Opini
Pilar Negara Tangguh
Banyak negara menjadi negara maju kini karena memanfaatkan baik karunia ini.
Oleh: Muh. Zulkifli Mochtar
TRIBUN-TIMUR.COM - Masa depan sebuah bangsa sangat tergantung generasi mudanya. Kemajuan anak anak kita adalah pilar utama ketangguhan negara keseluruhan.
Bicara tentang anak, kita akan terhubung dengan tema Demographic Bonus – sebuah karunia dan kesempatan emas. Kondisi dimana penduduk usia produktif lebih besar dari usia non produktif.
Banyak negara menjadi negara maju kini karena memanfaatkan baik karunia ini.
Anak anak muda mereka dikirim belajar ke penjuru dunia, inovasi dan teknologi dikembangkan secara masif dan terencana. Jepang dan Korea contoh paling kongkrit untuk ini.
Tapi ada juga negara yang gagal memanfaatkan bonus demografi ini. Malah terjebak ke pengangguran usia produktif meluas. Disinilah perlunya Resilient education system.
Menurut OECD, dari banyak kunci penting untuk menuju ketangguhan ini, salah satu adalah ‘strengthen school-family partnerships dan keep parents involved in study learning’.
Sebagai orang tua dari tiga siswa di Jepang, saya menyaksikan betapa kerjasama sekolah – orang tua terbangun dengan baik.
Informasi tentang kegiatan sekolah dan perkembangan anak tersampaikan baik ke orang tua. Karena orang tua punya kewajiban menandatangani berbagai catatan harian.
Bicara tentang anak muda, kita sepakat bahwa cara mereka ‘menghadapi’ dunia cenderung berbeda dengan generasi sebelumnya.
Berbeda dalam banyak hal; cara pikir, cara bekerja, cara mengisi waktu, dan banyak lagi. Penampilan pun beda.
Dibanding generasi sebelumnya yang cenderung bergaya ‘resmi’ formal ala kantoran, mereka umumnya lebih senang bergaya kasual tanpa aturan resmi.
Cara pikir dan bertindak cepat. Pengambilan keputusan juga cenderung cepat. Generasi mereka yang didominasi ‘digital native’ yakni lahir dan tumbuh bersamaan teknologi digital.
Otak mereka pun dibentuk serba digital dan saat otak sudah terbentuk digital, akan muncul kemampuan superior pengambilan keputusan cepat karena dukungan banyak sumber sensory input.
Beberapa ahli menyimpulkan, saat membaca dan memahami sesuatu, mereka juga cenderung selalu ingin cepat selesai. Ini terjadi karena dibesarkan di era yang menuntut kecepatan.
Otak mereka pun terbiasa lebih banyak scanning process, dibanding reading process
Lalu mereka itu siapa? Generasi millennial keatas sering dikategorikan sebagai representasi usia muda.
Menurut buku Millenial Nusantara karya Hasanuddin Ali dan L. Purwandi, ada empat cohort utama dalam demografi: Baby Boomer, Gen-X, Millennials dan Gen-Z.
Baby Boomer yakni generasi kelahiran 1946-1964, misalnya penyanyi Iwan Fals. Lalu ada Generasi X yang kelahiran 1965-1980, misalnya Dian Sastro. Selanjutnya lahirlah generasi millennial, kelahiran 1981-2000.
Kebanyakan adalah pasangan rumah tangga usia muda atau fresh graduate universitas. Banyak contoh generasi ini, misalnya Raffi Achmad. Lalu muncul lagi generasi Z lahir setelah tahun 2000.
Sementara The Pew Research Center mendefinisikan milenial mereka yang kelahiran tahun 1981-1996.
Berarti Amerika punya 72 juta kaum milenial. China memiliki sekitar 400 juta, sementara Jepang punya 27 juta milenial atau seperlima dari penduduknya.
Sementara menurut BPS 2015, Indonesia punya 33 persen kaum milenial dari total penduduknya. Berarti sekitar 83 juta jiwa. Diprediksikan makin melonjak saat ini.
Milenial Jepang juga berubah. Karena banyak khawatir - terutama masalah ekonomi, banyak memilih tidak berkeluarga. Inilah satu penyulut rendahnya kelahiran anak diatas.
Instrumen lain banyak bemunculan, kepemilikan rumah anak muda yang menyusut misalnya.
Menurut laporan ekonomi Business Insider akhir bulan lalu, tahun 2018 hanya 26 persen homeownership rate dimiliki kepala rumah tangga kelompok usia 30 hingga 34 tahun — turun dari 46 % pada tahun 1983.
Mereka cenderung lebih ingin ‘diversified values’, kepemilikan properti bukan masalah besar. Tidak perlu memiliki, yang penting bisa digunakan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.