Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Segini Besaran Royalti Harus Dibayar Kafe atau Resto Jika Putar Suara Alam dan Kicauan Burung

Penggunaan suara alam seperti kicauan burung, gemericik air, hingga suara hutan yang diputar di ruang publik seperti kafe dan restoran kena royalti.

|
Editor: Sakinah Sudin
Freepik.com
KENA ROYALTI - Ilustrasi burung. Rekaman suara (fonogram) kicauan burung atau suara alam lainnya tetap kena royalti jika diputar di ruang komersil, seperti kafe dan restoran. 

TRIBUN-TIMUR.COM – Inilah besaran royalti harus dibayarkan kafe atau resto jika memutar suara alam seperti kicauan burung atau gemericik air.

Tak hanya lagu-lagu populer, penggunaan suara alam seperti kicauan burung, gemericik air, hingga suara hutan yang diputar di ruang publik seperti kafe dan restoran juga dikenai royalti hak cipta.

Ketua Lembaga Manajemen Kolektif Nasional (LMKN), Dharma Oratmangun, menegaskan bahwa rekaman suara apapun, termasuk suara burung, gemericik air, atau suara alam lainnya, tetap dilindungi hak terkait, dan oleh karena itu, tetap dikenai kewajiban royalti.

“Putar lagu rekaman suara burung, suara apa pun, produser yang merekam itu punya hak terhadap rekaman fonogram tersebut, jadi tetap harus dibayar,” kata Dharma kepada Kompas.com, Senin (4/7/2025).

Ia menjelaskan, meskipun suara tersebut bukan musik yang diciptakan oleh komposer, namun jika bentuknya adalah rekaman fonogram, yang diproduksi oleh seseorang atau perusahaan, maka tetap masuk ke dalam ruang lingkup perlindungan hak terkait, sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2014 tentang Hak Cipta.

Namun berapa sebenarnya besaran royalti yang wajib dibayar pemilik usaha jika memutar suara seperti ini?

Tarif Royalti Sudah Diatur Resmi

Ketentuan mengenai besaran tarif royalti ini merujuk pada Keputusan Menteri Hukum dan HAM Nomor HKI.2-OT.02.02 Tahun 2016, yang mengatur tentang struktur tarif royalti bagi pemanfaatan lagu dan/atau musik oleh pengguna komersial, termasuk kafe dan restoran.

Meskipun suara kicauan burung atau alam bukan “lagu” dalam arti umum, jika direkam, diedit, dan dilindungi hak cipta, maka penggunaannya masuk dalam kategori “pemanfaatan karya cipta audio” dan tunduk pada aturan yang sama.

Berikut rinciannya:

*Restoran dan Kafe

- Royalti pencipta: Rp60.000 per kursi/tahun

- Royalti hak terkait: Rp60.000 per kursi/tahun

*Pub, Bar, Bistro

- Royalti pencipta: Rp180.000 per m⊃2;/tahun

- Royalti hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun

*Diskotek dan Klub Malam

- Royalti pencipta: Rp250.000 per m⊃2;/tahun

- Royalti hak terkait: Rp180.000 per m⊃2;/tahun

Pembayaran dilakukan minimal sekali dalam setahun, dan pelaku usaha bisa mengurus perizinan secara daring melalui situs resmi LMKN.

Tarif ini berlaku untuk seluruh bentuk pemanfaatan musik dan rekaman suara di ruang usaha, mulai dari speaker internal, pertunjukan live music, hingga pemutaran rekaman digital.

Dharma menegaskan bahwa penarikan royalti bukan untuk menyulitkan pengusaha, melainkan sebagai bentuk penghormatan terhadap kerja kreatif pencipta dan produser.

Hak atas Rekaman

Hak terkait mencakup hak produser rekaman suara (fonogram) dan pelaku pertunjukan atas pemanfaatan hasil karya mereka.

Itu artinya, ketika pelaku usaha memutar rekaman suara, termasuk rekaman alam, mereka wajib menghormati hak produser yang menciptakan rekaman tersebut.

“Ada hak terkait di situ, ada produser yang merekam,” ujar Dharma menegaskan.

Dharma juga menyayangkan adanya narasi menyesatkan yang dibangun sebagian pelaku usaha seolah-olah pemutaran suara alam adalah solusi legal untuk menghindari royalti.

“Jangan bangun narasi mau putar rekaman suara burung, suara alam, seolah-olah itu solusi,” tambahnya.

Kafe-Kafe Mulai Siasati Aturan

Fenomena “menyiasati” royalti ini juga terlihat di sejumlah kafe di kawasan Tebet, Jakarta Selatan.

Salah satu karyawan kafe menyebut, pihak manajemen kini hanya memutar lagu-lagu barat dan musik instrumental sebagai bentuk penyesuaian.

"Jadi, udah mengikuti aturan di sini, cuma gantinya pakai lagu-lagu barat," kata Ririn (nama disamarkan) saat diwawancarai Kompas.com, Minggu (3/8/2025).

Namun, Dharma menegaskan bahwa musik dari luar negeri pun tetap wajib dibayar royalti.

LMKN telah menjalin kerja sama dengan organisasi hak cipta internasional dan Indonesia juga berkewajiban membayar royalti lintas negara.

“Harus bayar juga kalau pakai lagu luar negeri. Kita terikat perjanjian internasional,” ujarnya.

Sementara itu, ada pula restoran yang memilih tidak memutar musik sama sekali untuk menghindari risiko pelanggaran.

“Udah enggak pernah nyetel lagi, dari awal udah enggak boleh. Jadi, benar-benar anyep,” kata Gusti, karyawan restoran mie lainnya.

DJKI: Layanan Streaming Pribadi Bukan Lisensi Komersial

Menanggapi fenomena ini, Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (DJKI) Kemenkumham mengingatkan bahwa layanan musik digital seperti Spotify, YouTube Premium, atau Apple Music tidak serta merta memberikan izin komersial.

“Layanan streaming bersifat personal. Ketika musik diperdengarkan kepada publik di ruang usaha, itu sudah masuk kategori penggunaan komersial,” kata Direktur Hak Cipta dan Desain Industri DJKI, Agung Damarsasongko, Senin (28/7/2025).

Dengan demikian, pemanfaatan musik di ruang usaha tetap harus melalui lisensi tambahan melalui LMKN, yang berwenang menghimpun dan mendistribusikan royalti secara kolektif.

Berikut beberapa hal perlu diketahui terkait royalti:

Siapa yang Menarik Royalti?

Penarikan royalti dilakukan LMKN, sebuah lembaga resmi yang ditunjuk pemerintah untuk mengelola dan mendistribusikan royalti dari penggunaan karya musik dan lagu, termasuk rekaman suara seperti ambience atau nature sound yang terdaftar sebagai karya cipta.

Ke Mana Uangnya Masuk?

Uang royalti yang dibayarkan oleh pelaku usaha akan masuk ke rekening LMKN, lalu didistribusikan kepada para pencipta atau pemegang hak cipta melalui Lembaga Manajemen Kolektif (LMK) yang menaungi mereka.

Beberapa LMK yang beroperasi di Indonesia, seperti WAMI (Wahana Musik Indonesia) atau KCI (Karya Cipta Indonesia), bertugas menyalurkan hak kepada pencipta sesuai data dan laporan penggunaan.

Dalam hal suara alam atau kicau burung buatan, pemilik rekaman suara itulah yang berhak menerima royalti, bukan burung aslinya tentunya, melainkan produser rekaman atau pencipta komposisi audio tersebut. (Kompas.com) (Tribun-Timur.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved