Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Minyak Goreng

Uang Sitaan dari Dua Raksasa CPO Kejagung Rp1,3 Triliun Bisa Beli 91.000 Rumah Subsidi

Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyita uang senilai Rp 1.374.892.735.527,46 atau setara lebih dari 91.000 unit rumah subsidi di Indonesia.

Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
KORUPSI EKSPOR CPO - Dirtut Jampidsus Kejagung Sutikno (kedua kanan) bersama Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (kedua kiri), Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar (kiri) dan Kajari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tindak pidana korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO) dan turunannya di Gedung Bundar Jampidus Kejaksaaan Agung, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Kejagung menyita Rp1,37 triliun lebih yang merupakan penyerahan dari dua perusahaan sawit PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group terkait kasus korupsi ekspor CPO. 

TRIBUN-TIMUR.COM, JAKARTA- Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyita uang senilai Rp 1.374.892.735.527,46 atau setara lebih dari 91.000 unit rumah subsidi di Indonesia.

Penyitaan ini berasal dari dua perusahaan raksasa industri kelapa sawit, yakni PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group, sebagai bagian dari penggantian kerugian keuangan negara dalam kasus korupsi pemberian fasilitas ekspor crude palm oil (CPO).

Dalam konferensi pers di Gedung Bundar Jampidsus, Jakarta, Rabu (2/7/2025), Direktur Penuntutan Kejagung Sutikno menjelaskan bahwa dana tersebut merupakan bentuk penyetoran uang titipan yang langsung disita dan ditempatkan di rekening atas nama Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Jampidsus).

“Kita sampaikan bahwa proses mereka adalah penyetoran uang titipan untuk mengganti kerugian keuangan negara,” ujar Sutikno.

Pantauan di lokasi memperlihatkan tumpukan uang tunai pecahan Rp 100.000 dan Rp 50.000 yang memenuhi ruang konferensi pers di lantai 11.

Bundelan uang pecahan Rp100.000 disusun dalam lima baris memanjang, sementara bundelan Rp50.000 sebanyak 21 bundel masing-masing senilai Rp500 juta disusun di belakang jajaran petinggi Kejagung.

Bila dihitung, uang sebesar Rp 1,37 triliun tersebut cukup untuk membeli sekitar 91.659 unit rumah subsidi, dengan asumsi harga satu rumah subsidi berkisar di angka Rp 15 juta untuk DP atau Rp 100–150 juta total pembiayaan. 

Putusan Bebas, Tapi Harus Bayar
Meski dalam amar putusan Mahkamah Agung tertanggal 19 Maret 2025 para terdakwa korporasi dinyatakan melakukan perbuatan sebagaimana didakwakan, mereka dibebaskan dari tuntutan hukum dengan status “bukan tindak pidana” atau ontslag van rechtsvervolging.

Namun, Jaksa tetap menuntut para korporasi membayar uang pengganti dan denda.

  • PT Wilmar Group: Rp 11,88 triliun uang pengganti
  • PT Permata Hijau Group: Rp 937,5 miliar uang pengganti
  • PT Musim Mas Group: Rp 4,89 triliun uang pengganti

Jika tidak dibayarkan, aset-aset pribadi para direksi dan pengendali perusahaan seperti Tenang Parulian (Wilmar), David Virgo (Permata Hijau), dan Gunawan Siregar (Musim Mas) akan disita dan dilelang.

Subsider hukuman penjara antara 12 hingga 19 tahun juga disiapkan bila pengembalian dana gagal dilakukan.

Komisi III DPR sebelumnya telah mendorong Kejagung untuk menuntaskan kasus korupsi CPO ini hingga ke akar-akarnya, termasuk memastikan uang pengganti benar-benar dibayarkan dan tidak hanya menjadi simbol sesaat.

Dengan jumlah uang yang bisa digunakan untuk membangun ribuan rumah rakyat, publik berharap pemulihan kerugian negara ini tak berhenti di simbolisasi, tapi benar-benar berdampak pada keadilan sosial dan pembangunan nasional.

Profil Wilmar Group 

Wilmar Group perusahaan raksasa kembalikan dana Rp11,8 triliun di kasus korupsi ekspor CPO atau minyak goreng.

Kejaksaan Agung (Kejagung) menyita Rp 11,8 triliun dari lima anak perusahaan Wilmar Group.

Wilmar Group menjadi sorotan publik imbas kasus ini.

Siapa pemilik dan produk apa saja produksi perusahaan raksasa ini pun ramai dicari dan menjadi trending.

Simak profil perusahaan raksasa tersebut.

Lima anak usaha Wilmar Grup resmi menjadi terdakwa dalam kasus dugaan korupsi ekspor crude palm oil (CPO) atau bahan baku minyak goreng. 

Direktur Penuntutan Jaksa Agung Muda Tindak Pidana Khusus (Dirtut Jampidsus), Sutikno, menjelaskan bahwa angka tersebut merupakan hasil perhitungan kerugian negara oleh BPKP dan ahli dari Universitas Gadjah Mada (UGM). 

“Kerugian itu terdiri dari kerugian keuangan negara, illegal gain, dan kerugian perekonomian negara. Totalnya mencapai Rp 11.880.351.802.619,” kata Sutikno, dikutip dari pemberitaan Kompas.com.

Kelima entitas Wilmar yang menjadi terdakwa adalah:

PT Multimas Nabati Asahan

PT Multinabati Sulawesi

PT Sinar Alam Permai

PT Wilmar Bioenergi Indonesia

PT Wilmar Nabati Indonesia

Siapa Pemilik Wilmar Group?

Wilmar Group merupakan perusahaan multinasional di sektor agribisnis dan minyak sawit yang didirikan pada 1991 oleh dua pengusaha besar: Kuok Khoon Hong dan Martua Sitorus.

Perusahaan pertama mereka adalah Wilmar Trading Pte Ltd di Singapura, yang saat itu hanya memiliki lima karyawan dan modal awal sebesar 100.000 dollar Singapura.

Tak lama kemudian, Wilmar mendirikan perkebunan kelapa sawit pertamanya di Sumatera Barat seluas 7.000 hektar melalui PT Agra Masang Perkasa (AMP).

Ekspansi kilang dan akuisisi pabrik terus dilakukan di berbagai daerah seperti Sumatera Utara, Riau, dan Sumatera Selatan.

Pada awal 2000-an, Wilmar mulai memasarkan minyak goreng merek sendiri, seperti Sania. Pada 2005, mereka mengakuisisi PT Cahaya Kalbar Tbk, produsen lemak dan minyak khusus untuk industri makanan.

Lalu, pada 2006, Wilmar Trading Pte Ltd berganti nama menjadi Wilmar International Limited dan melantai kembali di Bursa Singapura.

Jejak Wilmar Kini

Saat ini, Wilmar Group menjadi salah satu pemain utama dalam industri kelapa sawit global.

Hingga 31 Desember 2020, total lahan tanam yang dimiliki mencapai 232.053 hektar, dengan 65 persen berada di Indonesia.

Lokasi perkebunan mencakup Sumatera, Kalimantan Barat, dan Kalimantan Tengah.

Sisanya tersebar di Malaysia, Uganda, dan Afrika Barat.

“Di Indonesia, perkebunan kami berlokasi di Sumatera, Kalimantan Barat dan Kalimantan Tengah (wilayah selatan), sedangkan di Malaysia berada di Sabah dan Sarawak,” tulis Wilmar dalam laporan resminya yang dikutip Rabu (18/6/2025).

Wilmar juga mengelola lebih dari 35.000 hektar lahan di bawah skema petani kecil serta bekerja sama dengan mitra petani di Afrika dan Indonesia.

Selain memproduksi minyak sawit mentah, Wilmar adalah produsen minyak nabati kemasan terbesar di dunia.

Di Indonesia, produk seperti Sania, Fortune, Siip, dan Sovia adalah merek-merek minyak goreng yang berasal dari Wilmar.

Tak hanya itu, Wilmar juga memiliki lini bisnis pangan lain, seperti beras, tepung, mie, hingga bumbu masak.

Bahkan di sektor pupuk, Wilmar termasuk salah satu pemain terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton per tahun.

“Bisnis pupuk diarahkan ke sektor kelapa sawit, sejalan dengan salah satu bisnis inti Wilmar,” ungkap perusahaan.

Berikut adalah beberapa kategori produk Wilmar Group:

Minyak goreng kemasan: Sania, Fortune, Siip, Sovia

Beras: Beras premium Sania, Fortune

Tepung terigu: Tulip, Sania

Dilansir dari laman resminya, Wilmar Group juga memiliki bisnis di bidang perkebunan kelapa sawit, penggilingan padi, penggilingan dan penyulingan gula, serta manufaktur produk konsumen. 

Wilmar Group juga bergerak dalam perdagangan dan distribusi berbagai pupuk dan agrokimia. 

Profil Kuok Khoon Hong

Nama  Kuok Khoon Hong nyaris tak pernah disebut di panggung politik.

Tapi pengaruhnya terasa seperti embusan angin yang tak terlihat tapi menggoyang seluruh pohon.

