Lipsus Petepete di Makassar
Petepete Kian Sepi dan Terpinggirkan
Petepete makin sepi penumpang di Makassar. Transportasi online jadi pilihan utama, petepete perlahan ditinggalkan. Sopir bertahan di tengah tekanan.
Lisa juga mengakui adanya penurunan jumlah penumpang petepete dibanding beberapa tahun sebelumnya.
“Kalau mau dibandingkan beberapa tahun lalu mungin agak menurunmi penumpangnya. Mungkin pengaruh transportasi lain yang lebih efektif dan efisien,” ujar Lisa Natalia.
Sementara mahasiswi UNM Nurul Husni Fatima mengaku masih sering menggunakan petepate.
“Kalau pakai petepete lebih hemat dibanding ojek online,” ujarnya.
Ia seringkali menunggu petepete hingga 10 menit.
Tranportasi Online Lebih Diminati
Petepete tak lagi seramai tahun 1990.
Kondisi berubah drastis ketika transportasi berbasis aplikasi mulai masuk ke Makassar.
“Transportasi online sekarang lebih diminati masyarakat karena lebih efektif dan murah. Orang tinggal pesan dari rumah, dijemput, tanpa perlu keluar ke pinggir jalan,” kata Burhanuddin pengusaha angkutan umum wilayah Mamminasata, Kamis (26/6/2025).
Sistem yang dibawa transportasi online jauh lebih efisien.
Para pengemudi dilengkapi aplikasi, dan layanan pun terintegrasi mulai dari angkutan penumpang hingga pengantaran makanan.
Ia membandingkan dengan masa lalu, saat pengusaha taksi masih bergantung pada sistem panggilan via telepon dan terminal pangkalan.
Kini, semua berubah. Taksi konvensional nyaris tidak bisa bersaing.
“Bahkan halte-halte di Makassar pun sudah rusak. Tak terawat,” katanya.
Baginya, kondisi tersebut menunjukkan bahwa perhatian pemerintah terhadap nasib angkutan umum semakin terabaikan.
Burhanuddin juga curhat nasib angkutan kota jenis petepete yang dulunya mendominasi jalanan Makassar.
“Lima tahun lalu, jumlah Pete-pete dan angkutan umum lainnya masih ribuan. Sekarang tak sampai 600 unit yang masih beroperasi. Itu pun banyak hidup segan, mati tak mau,” ucapnya.
Menurutnya, Pete-pete yang masih bertahan hanya karena supir-supirnya tidak punya beban cicilan atau kredit.
“Paling mereka dapat Rp100 ribu per hari. Tidak cukup untuk hidup layak,” tambahnya.
Burhanuddin menilai pemerintah belum serius membenahi sistem transportasi umum.
Ia membandingkan dengan DKI Jakarta yang sudah memiliki sistem terintegrasi seperti Transjakarta, Mass Rapid Transit (MRT), dan (Lintas Rel Terpadu) LRT.
“Di Makassar ini sebagai kota metropolitan tidak terintegrasi. Beda dengan transportasi di DKI Jakarta. Jakarta itu kan meliputi sudah serananya bagus. Sementara di Makassar ini apa yang bisa kita andalkan,” ungkapnya.
Terlebih, perhatian pemerintah terhadap nasib angkutan konvensional masih minim.
Sementara perpindahan masyarakat ke layanan online terus berlangsung tanpa ada langkah konkret.
Ia berharap pemerintah segera melakukan kolaborasi dengan pelaku usaha transportasi konvensional agar tidak sepenuhnya tersingkir.
“Pemerintah harus beri ruang dan pemberdayaan. Tinggalkan konsep lama, mulai beralih ke sistem digital. Kalau tidak, Pete-pete dan taksi konvensional akan benar-benar punah dalam lima tahun ke depan,” ujar Burhanuddin.
Burhanuddin mengaku telah lama menyadari arah perubahan industri transportasi di tengah derasnya arus digitalisasi.
Ia melihat kemunduran bukan sekadar akibat teknologi, melainkan juga permainan kekuatan ekonomi yang lebih besar.
“Saya ini dulu pejuang taksi konvensional. Tapi sejak 2016, saya sudah prediksi semua ini akan mati. Karena ini bukan cuma soal teknologi, tapi politik ekonomi. Kapitalisme menang, dan pemerintah mendukung itu,” pungkasnya. (St Aminah / Erlan)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.