Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Minyak Goreng

Uang Sitaan dari Dua Raksasa CPO Kejagung Rp1,3 Triliun Bisa Beli 91.000 Rumah Subsidi

Kejaksaan Agung Republik Indonesia menyita uang senilai Rp 1.374.892.735.527,46 atau setara lebih dari 91.000 unit rumah subsidi di Indonesia.

Editor: Muh Hasim Arfah
TRIBUNNEWS/IRWAN RISMAWAN
KORUPSI EKSPOR CPO - Dirtut Jampidsus Kejagung Sutikno (kedua kanan) bersama Kapuspenkum Kejagung Harli Siregar (kedua kiri), Dirdik Jampidsus Kejagung Abdul Qohar (kiri) dan Kajari Jakarta Pusat Safrianto Zuriat (kanan) memberikan keterangan saat konferensi pers tindak pidana korupsi pemberian fasilitas crude palm oil (CPO) dan turunannya di Gedung Bundar Jampidus Kejaksaaan Agung, Jakarta, Rabu (2/7/2025). Kejagung menyita Rp1,37 triliun lebih yang merupakan penyerahan dari dua perusahaan sawit PT Permata Hijau Group dan PT Musim Mas Group terkait kasus korupsi ekspor CPO. 

Bahkan di sektor pupuk, Wilmar termasuk salah satu pemain terbesar di Indonesia dengan kapasitas produksi 1,2 juta metrik ton per tahun.

“Bisnis pupuk diarahkan ke sektor kelapa sawit, sejalan dengan salah satu bisnis inti Wilmar,” ungkap perusahaan.

Berikut adalah beberapa kategori produk Wilmar Group:

Minyak goreng kemasan: Sania, Fortune, Siip, Sovia

Beras: Beras premium Sania, Fortune

Tepung terigu: Tulip, Sania

Dilansir dari laman resminya, Wilmar Group juga memiliki bisnis di bidang perkebunan kelapa sawit, penggilingan padi, penggilingan dan penyulingan gula, serta manufaktur produk konsumen. 

Wilmar Group juga bergerak dalam perdagangan dan distribusi berbagai pupuk dan agrokimia. 

Profil Kuok Khoon Hong

Nama  Kuok Khoon Hong nyaris tak pernah disebut di panggung politik.

Tapi pengaruhnya terasa seperti embusan angin yang tak terlihat tapi menggoyang seluruh pohon.

Ia bukan menteri, bukan pula ketua korporasi milik negara.

Tapi dari kantornya di Singapura, lelaki berusia 75 tahun itu mengendalikan salah satu imperium agribisnis terbesar yang pernah dibangun di Asia: Wilmar International Ltd.

 Didirikan pada 1991, Wilmar bukan sekadar perusahaan kelapa sawit.

Di tangan Kuok, ia menjelma menjadi lengan ekonomi yang menjulur dari perkebunan-perkebunan di Sumatra dan Kalimantan, pabrik-pabrik penyulingan minyak di Cina, hingga rak-rak supermarket di Afrika.

Wilmar tak hanya mengolah sawit, tapi juga mengatur distribusi, perdagangan, dan ekspornya. Dengan kata lain: dari hulu hingga hilir, Wilmar ada.

Lahir dan besar di Singapura, Kuok berasal dari keluarga pedagang minyak. Ia menyandang nama besar dari pamannya, Robert Kuok, taipan asal Malaysia yang dijuluki “Raja Gula Asia.” Tapi Kuok Khoon Hong menempuh jalannya sendiri.

Setelah lulus dari Universitas Nasional Singapura, ia meniti karier di bidang perdagangan minyak sawit.

 Ia kemudian menjalin kemitraan bisnis dengan Martua Sitorus, pengusaha asal Sumatra Utara yang menjadi sahabat sekaligus mitra strategis.

Dari sinilah Wilmar berkembang menjadi raksasa. Pada 2020, Kuok mencatatkan anak perusahaan Wilmar di Cina, Yihai Kerry Arawana, dalam penawaran saham perdana (IPO) senilai USD2,1 miliar—salah satu IPO terbesar di Bursa Shenzhen.

Perusahaan itu kini menguasai pangsa besar dari pasar minyak goreng dan produk pangan olahan di Cina.

Di luar itu, Kuok juga memiliki saham di Yanlord Land, perusahaan properti milik miliarder Zhong Sheng Jian, serta Perennial Real Estate Holdings, yang memiliki sejumlah properti ikonik di Asia.

Di London, Kuok dan Martua juga menjadi pemilik Aviva Tower, pencakar langit di pusat keuangan Kota London. Sementara di Indonesia, jejak Wilmar mengakar kuat di jalur distribusi minyak goreng—yang belakangan membuat nama Wilmar terseret dalam pusaran besar: korupsi ekspor CPO senilai Rp11,8 triliun.

Ketika Kejaksaan Agung menggelar konferensi pers pada Selasa, 17 Juni 2025, perhatian publik tersedot ke tumpukan uang bernilai miliaran yang membentuk lingkaran mengelilingi meja juru bicara. Di situlah nama Wilmar mencuat.

Sebanyak 5 anak perusahaan Wilmar Group terbukti menerima fasilitas ekspor secara ilegal selama masa larangan ekspor minyak sawit pada 2022. Audit BPKP dan kajian Fakultas Ekonomi UGM mencatat total kerugian negara dari praktik itu mencapai Rp11,88 triliun.

Lima perusahaan itu adalah PT Multimas Nabati Asahan, PT Multi Nabati Sulawesi, PT Sinar Alam Permai, PT Wilmar Bioenergi Indonesia, dan PT Wilmar Nabati Indonesia. Perusahaan itu diklaim telah mengembalikan seluruh kerugian tersebut.

Di tengah guncangan itu, Kuok Khoon Hong tetap bungkam. Ia tak tampil di media. Tak memberi pernyataan resmi. Dunia bisnis mengenalnya sebagai sosok pendiam yang bekerja dari balik layar. Tapi dalam pusaran hukum dan sorotan publik kali ini, bayangan bisnisnya terlalu besar untuk disembunyikan.

Sebagian pihak menyebut Wilmar sebagai simbol kegagalan pengawasan tata kelola industri sawit di Indonesia. Korporasi sebesar itu dapat menyusup ke celah regulasi, menjinakkan pejabat, bahkan menggiring putusan hukum.

Apalagi Wilmar bukan pemain baru.

Nama perusahaannya telah disebut dalam laporan Rainforest Action Network hingga Greenpeace sebagai korporasi yang ditengarai melakukan deforestasi, konflik lahan dengan warga, dan praktik perburuhan bermasalah.

Kini, saat uang-uang kembali ke kas negara, pertanyaan yang lebih besar masih menggantung: apakah keadilan telah ditegakkan, atau hanya disuap untuk diam?

Kuok mungkin sedang duduk di lantai tertinggi Aviva Tower, menyaksikan arus berita dari kejauhan. Tapi warisan bisnis yang ia bangun tiga dekade lalu sedang diadili bukan hanya oleh pengadilan, tapi juga oleh sejarah.

Artikel ini sebagian telah tayang di Kompas.com 

(tribun-timur.com)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved