Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Gubernur Sulsel Andi Sudirman Jadi Sasaran Kritikan, Fraksi Demokrat - PKS Kompak Sampaikan Keluhan

Kritik tersebut disampaikan dalam pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2024 dan RPJMD 2025-2029.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Alfian
ERLAN SAPUTRA/TRIBUN TIMUR
PARIPURNA DPRD - Suasana rapat paripurna yang dihadiri langsung Gubernur Sulsel Andi Sudirman Sulaiman di Gedung DPRD Sulsel, Jl Urip Sumoharjo Makassar, Senin (7/7/2025) siang. Andi Sudirman Sulaiman akhirnya hadir setelah 2 kali absen. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Dua fraksi di DPRD Sulsel melayangkan kritik terhadap kebijakan Gubernur Sulsel Andi Sudirman

Kritik tersebut disampaikan dalam pandangan umum fraksi terhadap Rancangan Perubahan APBD Tahun Anggaran 2024 dan Rancangan RPJMD Sulsel 2025–2029.

Dua Fraksi tersebut, Partai Demokrat dan Harapan (Hanura-PAN).

Kritik disampaikan dalam rapat paripurna yang digelar di ruang paripurna DPRD Sulsel, Selasa (2/7/2025) siang.

Rapat Paripurna ini dipimpin Wakil Ketua DPRD Sulsel Yasir Machmud.

Dihadiri Ketua DPRD Sulsel Andi Rachmatika Dewi Yustitia dan Wakil Ketua Rahman Pina.

Sekretaris Fraksi Partai Demokrat, Heriwawan memaparkan sejumlah catatan penting terhadap Ranperda Pertanggungjawaban Pelaksanaan APBD 2024 dan RPJMD Sulsel 2025–2029.

Menurutnya, capaian realisasi anggaran belum mencerminkan efektivitas belanja terhadap hasil pembangunan. 

"Kami menilai laporan keuangan pemerintah daerah belum menggambarkan secara utuh capaian outcome, terutama dalam sektor-sektor yang bersentuhan langsung dengan publik,” ujar Heriwawan.

Fraksi Demokrat juga menyoroti program-program prioritas yang gagal direalisasikan Pemprov Sulsel.

Salah satunya bonus atlet PON XXI Aceh-Sumut 2024.

“Bonus untuk atlet berprestasi PON XXI belum dibayarkan dan tidak tercantum dalam mekanisme APBD 2024, meskipun telah dijanjikan secara terbuka," kata Heriwawan. 

Sementara, program layanan dasar seperti akses air bersih, listrik, dan layanan kesehatan di kawasan 3T masih tertinggal dan tidak mencerminkan pendekatan berbasis kebutuhan wilayah.

Oleh karena itu, Heriwawan mendesak Pemprov Sulsel agar adanya perubahan pendekatan penganggaran secara menyeluruh.

“Fraksi Demokrat mendorong pelaporan pertanggungjawaban ke depan mengacu pada sistem outcome-based budgeting. Perlu dilakukan evaluasi efektivitas program lintas OPD, terutama program prioritas yang tidak berdampak nyata," katanya.

Terkait RPJMD 2025–2029, Heriwawan menyatakan bahwa Pemprov Sulsel harus konsisten mengadopsi rekomendasi strategis dari DPRD Sulsel.

“Fraksi Demokrat menegaskan bahwa rekomendasi yang telah disampaikan pada saat pembahasan Rancangan Awal RPJMD merupakan dokumen politik kelembagaan, dan wajib menjadi dasar dalam penyusunan Rancangan Akhir,” ucapnya.

Selain itu, Demokrat meminta perhatian terhadap ketimpangan pembangunan di Luwu Raya, Toraja.

Terlebih perbatasan administratif, dan mempersiapkan strategi mitigasi terhadap krisis pangan global, fluktuasi nilai tukar, serta volatilitas dana transfer dari pusat.

Sementara itu, Anggota Fraksi Harapan, Kamaruddin menyampaikan pandangan senada dengan Demokrat. 

