Beatiful Malino 2025
Balla Lompoa dan Balla Jambu, Warisan Hidup Budaya 400 Tahun Kerajaan Gowa
Ada dua bangunan kayu yang seolah bernyawa di Kecamatan Tinggi Moncong, Kabupaten Gowa Balla Lompoa dan Balla Jambu.
Penulis: Muh. Hasim Arfah | Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUN-TIMUR.COM, GOWA- Area pegunungan Sulawesi Selatan, sekitar 61 kilometer dari keramaian Makassar, tersembunyi sebuah kisah kuno yang berbisik dari balik kabut perbukitan Tinggimoncong.
Tribuners bisa merasakan betul nuansa mistisnya saat pertama kali menginjakkan kaki di sana.
Ada dua bangunan kayu yang seolah bernyawa, Balla Lompoa dan Balla Jambu.
Mereka bukan sekadar rumah tua.
Ini adalah 'kapsul waktu' yang memancarkan kejayaan Kerajaan Gowa empat abad silam.
Ada denyut tak henti masyarakat adat Bulutana.
Bukan hal biasa menemukan bangunan yang begitu kokoh berdiri setelah berabad-abad.
Baca juga: Pedagang Tenteng Laris Manis Selama Beautiful Malino, Raup Omzet Capai Puluhan Juta Rupiah
Bupati Gowa, Sitti Husniah Talenrang, yang sempat mengunggah Instagramnya tanggal 15 Juli 2025.
“Rumah ini dibangun sekitar abad ke-15 dan menjadi kebanggaan masyarakat Bulutana.”
Husniah terpukau dengan arsitekturnya yang tangguh, terutama atap bambu belah yang oleh warga lokal disebut cippe.
Detail kecil ini saja sudah menunjukkan betapa istimewanya tempat ini.
Balla Lompoa, yang kini ditetapkan sebagai cagar budaya, adalah pusat kehidupan adat.
Berdiri gagah dengan struktur panggung dari kayu keras, rumah ini menjadi saksi bisu, sekaligus panggung utama, berbagai upacara adat Sampulonrua, termasuk Assaukang dan Ammole.
Di sinilah para Gallarrang, pemimpin lokal di bawah Karaeng Bulutana, dulu merundingkan keputusan-keputusan penting.
Berada tak jauh dari pemukiman warga, rasanya seperti sejarah dan kehidupan sehari-hari berbaur begitu erat.
Setiap anak tangga kayu yang pijak seolah membawa lebih dalam ke dunia simbolik.
Hanya sekitar 100 meter dari Balla Lompoa, Balla Jambu berdiri dengan karakter yang berbeda.
Ini adalah kediaman Karaeng Bulutana, namun yang menarik, tak ada satu pun perabot di dalamnya.
Begitu menaiki rumah ini, pengunjung akan langsung merasakan keheningan dan kekosongan yang justru sarat makna.
Anda tak akan menemukan kursi atau ranjang, hanya lantai kayu yang seolah telah menyerap jejak puluhan generasi.
M. Saleh Silli, seorang keturunan pemangku adat dari silsilah Gallarrang, bahkan menyebut kedua rumah ini didirikan sekitar tahun 1118, menjadikan usianya hampir 900 tahun.
Meski peneliti UIN Alauddin Makassar, Ibrahim, belum menemukan data triangulasi yang menguatkan angka tersebut.
Awal mulanya masih menjadi misteri.
Ibrahim menyoroti bagaimana kerumitan ini menggambarkan kompleksitas sejarah dan genealogi komunitas Adak Sampulonrua di Bulutana.
Masyarakat muslim Bulutana memang istimewa.
Mereka memegang teguh budaya lokal, termasuk adat istiadat, tabiat asli, dan kebiasaan seperti assaukang, ajjaga, dan appalili.
Observasi awal Ibrahim bahkan menunjukkan bahwa Balla Lompoa dan Balla Jambu, bersama beberapa pohon bersejarah, menjadi tempat penting bagi ritual sosial-keagamaan dan kemasyarakatan.
Bayangkan, sebuah pohon pun bisa menjadi bagian dari warisan budaya yang hidup.
Baik Balla Lompoa maupun Balla Jambu masih mempertahankan atap bambu belah (cippe), sebuah teknik tradisional yang kian langka.
Kayu-kayu besar menopang seluruh struktur tanpa satu pun paku, sebuah bukti kehebatan arsitektur masa lalu.
“Bentengnya besar, kayunya kokoh, dibangun untuk bertahan ratusan tahun,” ujar Bupati Sitti Husniah.
Rumah-rumah ini bukan hanya milik masyarakat Bulutana.
Mereka adalah milik sejarah.
Milik kita semua yang ingin mengenang bagaimana budaya tidak hanya dibaca di buku-buku, tapi juga ditinggali, dijaga, dan diwariskan dari generasi ke generasi.
Sebagaimana tagline Kabupaten Gowa yang menggaung, “Gowa Bersejarah”, Balla Lompoa dan Balla Jambu adalah saksi bisu masa lalu yang terus bernapas di masa kini.
Buluttana, Lebih dari Sekadar Nama
Di tanah tua Buluttana, sejarah tak hanya dituturkan lewat naskah dan angka.
Ia hidup dalam cerita-cerita malam di beranda rumah, dalam bisikan para tetua.
Istilah yang hanya dipahami mereka yang tumbuh bersama di atas tanah ini.
Salah satunya, assulukang sisang, sebuah istilah yang tak sekadar berarti "berpindah".
Kegiatan ini mencerminkan pilihan hidup dipandu kearifan lama.
Dulu, ketika jumlah warga Butta Toa Buluttana kian bertambah, muncul dilema.
Ada aturan adat yang tak bisa diganggu gugat, hanya tujuh rumah yang boleh berdiri di kampung itu.
Tak lebih.
Maka, sebagian warga memutuskan untuk pergi, bukan karena diusir, bukan pula karena konflik.
Mereka pergi karena tahu bahwa menjaga keseimbangan, antara manusia, ruang, dan adat.
Hal ini adalah bagian dari hidup itu sendiri.
Dari peristiwa inilah kampung-kampung baru lahir.
Tanah-tanah baru dibuka.
Tetapi yang mereka bawa bukan sekadar kapak dan cangkul.
Mereka membawa nilai.
Mereka membawa Adak.
Sementara itu, di tempat lain yang lebih tinggi, secara harfiah, kawasan yang disebut lappara atau dataran tinggi, tumbuh menjadi kota kecil bernama Malino.
Dahulu sunyi, kini ramai.
Malino bukan sekadar destinasi wisata yang ramai dikunjungi karena pemandangan pinus atau air terjunnya yang memikat.
Ia kini menjadi bagian penting dari wajah baru Kabupaten Gowa, terutama di sektor ekowisata.
Pemerintah daerah tak tinggal diam.
Mereka melihat potensi yang bisa tumbuh jika Malino dikelola dengan serius.
Salah satu tonggak penting adalah ketika kebun teh di sana, yang sebelumnya dikelola oleh PT Nitto, beralih ke tangan investor asing.
Tapi alih-alih menjadi kawasan industri yang kaku, tempat itu justru berubah menjadi ruang perjumpaan antara alam dan manusia.
Dari atas bukit, para pengunjung bisa menyeruput teh sambil menikmati kabut yang perlahan turun, seolah alam sengaja memperlambat waktu.
Bicara tentang Buluttana, nama itu bukan sembarang sebutan.
Ia berakar dari kata dalam bahasa Makassar, bulu’ berarti bukit, tana berarti tanah.
Gabungan yang sederhana, tetapi maknanya dalam.
Dalam narasi masyarakat setempat, ada cerita tentang seorang raja yang menyingkir dari Kerajaan Gowa dan menemukan bukit strategis.
Bukit itu hanya punya satu jalur masuk, cocok dijadikan pertahanan.
Maka dinamailah tempat itu, Buluttana.
Hingga kini, nama itu tetap dipakai.
Ia tak hanya menjadi penanda geografis, tetapi juga penanda sejarah dan identitas.
Karena di sanalah, tepat di pinggir Sungai Jeneberang, berdiri kampung tertua yang menjadi asal-usul kelurahan Buluttana saat ini.
Mereka yang tinggal di Buluttana tidak hanya tinggal di ruang fisik.
Mereka hidup dalam ruang budaya yang punya akar kuat.
Komunitas Adak Sampulonrua memegang teguh empat pokok ajaran yang menjadi panduan dalam menjalani hidup.
Tapi yang menarik, nilai-nilai ini tidak kaku. Mereka hidup dan tumbuh. Mereka membuka pintu pada hal-hal baru, tapi tak pernah kehilangan jati diri.
Falsafah yang mereka anut tak melarang perubahan, tapi menyaringnya.
Seperti air yang disaring sebelum diminum, nilai-nilai baru hanya diterima jika memberi manfaat.
Yang membawa mudarat? Ditolak dengan tenang, tanpa harus gaduh.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.