Opini
Stephen Hawking, Tambang, hingga Wahabi Lingkungan
Seperti katanya dalam tulisan “Ini Adalah Saat yang Paling Berbahaya bagi Planet Kita” yang dimuat The Guardian.
Oleh: Wahyu Hidayat
Mahasiswa PPG Prajabatan UNM
TRIBUN-TIMUR.COM - BAYANGKAN: Anda duduk di antara hadirin di Cambridge, dikelilingi hening yang tegang. Tak ada teriakan.
Hanya suara digital yang dingin, tenang, dan pasti: “Umat manusia harus mencari planet baru, sebelum bumi tak bisa lagi ditinggali.” Bukan seribu tahun.
Tapi seratus. Itulah peringatan mengguncang dari seorang yang bicara bukan dengan nada, melainkan dengan nalar tajam: Stephen Hawking. Meski mendapat banyak interupsi.
Tapi, itu tidak ujug-ujug, ada landasan ilmiah, membuatnya masuk akal, dan bisa diterima.
Seperti katanya dalam tulisan “Ini Adalah Saat yang Paling Berbahaya bagi Planet Kita” yang dimuat The Guardian.
“Sekarang, lebih dari kapan pun, dalam rentangan sejarah manusia, spesies kita perlu mempererat persatuan dan kerja sama. Kita sedang menghadapi tantangan lingkungan yang tak biasa, meliputi perubahan iklim, produksi pangan, kelebihan populasi, penipisan jumlah spesies (selain manusia), penyakit epidemik, hingga pengasaman samudera,” tulisnya.
Hawking menekankan hendaknya manusia mempererat persatuan menjaga lingkungan, menghadapi ancaman kepunahan bumi.
Dalam kuliah umumnya di tahun-tahun terakhirnya, seperti di BBC Reith Lectures dan wawancara di acara Breakthrough Initiatives, ia memberi peringatan bersifat distingtif, bahwa eksploitasi akan membawa dampak fatal, dan kita harus mencari planet lain karena bumi semakin tidak layak huni.
Hawking menggemakan pentingnya persatuan umat manusia, menjaga bumi dari ancaman kehancuran.
Salah satu ancaman nyata yang sulit diabaikan adalah kerusakan akibat aktivitas pertambangan. Industri tambang, yang selama ini dianggap penopang ekonomi negara, justru absen melihat fakta, bahwa geliat pertambangan merupakan salah satu kontributor terbesar degradasi lingkungan.
Pertambangan memicu kerusakan lingkungan, mulai dari deforestasi, pencemaran air dan udara, hingga pemanasan global.
Salah satu bukti nyata polemik ini terjadi di Raja Ampat. Wilayah ini dijuluki pusat keanekaragaman laut global, dengan 75 persen spesies karang dunia, 2.500 spesies ikan, ribuan moluska, burung, mamalia, dan tumbuhan endemik, dikutip Kemenlh.go.id.
Banyak dari gugusan pulau di sana, masuk zona konservasi laut nasional dan menjadi habitat bagi spesies endemik.
Saatnya Meninjau Ulang Parliamentary Threshold 4 Persen |
![]() |
---|
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.