Opini
Di Bawah Langit Leang Leang, Ketika Wija Menjawab Panggilan Sejarah
DI bawah lengkung langit yang membingkai gugusan karst Leang-Leang—tempat peradaban prasejarah masih bergema lewat jejak tangan leluhur di dinding
Kegiatan ini juga menjadi koreksi terhadap wacana nasional yang kerap meminggirkan narasi lokal.
Sejarah tidak hanya hidup di pusat kekuasaan, tetapi juga bertumbuh di desa, di kampung, dalam darah-darah yang mengalir diam-diam namun pasti.
Ketika Leang-Leang menjadi ruang artikulasi nilai genealogis, yang dihidupkan bukan hanya silsilah keluarga, tapi juga tafsir alternatif terhadap sejarah bangsa: bahwa masyarakat Bugis memiliki cara tersendiri dalam merumuskan keindonesiaan dari akar budayanya.
Kembali ke forum ini adalah kembali ke akar demokrasi lokal.
Tudang Sipulung bukan hanya warisan, tetapi juga bentuk kedaulatan deliberatif ala Bugis, tempat suara tua dan muda dihargai setara.
Di tengah budaya instan dan komunikasi digital yang dangkal, duduk bersama dalam keheningan adat menjadi pengalaman transendental.
Nilai tidak dikoarkan, tetapi dihayati.
Sebagai wadah yang menyatukan para wija dari berbagai penjuru, PERWIRA–LPMT kini tak sekadar mengurus silsilah, tetapi juga merintis sistem nilai baru yang tetap berakar pada paseng to riolo’.
Lewat dokumentasi, digitalisasi naskah Lontaraq, serta forum lintas generasi, PERWIRA–LPMT telah menjelma menjadi laboratorium sosial bagi pelestarian dan inovasi nilai budaya.
Rangkaian Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025 ini menjadi ajang strategis.
Di sinilah disuarakan pentingnya pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah yang berakar pada tradisi, bukan sekadar regulasi.
Di sinilah tumbuh kesadaran bahwa pelestarian budaya tak bisa semata bertumpu pada negara, tetapi mesti dimulai dari konsensus kultural yang dihidupkan oleh komunitas pemilik sejarah itu sendiri.
Forum ini tidak hanya menghasilkan keputusan, tetapi juga ikrar batin: bahwa sejarah bukan barang mati, melainkan alat ukur martabat.
Ketika para wija hadir dan saling menyapa, yang mereka bangun bukan sekadar jaringan sosial, tetapi juga simpul pemaknaan baru atas adat dan sejarah. Leang-Leang menjadi ruang afirmasi—bukan hanya karena ia saksi bisu masa lalu, tapi karena di sinilah masa depan sedang dirumuskan.
Di bawah langit Leang-Leang, kita menyaksikan bahwa darah tidak mengering, dan silsilah bukan sekadar arsip.
Ia hidup—berdetak bersama tekad para wija yang menolak tercerabut dari akar.
Maka ketika sejarah memanggil, mereka datang bukan sebagai nostalgia yang kikuk, tetapi sebagai pewaris yang sadar: bahwa warisan harus dijaga, diperjuangkan, dan dirumuskan kembali untuk masa depan yang bermartabat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.