Iptu Andi Sri Ulva Baso Pernah Dilarang Ayahnya Jadi Polisi karena Banyak Peluang Korupsi
Iptu Andi Sri Ulva Baso, polwan yang kini tersohor karena membuat terobosan gerakan antikorupsi di institusi kepolisian, ternyata sempat dilarang
TRIBUN-TIMUR.COM - Iptu Andi Sri Ulva Baso, polwan yang kini tersohor karena membuat terobosan gerakan antikorupsi di institusi kepolisian, ternyata sempat dilarang jadi polisi oleh ayahnya.
Namun, Sri Ulva Baso tetap ngotot.
"Ayah waktu itu beralasan, polisi itu banyak sekali peluangnya untuk korupsi," demikian cerita dari Sri Ulva Baso yang dikutip dari laman Saya Perempuan Antikorupsi (SPAK) spakindonesia.org, Kamis (17/7/2025).
SPAK adalah sebuah gerakan diinisiasi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) untuk melibatkan perempuan dalam upaya pencegahan korupsi.
Gerakan ini bertujuan untuk menanamkan nilai-nilai antikorupsi sejak dini, terutama di lingkungan keluarga dan masyarakat.
SPAK juga merupakan bagian dari program pencegahan korupsi yang dilakukan oleh berbagai kementerian dan lembaga di Indonesia.
Pada tahun 2015, Sri Ulva Baso ikut Training of Trainer (ToT) antikorupsi yang digelar SPAK di Sorong, Papua Barat Daya.
Dia ikut sebagai perwakilan dari Polsek Panakkukang, Makassar.
Saat itu, pangkatnya masih Brigadir Polisi Kepala (Bripka).
ToT itu menjadi awal titik balik dalam hidup Sri Ulva Baso.
Baca juga: Sosok Iptu Andi Sri Ulva Baso Polisi Makassar Jual Mobil dan Motornya karena Dibeli Pakai Uang Haram
Dulu, sebelum ikut ToT ini, dia mengakui pernah menerima uang dari warga yang berurusan dengan polisi.
"Saya bukan polisi yang mengayomi masyarakat, saya polisi yang minta uang dari rakyat. Padahal mereka mungkin lebih susah hidupnya dari saya," demikian ceritanya di laman spakindonesia.org.
"Bayangkan saja, beberapa hal yang masuk dalam kategori korupsi sudah pernah saya lakukan! Saya menerima 'amplop' dari masyarakat yang mendapat pelayanan dari unit kerja saya. Tidak saja menerima, tapi saya berbagi uang haram itu dengan kolega saya yang lain."
Namun, saat ikut ToT, dia merenungkan seluruh perbuatan korupnya itu.
Dia pun tak bisa tidur nyenyak karena diselimuti rasa bersalah.
Hingga akhirnya dia menelepon ibunya untuk menjual mobil, motor, dan perhiasannya yang dibeli menggunakan uang haram.
Hasil penjualan disumbangkan kepada anak yatim.
"Bu, tolong kumpulkan motor, mobil dan beberapa perhiasan. Tolong semua dijual dan nanti uangnya untuk disumbangkan ke rumah yatim," katanya menirukan ucapannya kepada ibunya.
Sepulang dari ToT, dia pun membuat Meja Tanpa Laci, sebuah inovasi untuk mencegah pungutan liar atau sogokan dalam pelayanan di kantor polisi.
Awalnya, inovasi itu membuatnya dicap "sok suci".
Namun, niatnya untuk melakukan reformasi di kecil-kecilan di tubuh Polri tak goyah.
Inovasi itu terus dijalankan selama bertahun-tahun hingga akhirnya mengantarkan dia dianugerahi Hoegeng Awards 2025 kategori Polisi Inovatif.
Trofi penghargaan diserahkan kepada Sri Ulva Baso di Auditorium Mutiara STIK-PTIK Polri, Jakarta Selatan, Rabu (16/7/2025), dan disaksikan Kapolri, Jenderal Polisi Listyo Sigit Prabowo.
Sri Ulva Baso yang kini berpangkat Iptu dan menjabat Paur Fasmat SBST Subdit Regident Ditlantas Polda Sulsel merupakan satu di antara lima polisi yang meraih Hoegeng Awards 2025.
Hoegeng Awards diambil dari nama mantan Kapolri periode 1968 hingga 1971, Jenderal Hoegeng Imam Santoso.
Almarhum Hoegeng dikenal sebagai pejabat polisi yang paling berani dan jujur di kalangan masyarakat pada saat mayoritas pejabat pemerintah yang malah dikenal korup.
Beliau terkenal karena tindakan dan upayanya yang terus menerus dalam memberantas korupsi dan permainan kekuasaan dalam kepolisian Indonesia serta mendorong peradilan pidana yang setara.
Berikut ini kisah keteladanan dan kejujuran Hoegeng sebagaimana dikutip dari Kompas.com.