Ia bukan menteri, bukan pula ketua korporasi milik negara.

Tapi dari kantornya di Singapura, lelaki berusia 75 tahun itu mengendalikan salah satu imperium agribisnis terbesar yang pernah dibangun di Asia: Wilmar International Ltd.

 Didirikan pada 1991, Wilmar bukan sekadar perusahaan kelapa sawit.

Di tangan Kuok, ia menjelma menjadi lengan ekonomi yang menjulur dari perkebunan-perkebunan di Sumatra dan Kalimantan, pabrik-pabrik penyulingan minyak di Cina, hingga rak-rak supermarket di Afrika.

Wilmar tak hanya mengolah sawit, tapi juga mengatur distribusi, perdagangan, dan ekspornya. Dengan kata lain: dari hulu hingga hilir, Wilmar ada.

Lahir dan besar di Singapura, Kuok berasal dari keluarga pedagang minyak. Ia menyandang nama besar dari pamannya, Robert Kuok, taipan asal Malaysia yang dijuluki “Raja Gula Asia.” Tapi Kuok Khoon Hong menempuh jalannya sendiri.

Setelah lulus dari Universitas Nasional Singapura, ia meniti karier di bidang perdagangan minyak sawit.

 Ia kemudian menjalin kemitraan bisnis dengan Martua Sitorus, pengusaha asal Sumatra Utara yang menjadi sahabat sekaligus mitra strategis.

Dari sinilah Wilmar berkembang menjadi raksasa. Pada 2020, Kuok mencatatkan anak perusahaan Wilmar di Cina, Yihai Kerry Arawana, dalam penawaran saham perdana (IPO) senilai USD2,1 miliar—salah satu IPO terbesar di Bursa Shenzhen.

Perusahaan itu kini menguasai pangsa besar dari pasar minyak goreng dan produk pangan olahan di Cina.

Di luar itu, Kuok juga memiliki saham di Yanlord Land, perusahaan properti milik miliarder Zhong Sheng Jian, serta Perennial Real Estate Holdings, yang memiliki sejumlah properti ikonik di Asia.

Di London, Kuok dan Martua juga menjadi pemilik Aviva Tower, pencakar langit di pusat keuangan Kota London. Sementara di Indonesia, jejak Wilmar mengakar kuat di jalur distribusi minyak goreng—yang belakangan membuat nama Wilmar terseret dalam pusaran besar: korupsi ekspor CPO senilai Rp11,8 triliun.

Ketika Kejaksaan Agung menggelar konferensi pers pada Selasa, 17 Juni 2025, perhatian publik tersedot ke tumpukan uang bernilai miliaran yang membentuk lingkaran mengelilingi meja juru bicara. Di situlah nama Wilmar mencuat.

Sebanyak 5 anak perusahaan Wilmar Group terbukti menerima fasilitas ekspor secara ilegal selama masa larangan ekspor minyak sawit pada 2022. Audit BPKP dan kajian Fakultas Ekonomi UGM mencatat total kerugian negara dari praktik itu mencapai Rp11,88 triliun.

Lima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Perusahaan itu diklaim telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut.

Di tengah guncangan itu, Kuok Khoon Hong tetap bungkam. Ia tak tampil di media. Tak memberi pernyataan resmi. Dunia bisnis mengenalnya sebagai sosok pendiam yang bekerja dari balik layar. Tapi dalam pusaran hukum dan sorotan publik kali ini, bayangan bisnisnya terlalu besar untuk disembunyikan.

Sebagian pihak menyebut Wilmar sebagai simbol kegagalan pengawasan tata kelola industri sawit di Indonesia. Korporasi sebesar itu dapat menyusup ke celah regulasi, menjinakkan pejabat, bahkan menggiring putusan hukum.

Apalagi Wilmar bukan pemain baru.

Nama perusahaannya telah disebut dalam laporan Rainforest Action Network hingga Greenpeace sebagai korporasi yang ditengarai melakukan deforestasi, konflik lahan dengan warga, dan praktik perburuhan bermasalah.

Kini, saat uang-uang kembali ke kas negara, pertanyaan yang lebih besar masih menggantung: apakah keadilan telah ditegakkan, atau hanya disuap untuk diam?

Kuok mungkin sedang duduk di lantai tertinggi Aviva Tower, menyaksikan arus berita dari kejauhan. Tapi warisan bisnis yang ia bangun tiga dekade lalu sedang diadili bukan hanya oleh pengadilan, tapi juga oleh sejarah.

Artikel ini sebagian telah tayang di Kompas.com 

(tribun-timur.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved