterbatasan popularitasnya, tapi mereka urung mundur. Malah tancap gas dengan menyewa konsultan politik. Biaya lagi bukan?
Konsultan politik bekerja profesional mendongkrak elektabilitas dan popularitas kandidat tak cuma-cuma. Biaya lagi bukan?
Kandidat yang tak cukup uang mengongkosi konsultan politik biasanya tak mencolok dimata publik. Lalu mengapa mereka nekat berlaga bila tahu bahwa elektabilitas dan popularitasnya tak memadai?
Tak hanya itu, konsultan politik pun mau tak mau harus memoles sang kandidat agar mudah diterima khalayak. Performance kepemimpinan sang kandidat harus dimunculkan, biasanya mencakup kecakapan dan aspek sumberdaya manusia (SDM) sang kandidat.
Kandidat yang memiliki kecakapan dan SDM level standar atau dibawah standar harus dipoles sedemikian rupa agar publik yakin dengan kompetensinya.
Dalam rangka memoles itulah biayanya tak sedikit. Biaya lagi bukan? Lalu, mengapa mereka nekat maju bertarung di pilkada bila faham bahwa kecakapan dan SDMnya tak layak?
Memaksa diri maju bertarung dengan memaksa memasarkan diri plus nihilnya kompetensi SDM berarti memaksa diri mengeluarkan dana jumbo—termasuk biaya sembako, serangan “fajar” dan hamburan amplop.
Bila kalah atau menang, dikeluhkanlah biaya mahal proses pertarungan, lantas menyalahkan sistem pilkada. Tak logis, sebab mahalnya biaya politik pilkada karena aturan pilkada terkait larangan uang mahar, dan larangan serangan “fajar” dilanggar berjamaah.
Terkait tingginya biaya untuk mendongkrak elektabilitas dan popularitas, tak ada seruan tegas/wajib dalam UU nomor 10 tahun 2016 untuk menjalankannya.
Tapi mengapa jalan karbitan itu ditempuh bila resiko biaya jombo telah diketahui sebelumnya? Itulah ambisi, mungkin pilkada dianggap sebagai jalan kekuasaan, bukan jalan pengabdian.
Oleh karena itu, mengatasi keluhan biaya mahal politik pilkada, esensinya bukan memilih antara pilkada langsung atau tidak langsung, melainkan membenahi akar persoalan politik biaya tinggi.
Akar persoalan itu adalah; “pelanggaran massif peraturan pilkada”. Solusinya; patuhi aturan pilkada yang melarang praktek uang mahar dan serangan “fajar”, jauhkan nalar kalkulator dari pilkada, serta jangan paksa diri bertarung bila popularitas rendah dan kualitas SDM dangkal, tak masuk akal.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.