Opini
Di Bawah Langit Leang Leang, Ketika Wija Menjawab Panggilan Sejarah
DI bawah lengkung langit yang membingkai gugusan karst Leang-Leang—tempat peradaban prasejarah masih bergema lewat jejak tangan leluhur di dinding
Andi Dahrul
Sekjend PERWIRA–LPMT
DI bawah lengkung langit yang membingkai gugusan karst Leang-Leang—tempat peradaban prasejarah masih bergema lewat jejak tangan leluhur di dinding batu—berkumpullah para Wija La Patau Matanna Tikka: Raja Bone ke-16, Datu Soppeng ke-18, dan Ranreng Tuwa Wajo ke-17.
Mereka hadir bukan untuk berpesta adat atau mengulang rutinitas seremoni budaya, melainkan untuk menjawab satu panggilan yang lebih dalam: panggilan sejarah.
Dalam bingkai Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025, forum Tudang Sipulung Perkumpulan Wija Raja La Patau Matanna Tikka (PERWIRA–LPMT) digelar, bukan sebagai formalitas, tetapi sebagai ritual kesadaran—tempat darah dan ingatan duduk sejajar, menatap masa depan.
Leang-Leang bukan sekadar lanskap karst. Ia adalah altar waktu, yang mengabadikan relasi sakral antara orang Bugis dan warisan leluhurnya.
Ketika para wija dari berbagai penjuru dunia berkumpul, mereka tak hanya membawa silsilah, tetapi juga nilai-nilai luhur yang diwariskan: siri’ na pacce, sipakatau, dan sipakalebbi.
Di tengah dunia yang gemar melupakan asal-usul, Tudang Sipulung hadir sebagai ruang kultural yang menghidupkan identitas—bukan dengan romantisme kosong, tapi dengan semangat zaman.
“Tudang Sipulung ini bukan hanya untuk bersua. Ini adalah bentuk tanggung jawab kultural untuk merajut kembali yang nyaris terurai oleh zaman.”
— Muhammad Sapri Andi Pamulu, Ketua Umum PERWIRA–LPMT
Forum ini menjadi bentuk perlawanan halus terhadap pelupaan. Ia tak melulu bicara tentang kejayaan masa silam, melainkan menjadi ruang untuk bertanya: apa yang telah kita warisi, dan apa yang hendak kita wariskan?
Tak ada podium yang tinggi, hanya lingkar musyawarah yang setara, sebagaimana pesan leluhur:
“Ri tudangeng, madeceng natutui. Ri sipatangngari, natemmako siri’.”
Duduk bersama adalah awal yang baik, dan bermusyawarah adalah cara menjaga kehormatan.
Membawa adat ke tengah arus pragmatisme zaman memang bukan perkara mudah.
Warisan kerap dianggap sebagai romantisme usang, bukan sebagai kekuatan transformatif. Di sinilah PERWIRA–LPMT menegaskan perannya: bukan sekadar penjaga museum identitas, tetapi penggerak nilai di tengah lanskap sosial kontemporer.
Tudang Sipulung, dalam konteks ini, tak ubahnya perangkat lunak kultural yang terus diperbarui agar tetap relevan di era disrupsi.
Kegiatan ini juga menjadi koreksi terhadap wacana nasional yang kerap meminggirkan narasi lokal.
Sejarah tidak hanya hidup di pusat kekuasaan, tetapi juga bertumbuh di desa, di kampung, dalam darah-darah yang mengalir diam-diam namun pasti.
Ketika Leang-Leang menjadi ruang artikulasi nilai genealogis, yang dihidupkan bukan hanya silsilah keluarga, tapi juga tafsir alternatif terhadap sejarah bangsa: bahwa masyarakat Bugis memiliki cara tersendiri dalam merumuskan keindonesiaan dari akar budayanya.
Kembali ke forum ini adalah kembali ke akar demokrasi lokal.
Tudang Sipulung bukan hanya warisan, tetapi juga bentuk kedaulatan deliberatif ala Bugis, tempat suara tua dan muda dihargai setara.
Di tengah budaya instan dan komunikasi digital yang dangkal, duduk bersama dalam keheningan adat menjadi pengalaman transendental.
Nilai tidak dikoarkan, tetapi dihayati.
Sebagai wadah yang menyatukan para wija dari berbagai penjuru, PERWIRA–LPMT kini tak sekadar mengurus silsilah, tetapi juga merintis sistem nilai baru yang tetap berakar pada paseng to riolo’.
Lewat dokumentasi, digitalisasi naskah Lontaraq, serta forum lintas generasi, PERWIRA–LPMT telah menjelma menjadi laboratorium sosial bagi pelestarian dan inovasi nilai budaya.
Rangkaian Gau Maraja Leang-Leang Maros 2025 ini menjadi ajang strategis.
Di sinilah disuarakan pentingnya pembentukan Dewan Kebudayaan Daerah yang berakar pada tradisi, bukan sekadar regulasi.
Di sinilah tumbuh kesadaran bahwa pelestarian budaya tak bisa semata bertumpu pada negara, tetapi mesti dimulai dari konsensus kultural yang dihidupkan oleh komunitas pemilik sejarah itu sendiri.
Forum ini tidak hanya menghasilkan keputusan, tetapi juga ikrar batin: bahwa sejarah bukan barang mati, melainkan alat ukur martabat.
Ketika para wija hadir dan saling menyapa, yang mereka bangun bukan sekadar jaringan sosial, tetapi juga simpul pemaknaan baru atas adat dan sejarah. Leang-Leang menjadi ruang afirmasi—bukan hanya karena ia saksi bisu masa lalu, tapi karena di sinilah masa depan sedang dirumuskan.
Di bawah langit Leang-Leang, kita menyaksikan bahwa darah tidak mengering, dan silsilah bukan sekadar arsip.
Ia hidup—berdetak bersama tekad para wija yang menolak tercerabut dari akar.
Maka ketika sejarah memanggil, mereka datang bukan sebagai nostalgia yang kikuk, tetapi sebagai pewaris yang sadar: bahwa warisan harus dijaga, diperjuangkan, dan dirumuskan kembali untuk masa depan yang bermartabat.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.