- Tak mau dikawal
Baik di tempat kerja maupun di rumah, Hoegeng sebenarnya berhak mendapatkan pengawalan pribadi.
Namun, Hoegeng bersikeras untuk tidak menggunakan fasilitas negara tersebut.
Ia menolak secara halus untuk dikawal.
Bahkan tanpa pengawalan, Hoegeng mengklaim bahwa ia masih mampu beroperasi secara efektif.
Menurut Hoegeng, tidak ada keharusan untuk mempekerjakan pengawal atau keamanan di rumahnya.
Hoegeng tetap menolak pengawalan, bahkan setelah ia dipromosikan menjadi wakil menteri/panglima angkatan kepolisian (Pangak) dan menteri/panglima (yang kemudian berubah menjadi Kapolri).
Selama hari kerja, hanya ada dua asisten resmi yang bergantian bekerja bersama Hoegeng.
Ada juga asisten staf yang memberikan bantuan kepada Hoegeng setiap hari.
Kecuali asisten resmi yang mengikutinya setiap hari, Hoegeng tidak mengizinkan seluruh staf mengenakan pakaian dinas resmi.
Asisten staf juga diminta untuk mengenakan pakaian biasa.
2. Menolak mobil dinas
Sebenarnya, Hoegeng akan diberikan dua mobil, satu mobil untuk tugas resminya sebagai menteri dan satu lagi untuk keluarganya.
Pada periode tersebut, Hoegeng sudah mendapatkan satu mobil dinas.
Hoegeng belum menerimanya dan ia khawatir akan keluarganya.
Setelah peralihan dari satu jabatan ke jabatan lainnya, ia mengembalikan kendaraan dinas yang pernah digunakannya saat menjabat sebagai menteri sumbangan negara.
Setelah beberapa waktu kemudian, Hoegeng mendapat tawaran untuk membeli sebuah mobil baru tipe Holden keluaran tahun 1965 untuk keluarganya. N
amun, Hoegeng menolaknya.
Hal ini dikarenakan Hoegeng telah memiliki dua mobil dinas.
Selain jip Willis yang pernah ia gunakan selama di kepolisian, Hoegeng juga memiliki mobil dinas sebagai menteri ataupun sekretaris presidium kabinet.
3. Menolak hadiah mobil
Dasaad Musin Concern, sebuah perusahaan yang dikendalikan oleh seorang pengusaha pribumi pemegang lisensi berbagai merek mobil Eropa dan Jepang, seperti Mazda dan Fiat, memberikan Hoegeng sebuah mobil baru beberapa pekan setelah ia menjabat sebagai menteri/sekretaris presidium kabinet.
Dasaad Musin Concern memiliki reputasi yang mapan karena berdedikasi memberikan bantuan kepada pemerintahan Presiden Soekarno sejak awal pemerintahan.
Perusahaan itu memberikan sebuah mobil "box" Mazda terbaru.
Hoegeng tidak mengetahui alasan di balik pemberian mobil itu.
Jelas bahwa Dasaad mengatakan dalam suratnya bahwa Hoegeng diberi fasilitas kendaraan untuk menjalankan tanggung jawabnya sebagai menteri.
Kendaraan tersebut dapat diambil di dealer milik perusahaan.
Tanpa adanya tindakan lebih lanjut, Hoegeng membiarkan surat tersebut tetap berada di mejanya.
Hal ini disebabkan karena Hoegeng tidak mau menerima begitu saja pemberian dari seseorang yang berhubungan dengan jabatan barunya.
Bahkan, ketika menjadi Kapolri, Hoegeng juga menolak banyak hadiah yang ditawarkan kepadanya.
4. Tidak menyimpan banyak harta
Hingga saat wafat, Hoegeng tidak memiliki rekening bank, baik deposito atau tabungan, dengan jumlah mencapai miliaran atau triliunan rupiah.
Satu-satunya sumber pendapatannya adalah uang pensiun yang harus diterima istrinya setiap bulan.
Jumlah itu tentu tak seberapa dibandingkan dengan jasa Hoegeng yang telah memberikan kontribusi tulus untuk perbaikan institusi Polri.(*)
Kapolri Resmi Lantik Irwasum dan Kapolda Sulbar, Sertijab 6 PJU Mabes Polri dan 6 Jabatan Kapolda |
![]() |
---|
Nama Wakapolri Sudah Direstui Prabowo, Kapan Kapolri Umumkan Pengganti Komjen Ahmad Dofiri? |
![]() |
---|
Sosok Kapolda Tersingkat Junior Kapolri, Jenderal Bintang 2 Alumni Akpol 1993 Hanya 4 Hari Menjabat |
![]() |
---|
2 Bulan Kursi Wakapolri Kosong, Kapan Kapolri Umumkan Pengganti Komjen Ahmad Dofiri? |
![]() |
---|
Cerita Iptu Andi Sriulva Baso Paduppa Polwan 'Meja Tanpa Laci' Bisa Raih Hoegeng Awards |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.