Suap Hakim
Ketua Pengadilan Jakarta Selatan Disuap Rp60 M: Bukti Sistem Pengawasan Peradilan Indonesia Lemah
Kasus suap Rp 60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Arif Nuryanta dan hakim lain dalam vonis bebas korporasi minyak goreng.
Oleh: Dr Imran Eka Saputra SH MH
(Dosen Universitas Muslim Indonesia)
TRIBUN-TIMUR.COM- Kasus suap Rp 60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Arif Nuryanta dan tiga hakim lain dalam vonis bebas korporasi minyak goreng, mengguncang dunia hukum Indonesia.
Kasus suap Rp60 miliar yang menyeret Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Selatan kembali membuka luka lama, betapa lemahnya sistem pengawasan peradilan kita.
Praktik kotor yang seharusnya menjadi pengecualian justru terus berulang.
Ini bukan hanya persoalan integritas individu, tetapi cerminan dari sistem yang gagal menjaga martabat kekuasaan kehakiman.
Masyarakat sudah terlalu sering disuguhi berita hakim tertangkap tangan.
Namun, yang tak kalah mengkhawatirkan adalah bagaimana sistem pengawasan justru tidak mampu menjadi tameng yang mencegah kejahatan ini sejak awal.
Ini saatnya kita bicara lebih jauh dari sekadar kecaman moral: saatnya mendorong revisi struktural, khususnya terhadap Undang-Undang Komisi Yudisial (KY).
Komisi Yudisial: Macan ompong dalam Pengawasan Hakim
Komisi Yudisial dibentuk sebagai pengawas eksternal untuk menjaga perilaku hakim tetap dalam koridor etik dan integritas. Namun, sejak berdiri, lembaga ini terus dilemahkan, baik secara politis maupun yuridis.
Banyak rekomendasi KY untuk menjatuhkan sanksi etik terhadap hakim ditolak oleh Mahkamah Agung tanpa transparansi.
Ini membuat publik bertanya: untuk apa ada KY kalau tak bisa menindak?
Sumber masalahnya terletak pada kelemahan desain hukum, terutama dalam Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2011 tentang Komisi Yudisial.
Undang-undang ini tidak memberi KY kewenangan penuh untuk menjatuhkan sanksi etik—kewenangan itu tetap berada di tangan Mahkamah Agung.
Akibatnya, KY hanya sebatas “penerima laporan” yang tak punya daya paksa. Pengawasan jadi tumpul, dan hakim-hakim nakal merasa aman di balik jubah wewenangnya.
Rekomendasi: Revisi Undang-Undang KY Secara Menyeluruh
Sudah waktunya dilakukan revisi komprehensif terhadap UU KY, dengan beberapa poin penting berikut:
Pemberian Kewenangan Mengikat kepada KY: KY harus memiliki kewenangan menjatuhkan sanksi etik secara langsung, tanpa menunggu persetujuan Mahkamah Agung. Ini akan menjadikan KY sebagai lembaga pengawas yang independen dan efektif.
Transparansi Proses Etik: Setiap laporan pelanggaran etik harus disampaikan secara terbuka kepada publik, termasuk alasan penolakan jika KY atau MA menutup laporan tersebut.
Pembentukan Dewan Etik Bersama: Bentuk Dewan Etik bersama KY dan MA untuk menghindari tarik-menarik kepentingan, sehingga setiap keputusan etik dapat diputuskan secara adil dan kolektif.
Perluasan Pengawasan: Komisi Yudisial (KY) dapat diberi kewenangan penyadapan untuk mengawasi hakim yang diduga melanggar Kode Etik dan Pedoman Perilaku Hakim (KEPPH).
Kewenangan ini diharapkan dapat membuat KY lebih leluasa dalam melakukan pengawasan.
Sedangkan menurut Mukti Fajar bahwa KY juga membutuhkan penguatan kelembagaan, seperti adanya deputi setingkat eselon I yang bersifat teknis, penguatan status Penghubung KY untuk menjadi kantor perwakilan KY di daerah, serta diberikannya hak imunitas terhadap Anggota KY dalam melaksanakan tugas dan kewenangannya.
Reformasi Harus Dimulai dari Keberanian Politik
Pengawasan peradilan yang efektif tidak akan pernah terwujud tanpa kemauan politik untuk memperkuat kewenangan dan kelembagaan Komisi Yudisial.
Revisi UU KY bukan semata soal teknis hukum, melainkan bentuk keseriusan negara melawan korupsi di sektor peradilan.
Jika sistem tidak berubah, maka jangan heran bila kita akan kembali mendengar kasus Ketua Pengadilan/ hakim pengadilan yang ditangkap karena suap.
Peradilan yang bersih hanya bisa lahir dari sistem pengawasan yang kuat, independen, dan tidak kompromistis terhadap pelanggaran.
Saatnya kita hentikan siklus lingakaran setan ini.
Karena tanpa hakim yang jujur dan sistem yang bersih, maka keadilan akan selalu hanya menjadi milik bagi mereka yang punya uang dan kuasa.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.