Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Museum Sepi

Museum adalah Pijakan Mengenali Diri, Tapi Kurang Dikenali Publik

Budayawan Sulawesi Selatan Arifin Manggau memaparkan filosofi museum untuk mengenali diri, simbol budaya dan kesenian, hingga kepahlawanan. 

Penulis: Siti Aminah | Editor: Muh Hasim Arfah
UNM
ESENSI MUSEUM-Wakil Rektor III Arifin Manggau dalam sambutannya pada Bimtek Program Kreativitas Mahasiswa (PKM) Menuju Tahun 2025. Arifin Manggau mengungkap esensi terdalam dari keberadaan museum sebagai ruang kontemplatif masyarakat untuk mengenali jati diri, budaya, sejarah, hingga semangat kepahlawanan. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Pernyataan Budayawan Sulsel, Arifin Manggau mengungkap esensi terdalam dari keberadaan museum sebagai ruang kontemplatif masyarakat untuk mengenali jati diri, budaya, sejarah, hingga semangat kepahlawanan.

Dalam pandangannya, museum bukan sekadar tempat penyimpanan benda-benda masa lalu, tapi landasan identitas kolektif yang menghubungkan manusia dengan akar historisnya.

Namun, meski museum memiliki makna filosofis yang kuat, minimnya animo masyarakat—terutama generasi muda—menjadi peringatan serius bahwa institusi sejarah ini tengah mengalami krisis eksistensi.

Arifin Manggau, yang juga Ketua Dewan Kesenian Sulawesi Selatan dan Wakil Rektor Bidang Kemahasiswaan UNM, menyebut bahwa kurangnya promosi dan pengemasan yang menarik adalah salah satu akar persoalan.

Museum sejatinya menyimpan banyak cerita perjuangan, namun menurut Arifin, cerita-cerita itu sering terbungkam oleh sunyinya strategi komunikasi budaya.

Di tengah gempuran digitalisasi, museum seperti kehilangan momentum untuk tampil di ruang publik dengan bahasa visual dan digital yang relevan.

Ia menekankan pentingnya penggunaan literasi digital, seperti konten kreatif media sosial, potongan video misterius, hingga pemanfaatan video tron (layar LED) yang menampilkan cuplikan suasana museum yang membangun rasa penasaran.

“Promosi museum harus dikemas dengan misterius, seperti menampilkan potongan suasana museum yang dibumbui konten yang membuat penasaran,” ujarnya.

Pernyataan ini menggarisbawahi bahwa narasi promosi museum selama ini terlalu normatif, tidak membangun wacana emosional yang bisa mengikat rasa ingin tahu masyarakat.

Apa yang disampaikan Arifin mengandung kritik konstruktif terhadap pendekatan statis lembaga kebudayaan.

Ketika museum tetap menggunakan pendekatan lama, poster formal, brosur cetak, dan kurasi yang monoton, maka generasi digital pun menjauh.

Sementara itu, strategi komunikasi kekinian justru menuntut gaya narasi yang menyentuh psikologis dan visual masyarakat.

Museum perlu mengadaptasi bahasa visual populer, storytelling pendek bergaya sinematik, bahkan pendekatan “teaser” seperti yang umum di trailer film.

Museum seharusnya menjadi “taman bermain sejarah”, bukan sekadar tempat menyimpan benda antik.

Untuk itu, museum mesti aktif menyesuaikan diri, tampil di ruang-ruang digital yang setiap hari dikonsumsi masyarakat.

Dalam konteks kebijakan, Arifin juga mengingatkan bahwa pemerintah dan seluruh elemen terkait tidak boleh tinggal diam.

Pemerintah harus hadir sebagai fasilitator sekaligus motor penggerak dalam “memproklamirkan” museum sebagai destinasi kebudayaan, bukan tempat sepi penuh prasasti bisu.

Langkah konkret seperti kolaborasi dengan komunitas kreatif, event tematik berbasis budaya lokal, dan aktivasi konten digital harus dijadikan program strategis, bukan insidental.

Arifin Manggau menyimpulkan masalah utama museum bukan terletak pada isinya, tapi pada cara menyampaikannya kepada publik.

Museum telah lama menyimpan nilai, tetapi nilai itu tidak akan sampai jika tidak dibungkus dengan cara yang memikat.

Museum harus tetap menjadi rumah untuk mengenali siapa kita, tetapi agar rumah itu dikunjungi, ia harus menyapa dengan bahasa zaman.(*)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved