BI Boyong Wartawan Makassar Wisata Sejarah Yogyakarta: Ada Jejak Sulsel dalam Sejarah Jawa
Salah satu lokasi yang dikunjungi adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pusat kebudayaan dan kediaman resmi Sultan Yogyakarta.
Penulis: Muhammad Nur Alqadri Sirajuddin | Editor: Saldy Irawan
TRIBUN-TIMUR.COM, YOGYAKARTA – Usai mengikuti pelatihan wartawan selama dua hari yang digelar Bank Indonesia (BI) Perwakilan Sulawesi Selatan, rombongan peserta Training for Trainer melanjutkan agenda hari ketiga dengan mengunjungi sejumlah destinasi ikonik di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), Rabu (25/6/2025).
Salah satu lokasi yang dikunjungi adalah Keraton Ngayogyakarta Hadiningrat, pusat kebudayaan dan kediaman resmi Sultan Yogyakarta.
Perjalanan dari Hotel Novotel Malioboro ke kawasan Keraton ditempuh selama kurang lebih 30 menit menggunakan bus pariwisata.
Dalam perjalanan, rombongan dipandu oleh tour guide, Azhar yang membagi peserta menjadi dua regu. Saya tergabung dalam regu dua.
Sebelum tiba di Keraton, rombongan lebih dahulu menunggu shuttle bus di kawasan Titik Nol Kilometer selama sekitar 15 menit.
Di area ini berdiri beberapa bangunan bersejarah peninggalan kolonial Belanda, termasuk Monumen Serangan Umum 1 Maret 1949 yang ikonik.
Memasuki Jantung Budaya Yogyakarta
Tepat pukul 09.30 WIB, rombongan tiba di pintu masuk Keraton.
Para peserta diarahkan untuk berbaris dan diminta melepas topi sebagai bentuk penghormatan sebelum memasuki Keraton.
Di gerbang bercat putih, kami disambut simbol kesultanan Yogyakarta bernama Praja Cihna.
Rombongan selanjutnya tour guide khusus keraton menuju Museum Hamong Nagari yang berada di dalam kompleks keraton.
Museum ini terbagi dalam beberapa bagian, antara lain:
Bagian pertama menampilkan pakaian adat Yogyakarta, seperti Surjan, Kebaya, dan busana Abdi Dalem.
Bagian kedua menyimpan koleksi perhiasan, senjata, dan mahkota kesultanan.
Bagian ketiga berisi peta strategi perang, termasuk posisi barisan prajurit Kesultanan yang mencantumkan nama Bugisan dan Dhaengan—mengisyaratkan keterlibatan orang Sulawesi Selatan dalam sejarah militer keraton.
Prajurit Bugisan, Warisan Sulsel di Tanah Mataram
Kampung Bugisan di Yogyakarta bukan sekadar nama daerah, tetapi jejak sejarah nyata dari kehadiran orang Bugis dalam struktur militer Kesultanan Yogyakarta.
Mereka tergabung dalam pasukan Bugisan, satu dari beberapa kesatuan prajurit Keraton.
Salah satu abdi dalem, Sudomo, mengatakan hingga kini prajurit Bugisan masih dilibatkan dalam prosesi upacara adat seperti Grebeg Besar dan Grebeg Maulud.
"Setiap tanggal 12 Rabiul Awal (Maulid Nabi Muhammad) selalu ada itu di alun-alun," jelas Sudomo saat diwawancaran Tribun-Timur.com.
"Ada hari-hari tertentu memang prajurit Bugis ini baris di sini," sambungnya.
Ia menyebutkan keberadaan prajurit Bugis dalam struktur kesultanan sudah berlangsung sejak dahulu kala.
"Iya, memang bersatu di sini. Sudah sejak dulu jadi satu kesatuan dengan prajurit Kesultanan Yogyakarta," ujarnya.
Mengutip informasi dari situs resmi Keraton Yogyakarta, prajurit Bugis awalnya merupakan pasukan dari Keraton Surakarta yang diutus Raja Mangkunegoro I untuk mengawal Gusti Kanjeng Ratu Bendoro, putri kedua Sri Sultan Hamengkubuwono I.
Ketika Raja Mangkunegoro I memutuskan menceraikan sang putri dan memulangkannya ke Yogyakarta, prajurit Bugis pun tetap setia mendampingi dan akhirnya menjadi bagian dari kesultanan.
Simbol, Senjata, dan Filosofi Bugisan
Dalam upacara Garebeg, prajurit Bugisan bertugas sebagai pengawal gunungan menuju Kepatihan.
Mereka membawa panji kebesaran bernama Wulan Dadari, kain berbentuk persegi panjang hitam dengan lingkaran kuning keemasan di tengahnya.
Secara filosofis, Wulan Dadari berarti bulan yang mekar—lambang pasukan yang memberi cahaya dalam kegelapan, seperti rembulan di malam hari.
Senjata khas yang digunakan prajurit Bugis adalah tombak (waos), sementara senjata pusaka mereka dikenal sebagai Kanjeng Kiai Trisula.
Saat prosesi berlangsung, iringan pasukan diiringi oleh Gending Sandung Liwung, musik khas Keraton.
Kehadiran nama Bugisan di jantung Yogyakarta tak hanya memperkaya sejarah Nusantara, tetapi juga menjadi penanda eratnya hubungan antara dua entitas budaya besar Bugis dan Jawa.
Sengketa dengan Wiljan Pluim Selesai, PSM Makassar Segera Daftarkan Pemain Baru |
![]() |
---|
Penentuan Lokasi PSEL Disebut Tak Libatkan Warga, DPRD Makassar Usul Kembali ke Manggala |
![]() |
---|
Bulog Ungkap Alasan Harga Beras di Sulsel Naik |
![]() |
---|
Mau Jadi Ketua RT di Makassar? Mamajang Siapkan Kuota 279 RT dan 56 RW |
![]() |
---|
Elite Demokrat Bocorkan Pjs RT/RW Makassar Masih Punya Peluang Maju |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.