Pihaknya memang mengapresiasi capaian opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK terhadap laporan keuangan Pemprov Sulsel TA 2024. 

Namun, WTP menurut Kamaruddin, bukanlah tujuan akhir.

"Namun demikian, Fraksi Harapan menegaskan bahwa opini WTP harus kita maknai bukan semata keberhasilan administratif atau simbolik, melainkan sebagai titik tolak untuk terus memperbaiki kualitas belanja publik, efektivitas program, serta keadilan distribusi pembangunan,” ujar Kamaruddin.

Baginya, WTP bukanlah tujuan akhir, melainkan alat ukur untuk mengevaluasi sejauh mana keuangan daerah berpihak pada kepentingan rakyat.

Ia juga menyoroti dua masalah krusial berdasarkan temuan BPK.

Di antaranya, pelaksanaan belanja melebihi alokasi anggaran yang menimbulkan beban keuangan daerah sebesar Rp32 miliar.

Lalu Dana sharing iuran BPJS yang belum disalurkan karena menunggu verifikasi dan validasi jumlah peserta.

Kamaruddin membeberkan bahwa dari data yang mereka cermati, realisasi pendapatan daerah mencapai Rp9,99 triliun atau 98,33 persen.

Dengan PAD menyumbang Rp5,37 triliun, sementara belanja pegawai mencapai Rp3,79 triliun atau 99,54 persen, angka tertinggi dalam struktur belanja.

"Sedangkan realisasi belanja mencapai Rp9,80 triliun atau 97,48 persen, dengan belanja pegawai menempati porsi tertinggi, yaitu Rp3,79 triliun (99,54 persen), dan belanja barang dan jasa sebesar Rp2,08 triliun (93,31 persen)," tegasnya.

PKS Pertanyakan Defisit Rp1,49 Triliun

Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS) DPRD Sulsel mengungkap kondisi keuangan Pemprov Sulsel yang dinilai membahayakan stabilitas fiskal daerah. 

Berdasarkan Laporan Hasil Pemeriksaan BPK dan analisis Fraksi PKS, posisi keuangan Sulsel per 31 Desember 2024 menunjukkan defisit riil anggaran yang mengejutkan, yakni sebesar Rp1,49 triliun.

Anggota Fraksi PKS, Abdul Rahman, menyebut bahwa meski Laporan Realisasi Anggaran (LRA) mencatat surplus Rp189,64 miliar.

Namun faktanya kas daerah hanya tersisa Rp83,16 miliar.

Sedangkan utang beban mencapai Rp1,48 triliun. 

Artinya, rasio kas terhadap utang hanya 5,59 persen adalah sinyal bahaya bahwa kemampuan pemerintah provinsi menutup kewajiban jangka pendek sangat terbatas.

"Jika memperhitungkan utang beban dan utang bantuan keuangan yang belum dicatat, kondisi fiskal riil justru mengalami defisit sebesar Rp,1,49 Triliun," tegas Abdul Rahman dalam rapat paripurna DPRD, Rabu (3/7/2025) siang 

Menurutnya, ini mencerminkan perbedaan tajam antara laporan administratif dan kenyataan fiskal yang kita hadapi.

Tak hanya itu, Abdul Rahman mengingatkan bahwa defisit riil tersebut telah jauh melampaui batas maksimal yang ditetapkan Peraturan Menteri Keuangan (PMK) Nomor 83 Tahun 2023. 

Dalam regulasi itu, Provinsi Sulsel dikategorikan memiliki kapasitas fiskal rendah.

Sehingga batas defisit maksimal APBD 2024 hanya 4,35 persen dari pendapatan atau sekitar Rp434,71 miliar.

Dengan defisit riil sebesar Rp1,49 triliun, maka Pemprov Sulsel telah melampaui batas maksimal hingga Rp1,06 triliun. 

Ia pun lantas mempertanyakan, bagaimana mungkin postur fiskal pemerintah dapat mengalami defisit riil yang melampaui batas yang ditetapkan Peraturan kementerian keuangan. 

