Opini
Kedaulatan Demokrasi di Tangan Mahkamah
Tercatat sejak 29 April 2025, Mahkamah Konstitusi (MK) telah menerima delapan permohonan Judicial Review.
Sebagaimana yang kita ketahui bahwa cikal bakal Mahkamah Konstitusi dibentuk karena tuntutan sejarah bangsa indonesia yang baru saja lepas dari belenggu rezim otoriter orde baru.
Bahkan, keistimewaan inilah yang membuat Mahkamah Konstitusi dinobatkan sebagai The Guardian of Democracy.
Oleh karena itu, Mahkamah Konstitusi harus terdepan untuk menjadi benteng terakhir menjaga kedaulatan hukum agar kekhawatiran publik tidak terjadi terus menerus dan akan menjadi sikap pesimis kolektif.
Sebenarnya kekhawatiran itu muncul ketika pemilu 2024 yang juga sebagai hal yang sangat berhubungan dengan putusan Mahkamah Konstitusi pada tahun 2023.
Publik menilai bahwa kejadian ini mempertontonkan keberpihakan instrumen negara terhadap kelompok tertentu secara terang-terangan. Fenomena ini eksis sebagai ”Autocratic Legalisme”, sebuah paradigma yang berlindung dibalik hukum untuk melanggengkan kekuasaan.
Seakan kekuasaan itu memang sudah berbaur ditengah masyarakat namun berlindung dibalik topeng hukum yang formal dan legitimatif. Maka Sangat berbahaya jika wajah aslinya tidak bisa kita kenali.
Sebagai sebuah ikhtiar untuk bergotong royong menghidupkan roh demokrasi tentunya bisa dilakukan dengan bersama-sama mengawasi proses legislasi kedepannya.
Karena memang tidak ada alternatif menjaga kedaulatan bangsa selain demokrasi.
Oleh karena itu, besar harapan Mahkamah Konstitusi dapat membuat putusan yang bijak terhadap pengujian undang-undang TNI yang proses pembahasannya yang sangat cepat serta minim partisipasi publik.
Mahkamah Konstitusi diharapkan memaksimalkan perannya untuk memutuskan Undang-Undang ini cacat formil agar pemerintahan tidak dianggap berpihak kepada kepentingan politik hukum rezim saat ini dibandingkan kepentingan publik.
Memang pada awalnya hanyalah Revisi yang begitu cepat terhadap Undang-Undang ini namun pada akhirnya, kelembagaan hukum bisa saja terus digunakan sebagai alat untuk melumasi kekuasaan.
Laporan Democracy Index pada tahun 2023: Age of Conflict menempatkan Indonesia pada peringkat 56 dengan skor 6,53 yang pada tahun sebelumnya 6,71 persen.
Hal ini menjadi cerminan kondisi pasang surut indeks demokrasi indonesia. Berdasarkan rilisan Economist Intelegence Unit (EIU) penurunan kualitas pelaksanaan pemilu, pelaksanaan pemerintahan, partisipasi politik, budaya politik, dan kebebasan sipil adalah beberapa indikator penilaian sehingga demokrasi Indonesia disebut Demokrasi Cacat (Flawed Democracy).
Kita masih optimis walaupun nama Mahkamah Konstitusi pernah tercoreng karena ulah salah satu hakim saja.
Namun dengan kekuatan yang dimiliki oleh Mahkamah Konstitusi yang juga menghapus ambang batas pencalonan presiden dan kepala daerah merupakan tonggak penting dalam memperkuat demokrasi Indonesia.
Universitas Hasanuddin, Menuju Puncak Benua Maritim Indonesia 2026-2030 |
![]() |
---|
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.