Opini
Qurban, Rasa Kepemilikan, dan Ketaatan
Kurban, dalam makna terdalamnya, bukan sekadar ritual tahunan, namun sebuah perjalanan spiritual untuk menggali fitrah diri atas esensi kemanusiaan.
Oleh: Aqramawardana
Dosen Fakultas Hukum Universitas Sawerigading
TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam setiap musim Iduladha, jutaan umat Islam di seluruh dunia merefleksi kembali kisah spiritual Nabi Ibrahim AS yang diperintahkan menyembelih putranya sendiri, Ismail AS.
Kisah ini bukan semata ceritra kepatuhan luar biasa, melainkan simbol abadi tentang bagaimana manusia bersikap atas rasa kepemilikan, penundukan ego, dan menempatkan kesadaran akan penghambaaan kepada Allah secara transenden di atas segalanya.
Kurban, dalam makna terdalamnya, bukan sekadar ritual tahunan, namun sebuah perjalanan spiritual untuk menggali fitrah diri atas esensi kemanusiaan.
Antara Ritual dan Simbol Pengorbanan
Di banyak tempat, kurban menjadi rutinitas tahunan: beli hewan, serahkan ke panitia, dan pulang dengan daging. Padahal, di balik prosesi menyembelih hewan, ada simbol pengorbanan yang amat mendalam.
Kurban berasal dari kata “Qurban”, yang berarti “dekat atau menjekati”, dalam pendekatan tauhid Qurban berarti mendekatkan diri kepada ke-esaan dan keliahian Allah.
Esensinya tidak hanya melekat pada hewan yang dikorbankan, namun juga secara imanen ada pada kesiapan manusia menanggalkan keterikatan terdalamnya.
Sebagaimana peristiwa Ibrahim yang diuji dengan ismailnya, kita semua adalah insan yang akan diuji ismail-ismail kita entah pada hal-hal yang kita cintai: harta, jabatan, relasi, bahkan harga diri, termasuk pada hal-hal yang telah atau pernah jadi bagian dari perjalanan hidup.
Ketika kita mengorbankan sebagian harta bukan karena paksaan maupun tekanan ego, melainkan karena lahir dari dorongan “iman”, pada saat itulah kita menapak jalan penghambaan.
Kurban meletakkan dasar pemamaman dan pendidikan tentang nilai pengorbanan sebagai syarat kedekatan kepada Ilahi.
Ruang Batin : Hak, amanah dan Penyembelihan
Sejatinya Ibrahim tidaklah diperintah Allah untuk membunuh ismail. Ibrahim hanya diminta Allah untuk membunuh rasa “kepemilikan akan ismail” karena hakikatnya semua merupakan milik Allah.
Dalam konteks manusia modern, kita sangat lekat dengan rasa kepemilikan.
Kita terbiasa menyebut: “ini mobil saya,” “ini rumah saya,” “ini milik saya” Namun, dalam sudut pandang tauhid, semuanya hanyalah titipan.
“Milik Allah-lah segala yang ada di langit dan bumi,” demikian firman Allah dalam QS. Al-Baqarah: 284. Penyembelihan hewan qurban tanpa disertai penyembelihan batin, merupakan sebuah bentuk formalitas ritual keagamaan semata. Imam Al-Ghazali mengingatkan bahwa kurban sejati adalah “dzabhu al-nafs” (penyembelihan nafsu), bukan semata menyembelih binatang.
Nafsu keserakahan, keakuan, kerakusan, dan rasa superioritas—keseluruhannya harus ditundukkan.
Qurban membongkar klaim-klaim kepemilikan itu. Kita hanyalah insan yang dititipkan kesempatan pada ruang dan waktu untuk mengalirkan manfaat.
Saat tangan kita rela melepas daging sembelihan terbaik untuk orang lain, saat itulah hati sedang dididik untuk jujur pada realitas: kita tak punya apa-apa selain amanah.
Dalam dunia yang makin individualistis dan kompetitif, tantangan terbesar bukan lagi lapar fisik, melainkan lapar status, pujian, dan gengsi.
Maka, saat kurban dilakukan, hendaknya kita bertanya: apa yang sudah saya sembelih dalam diri saya? Apakah saya masih mendahulukan ego daripada nilai? Iduladha sejatinya bukan tentang pisau dan darah, tapi tentang penaklukan diri.
Sebab hanya mereka yang mampu menyembelih nafsu, yang akan memperoleh kedamaian dan kedekatan sejati dengan Tuhan.
Kurban dan Solidaritas Sosial jalan menjadi Manusia
Spirit kurban bukan hanya tentang ibadah individual, tetapi juga pesan sosial yang mendalam.
Daging kurban dibagikan tanpa syarat, menjadikannya sebagai sarana distribusi keadilan dan pemutus kesenjangan ekonomi.
Dalam tradisi ini, Islam menanamkan nilai solidaritas: yang berpunya tidak sekadar memberi, tapi menyadari bahwa ada hak orang lain dalam rasa kepemilikan (orang yang kita cintai, harta yang kita sayangi dan pekerjaan yang kita cari-cari).
Di tengah masyarakat urban yang cenderung individualistik, kurban menjadi pengingat bahwa kita hidup dalam jejaring sosial yang saling membutuhkan. Ia menegaskan bahwa kepedulian adalah bagian dari keimanan, bukan sekadar kemurahan hati.
Lebih dari itu, kurban adalah refleksi spiritual yang menuntun manusia menuju kedewasaan batin.
Ia mengingatkan bahwa menjadi manusia tidak cukup hanya dengan bekerja dan menumpuk harta, tetapi dengan mengenal Tuhan lewat pengorbanan dan kepatuhan.
Kurban mengajarkan banyak hal dalam satu tindakan: kepatuhan, keikhlasan, kepedulian, dan keikatan sosial.
Ia adalah miniatur dari kehidupan ideal yang seimbang antara langit dan bumi, antara Tuhan dan sesama, antara hak dan tanggung jawab.
Karena pada akhirnya, kurban bukan tentang berapa besar hewan yang disembelih, tetapi seberapa besar keikhlasan yang kita tanam dalam hati.
Menjadi manusia dalam konteks Idul adha: adalah menjadi berani untuk melepas keterikatan menuju ketaatan, dengan memberi tanpa berharap kembali.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.