"Apakah hal ini terjadi akibat perencanaan belanja yang tidak realistis, atau pencatatan utang yang tertunda," tegas Abdul Rahman. 

Pemprov Sulsel pun dituntut bertanggung jawab atas postur fiskal seperti ini.

Fraksi PKS mendesak Gubernur Sulsel untuk segera menyusun strategi penyehatan fiskal jangka pendek yang realistis dan transparan. 

Skema ini harus mencakup penjadwalan ulang kewajiban, pengendalian belanja nonprioritas, serta optimalisasi potensi pendapatan daerah.

"Fraksi PKS mendesak agar disusun strategi penyehatan fiskal jangka pendek yang memuat skema penjadwalan ulang kewajiban, pengendalian belanja nonprioritas dan optimalisasi pendapatan," tegas Abdul Rahman. 

Soroti Opini WTP dan Temuan BPK

Dalam pandangannya terhadap laporan pertanggungjawaban Gubernur Sulsel atas APBD 2024, Fraksi PKS juga menegaskan bahwa opini Wajar Tanpa Pengecualian (WTP) dari BPK tidak otomatis membebaskan laporan keuangan dari kelemahan substantif.

“Sebagaimana tercantum dalam LHP BPK, masih terdapat banyak temuan yang menunjukkan belum optimalnya tata kelola keuangan, baik di sisi pendapatan, belanja, maupun pengelolaan aset,” jelas Abdul Rahman.

Di sektor pendapatan, PKS menyoroti kebijakan pembebasan tarif progresif Pajak Kendaraan Bermotor yang tidak sesuai ketentuan perundang-undangan.

Kemudian lemahnya pengawasan atas pemungutan Pajak Air Permukaan yang masih berbasis taksasi.

Di samping itu, tidak optimalnya pemanfaatan dan penagihan retribusi serta aset daerah.

“Kami mempertanyakan, mengapa potensi strategis seperti pajak air permukaan dan sewa aset daerah belum tergarap maksimal? Apakah ada kendala koordinasi antar lembaga, atau lemahnya sistem pengawasan di lapangan?” ujar Abdul Rahman.

Selanjutnya, Belanja dan Aset Daerah Juga Bermasalah

Fraksi PKS juga mengungkap pelanggaran prosedural dan pemborosan anggaran dalam belanja daerah. 

Termasuk di antaranya adalah kelebihan pembayaran insentif pejabat, pengadaan seragam SMA yang tidak sesuai spesifikasi, serta belanja konsumsi, dokumentasi, dan iklan yang tidak sesuai standar harga maupun regulasi pengadaan.

Pengelolaan dana BOS/BOSP juga dinilai amburadul, karena masih ditemukan transaksi lintas tahun, penggunaan tidak berdasarkan kebutuhan riil, dan praktik transaksi tunai yang dilarang.

Abdul Rahman mengaku heran mengapa belanja yang tidak sesuai kebutuhan dan spesifikasi masih terus terjadi, padahal sudah jadi sorotan BPK setiap tahun. 

"Harus ada penguatan pengawasan internal, terutama dari Inspektorat,” kata Abdul Rahman.

Di sektor aset, Fraksi PKS menyoroti banyaknya tanah milik pemerintah yang belum bersertifikat, tidak tercatat dengan benar, hingga berisiko gugatan hukum. 

Juga ditemukan pencairan dana dari rekening tanpa dokumen pendukung, serta persediaan barang rumah sakit yang tidak sesuai laporan dan kondisi fisik.

“Kami mendesak agar dibuat roadmap penyelesaian sertifikasi aset dan progresnya dibuka secara transparan kepada DPRD Sulsel,” tegasnya.

Melihat semua temuan ini, Fraksi PKS mengingatkan bahwa WTP bukanlah alasan untuk menutup mata terhadap berbagai kelemahan struktural. 

Pemprov Sulsel, menurutnya, harus segera melakukan pembenahan menyeluruh dari sistem, pengawasan, hingga akuntabilitas fiskal.(*)

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved