Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Rencana Prabowo Setelah Hakim PN Terjerat Kasus Suap, Ciri-ciri Pejabat Bakal Dibuang Diungkap

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlibat suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Editor: Ansar
Kolase Tribun-Timur.com
SUAP VONIS LEPAS - Hakim Djuyamto setelah ditetapkan sebagai tersangka kasus suap untuk vonis onslag atau lepas perkara korupsi ekspor crude palm oil (CPO) di Kejaksaan Agung, Jakarta, Senin (14/4/2025) dini hari. Djuyamto diketahui menjadi Ketua Majelis Hakim yang memvonis lepas tersangka korporasi di kasus tersebut. Kini Prabowo bereaksi setelah hakim itu terlibat suap. 

TRIBUN-TIMUR.COM - Rencana Presiden Prabowo Subianto setelah mengetahui keterlibatan para hakim dalam kasus perkara suap dan gratifikasi.

Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat terlibat suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Ketua MPR RI Ahmad Muzani mengatakan, masalah penegakan dan keadilan hukum selalu menjadi keprihatinan Prabowo Subianto.

Prabowo akan mencegah hal tersebut agar tidak menjadi suatu masalah yang terus berulang. 

"Ya itu yang sejak awal menjadi keprihatinan Presiden Prabowo, bahwa penegakan hukum kita itu selalu menjadi masalah di kemudian hari, dan selalu menjadi celah, ada celah bagi problem-problem berikutnya," kata Muzani di Kompleks Parlemen, Senayan, Jakarta, Kamis (17/4/2025).

Sebab itu, ungkap Muzani, Prabowo berkeinginan untuk melakukan penataan ulang terhadap lembaga-lembaga penegak hukum, agar dapat diisi oleh orang-orang yang beintegritas tinggi. 

"Karena itu beliau ingin melakukan penataan terhadap pembangunan hukum, sehingga para penegak hukum itu juga orang-orang yang memiliki integritas, orang-orang yang memiliki dedikasi terhadap bangsa dan negara," ucapnya. 

Lebih lanjut, Prabowo juga ingin melakukan pembangunan dan penataan hukum secara menyeluruh dan terus mendengarkan masukan dari berbagai pihak. 

"Karena itu beliau juga terus ingin mendapatkan masukan dari berbagai macam pihak yang memiliki pandangan dan keinginan yang sama, bagaimana Indonesia ini menjadi negara hukum yang kuat," tandas Ketua MPR RI itu.

Sebelumnya, Kejaksaan Agung menetapkan Ketua Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Selatan Muhammad Arif Nuryanta dan tiga hakim, Agam Syarif Baharuddin, Ali Muhtarom, dan Djuyamto sebagai tersangka suap Rp 60 miliar.

Suap tersebut diberikan kepada hakim agar memberikan vonis ontslag atau putusan lepas terhadap tiga perusahaan yang terlibat, yaitu Wilmar Group, Permata Hijau Group, dan Musim Mas Group.

MAKI: Levelnya Sudah Minta Digoda, Bukan Tidak Tahan Godaan

Masyarakat Anti-Korupsi Indonesia (MAKI) menilai sistem pengawasan Mahkamah Agung jebol imbas terungkapnya kasus vonis lepas penanganan perkara suap dan gratifikasi ekspor crude palm oil (CPO), di Pengadilan Negeri Jakarta Pusat. 

Diketahui tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor CPO. 

Adapun ketiga hakim yang kini berstatus tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc.

"Artinya sistem pengawasan Mahkamah Agung sangat buruk, karena nyatanya baru ada jebol (Pengadilan Negeri) Surabaya, ini jebol Jakarta, bahkan Jakarta Selatan, Jakarta Pusat. Karena ini tipikornya rangkaiannya di Jakarta Pusat, ternyata hakimnya juga sebagian dari Jakarta Selatan," kata Koordinator MAKI Boyamin Saiman, dihubungi Rabu (16/4/2025).

Nampaknya lanjut Boyamin, kasus-kasus yang telah menjerat Mahkamah Agung sampai petingginya, Sekretaris Mahkamah Agung Nur Hadi, Hasbi Hasan, Penngadilan Negeri Surabaya dan Jakarta.

Kasus tersebut belum menjadikan Mahkamah Agung mengawasi secara efisien. Buktinya masih jebol (Praktik korupsi). 

