Save Sulawesi
Muhammad Safri: Tambang di Sulteng Buat Rakyat Menderita, Pernyataan Gubernur Bukan Berlebihan
Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Muhammad Safri, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap dampak aktivitas pertambangan.
TRIBUN-TIMUR.COM, PALU- Anggota DPRD Provinsi Sulawesi Tengah, Muhammad Safri, menyuarakan keprihatinan mendalam terhadap dampak aktivitas pertambangan yang semakin tak terkendali di wilayahnya.
Dari perspektif Hak Asasi Manusia (HAM), Safri menyebut aktivitas tambang di Sulteng saat ini telah menciptakan penderitaan struktural yang layak dikategorikan sebagai kejahatan ekosida.
“Kerusakan lingkungan seperti banjir dan longsor tidak hanya mengancam ekosistem, tapi juga langsung merugikan masyarakat lokal yang hidup bergantung pada alam,” kata Safri saat dimintai tanggapan soal situasi tambang di Sulteng, Rabu (10/7/2025).
Selama periode Januari hingga Juni 2025, tercatat sejumlah peristiwa bencana yang terjadi akibat aktivitas pertambangan yang ugal-ugalan.
Safri merinci, mulai dari banjir bandang yang menewaskan seorang pekerja akibat aliran sungai ditutup oleh aktivitas tambang CV. Putri Perdana, hingga pencemaran air oleh PT. HIR dan PT. Trinusa yang membuat pasokan air bersih bagi warga Kecamatan Petasia tidak layak dikonsumsi.
Tak hanya itu, PT. SEI yang menimbun aliran Sungai Laa dan Lampi di Morowali Utara juga disorot karena menyebabkan pendangkalan sungai dan banjir yang tak kunjung surut.
Baca juga: Anggota DPRD Sulteng Muhammad Safri: Kewenangan Pengawasan Pertambangan Harus Dikembalikan ke Daerah
Di sisi lain, sejumlah ruas jalan dan jembatan di Morut dilaporkan rusak parah akibat tertimbun longsoran dari area tambang.
“Semua ini bukan insiden biasa. Ini adalah kerusakan yang masif, meluas, dan berlangsung lama. Ini layak disebut sebagai kejahatan ekosida,” tegas Safri.
Ia juga menegaskan bahwa kejahatan ekosida merupakan bagian dari pelanggaran HAM karena merusak lingkungan sebagai fondasi pemenuhan hak dasar manusia—termasuk hak atas kesehatan, air bersih, dan kehidupan yang layak.
“Kerusakan lingkungan ini merampas ruang hidup masyarakat. Mereka kehilangan mata pencarian, masyarakat adat terpinggirkan, terjadi kriminalisasi, hingga konflik sosial yang terus memburuk,” ujarnya.
Salah satu peristiwa yang paling mengusik rasa keadilan, menurut Safri, adalah banjir bandang yang terjadi pada 3 Januari 2025 lalu di Morowali Utara, yang menyebabkan satu orang pekerja meninggal dunia.
Ia menilai bahwa tidak ada langkah hukum tegas terhadap pihak perusahaan yang diduga bertanggung jawab.
“Mungkin peristiwa ini bagi sebagian orang dianggap biasa. Tapi bagi keluarga korban, kehilangan ini sangat menyakitkan. Sayangnya, tidak ada tindakan hukum apa pun. Seolah-olah semua selesai hanya dengan ucapan duka dan seremoni pemberian santunan,” ujar Safri dengan nada kecewa.
Menurutnya, kelalaian yang mengakibatkan hilangnya nyawa manusia adalah kejahatan dan pelanggaran HAM yang nyata. Ia menuntut aparat penegak hukum agar bertindak tegas dan memproses semua pihak yang bertanggung jawab.
“Pernyataan Gubernur Anwar Hafid bahwa Sulteng hancur-hancuran karena tambang itu bukan berlebihan, itu fakta. Tambang di mana-mana, tapi rakyat tidak menikmati hasilnya. Malah derita yang mereka dapat,” tutup Muhammad Safri.
:quality(30):format(webp):focal(0.5x0.5:0.5x0.5)/makassar/foto/bank/originals/20250707_SOROTAN-LEGISLATOR-SULTENG_muhammad-safri-sorot-IUP-PT-HIR.jpg)