"Jadi kita kecewa, ternyata Mahkamah Agung belum mampu mereformasi dirinya, dimana masih banyak yang tergoda," kata Boyamin. 

Bahkan levelnya menurut Boyamin minta digoda, bukan hanya tergoda saja.

"Karena ini uangnya cukup besar dan nampaknya sudah posisi mengatur. Berarti levelnya minta digoda, bukan tidak tahan godaan," tandasnya. 

Diketahui tiga hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat disebut menerima uang senilai Rp 22,5 miliar dalam kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag terhadap tiga terdakwa korporasi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Adapun ketiga hakim yang kini berstatus tersangka itu yakni Djuyamto selaku Ketua Majelis Hakim, Agam Syarif Baharudin selaku hakim anggota dan Ali Muhtarom sebagai hakim AdHoc.

Direktur Penyidikan pada Jampidsus Kejaksaan Agung (Kejagung) Abdul Qohar mengatakan total uang tersebut diterima para tersangka sebanyak dua tahap.

Pertama para tersangka menerima uang dalam bentuk dollar sebesar Rp 4,5 miliar.

Uang tersebut diberikan oleh tersangka Muhammad Arif Nuryanta Wakil Ketua PN Jakarta Pusat yang dimana asal uangnya bersumber dari advokat Ariyanto Bahri.

"Setelah terbit surat penetapan sidang, Muhammad Arif Nuryanta memanggil DJU selaku ketua majelis dan ASB selaku anggota. Lalu Muhammad Arif Nuryanta memberikan uang dollar bila di kurskan ke dalam rupiah Rp 4,5 miliar," kata Qohar dalam jumpa pers, Senin (14/4/2024) dini hari.

"Dimana uang tersebut diberikan sebagai uang untuk baca berkas perkara dan Muhammad Arif Nuryanta menyampaikan kepada dua orang tersebut agar perkata diatensi," jelasnya.

Setelah menerima uang dari Arif, Agam dikatakan Qohar memasukkannya ke dalam godie bag yang kemudian dibagikan untuk dirinya, Djuyamto dan Ali secara merata.

Lebih jauh dijelaskan Qohar, pada medio September atau Oktober 2024, Arif Nuryanta kembali menyerahkan uang kepada Djuyamto sebesar Rp 18 miliar.

Uang miliaran itu selanjutnya dibagikan lagi oleh Djuyamto kepada Agam dan Ali di depan Bank BRI wilayah Pasar Baru, Jakarta Pusat.

"Dengan porsi pembagian sebagai berikut, ASB menerima sebesar uang dollar jika dirupiahkan sebesar Rp 4,5 miliar, kemudian DJU menerima uang dollar atau jika dirupiahkan sebesar Rp 6 miliar, dan AL menerima uang berupa dollar Amerika jika dirupiahkan setara Rp 5 miliar," kata Qohar.

Alhasil jika ditotalkan uang yang diterima oleh ketiga tersangka terkait kepengurusan perkara ini senilai Rp 22,5 miliar.

Kejaksaan Agung (Kejagung) dalam perkara tersebut juga telah menetapkan Legal PT Wilmar Group Muhammad Syafei sebagai tersangka baru kasus suap dan gratifikasi vonis lepas atau ontslag perkara korupsi ekspor Crude Palm Oil (CPO).

Usai ditetapkan sebagai tersangka, alhasil terungkap peran dari Syafei dalam kasus yang turut melibatkan Hakim Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Djuyamto dan kawan-kawannya itu.

Direktur Penyidikan (Dirdik) pada Jampidsus Kejagung RI, Abdul Qohar mengatakan, Syafei diketahui berperan menyediakan uang kepada pengacara tiga korporasi CPO, Marcella Santoso dan Ariyanto Bakri yang telah lebih dulu ditetapkan sebagai tersangka.

Qohar mengatakan fakta itu diperoleh bermula dari adanya pertemuan antara Arianto dengan tersangka Wahyu Gunawan yang merupakan panitera muda Pengadilan Negeri Jakarta Utara.

Kata Qohar, Wahyu menyampaikan pada Arianto yang mengharuskan agar perkara minyak goreng atau CPO itu diurus.

"Jika tidak, putusannya bisa maksimal bahkan melebihi tuntutan Penuntut umum," kata Qohar dalam konferensi pers di Gedung Kejagung, Selasa (15/4/2025).

Masih dalam pertemuan tersebut, Wahyu lanjut Qohar juga menyampaikan pada Arianto untuk segera menyiapkan biaya kepengurusan perkara tersebut.

Atas permintaan dari Wahyu itu, Arianto lantas menyampaikan hasil pertemuannya kepada Marcella Santoso yang kemudian ditindaklanjuti dengan bertemu Syafei.

Qohar menjelaskan, pertemuan antara Marcella dan Syafei terjadi di rumah makan Daun Muda di Jalan Walter Mongonsidi, Jakarta Selatan.

"MS menyampaikan perihal informasi yang diperoleh dari AR dimana saat itu WG yang mengatakan bahwa WG bisa membantu pengurusan perkara minyak goreng yang ditanganinya," jelas Qohar.

Setelah mendapat informasi dari Marcella, Syafei pun mengatakan bahwa telah dibentuk tim yang disiapkan untuk mengurus perkara tersebut.

Selang dua pekan, Ariyanto kemudian kembali dihubungi oleh Wahyu Gunawan. Saat itu Wahyu menekankan pada Arianto agar perkara tersebut segera diurus.

Usai memperoleh informasi itu, Arianto lantas kembali menyampaikan kepada Marcella Santoso.

"Kemudian MS kembali bertemu lagi dengan MSY di tempat makan Daun Muda, di tempat yang sama dengan pertemuan tadi," ucapnya.

"Dan saat itu MSY memberitahukan atau mengatakan bahwa biaya yang disediakan korporasi sebesar Rp 20 miliar," katanya.

Berdasarkan hasil pertemuan dengan Syafei, Marcella kemudian menggelar pertemuan dengan Arianto, Wahyu dan tersangka sekaligus mantan Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Pusat Muhammad Arif Nuryanta di Rumah Makan Layer Seafood Sedayu, Kelapa Gading, Jakarta Timur.

Dalam pertemuan itu Arif Nuryanta mengultimatum Marcella dan Arianto bahwa perkara minyak goreng tersebut tidak bisa diputus bebas.

"Tetapi bisa diputus Onslag dan yang bersangkutan dalam hal ini MAN atau Muhammad Arif Nuryanta meminta agar uang Rp 20 miliar dikalikan jadi tiga sehingga jumlah totalnya Rp 60 miliar," ujar Qohar.

Setelah pertemuan tersebut, Wahyu Gunawan menyampaikan lagi kepada Arianto untuk segera menyiapkan uang sebesar Rp 60 miliar seperti yang diminta Arif.

Arianto kemudian menyampaikan kepada Marcella dan lalu dilanjutkan lagi kepada Syafei.

Saat Marcella menghubungi Syafei, pegawai Wilmar Group itu pun menyanggupi dan akan menyiapkan uang tersebut dalam bentuk dollar Amerika Serikat (USD) atau Dollar Singapura (SGD).

Syafei kemudian menghubungi Marcella dan menyatakan bahwa uang suap tersebut telah siap untuk diantar.

"Selanjutnya MS memberikan nomor Hp AR ke MSY untuk pelaksanaan penyerahan. Setelah ada komunikasi antara AR dan MSY, kemudian AR bertemu dengan MSY di perkiraan SCBD dan selanjutnya MSY menyerahkan uang tersebut kepada AR," jelasnya.

Usai menerima uang dari Syafei, Arianto langsung mengantarkannya ke rumah Wahyu Gunawan di Cluster Ebonny Jalan Eboni 6 Blok AE, Sukapura, Cilincing, Jakarta Utara.

Setelah menerima uang, Wahyu lantas menyerahkannya kepada Arif Nuryanta dan ia mendapat jatah sebesar 50.000 USD atau setara Rp 800 juta (kurs rupiah saat ini).

"Kemudian berdasarkan keterangan saksi dan dokumen baik yang diperoleh hari ini maupun dua hari lalu, penyidik menyimpulkan telah ditemukan dua alat bukti yang cukup sehingga menetapkan satu orang tersangka atas nama MSY dimana yang bersangkutan sebagai Social Security Legal Wilmar Group," jelas Qohar.

 

Artikel ini telah tayang di Tribunnews.com

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved