Opini
Euforia Superfisial atau Kemenangan Suci?
Penghujung pekan keempat, sayup ramadhan mulai terasa hening. Di kejauhan, lantunan ayat tetap menyambut jiwa-jiwa insan imani.
Namun sayang, bila dicermati, begitu adzan maghrib berkumandang di hari-hari terakhir puasa, semua perlahan lenyap.
Masjid yang ramai saat tarawih tiba-tiba kembali bak kesunyian jenggala (hutan sepi).
Kesabaran dan ketulusan yang dibangun selama sebulan, kembali terkikis oleh ego.
Pola konsumsi yang sebelumnya dikendalikan, justeru meledak saat lebaran, seakan dendam terhadap ramadhan, balasan atas "derita" puasa.
Andai ramadhan adalah sekolah, maka banyak dari kita, mungkin lulus tetapi tanpa ilmu hikmah yang benar-benar melekat.
Ramadan sebagai ruang latihan spiritualisme dan kesabaran jiwa, akhirnya gagal ditingkatkan, meninggalkan jejak tanpa makna di hati.
Itu sebabnya, Nabi pernah berkata, banyak di antara umatku, ia bersujud setiap malam, puasa setiap hari, tetapi mereka tak mendapatkan apa-apa kecuali bekas sujud di jidat, lutut, rasa haus dan lapar.
Euforia
Demikian pula, tak dipungkiri, lebaran kini telah ditunggangi bisnis, dikomodifikasi menjadi perayaan yang lebih menguntungkan industri daripada memberikan penguatan makna spiritual.
Belum lagi, perang iklan-iklan komersial, berebut, mendorong kita menjadi insan konsumtif, agar membeli produk-produk mereka. Mulai dari pakaian, gadget, hingga kendaraan baru, ketimbang peningkatan kualitas kemanusiaan.
Sialnya, tak sedikit dari umat rela berutang hanya untuk memenuhi standar sosial perayaan hari raya.
Padahal, jika kita perhatikan dengan mata telanjang, justeru tak sedikit, nampaklah kesenjangan sosial dan ekonomi. Semakin terasalah, ketika si kaya berpesta sedang yang miskin berusaha sekadar ikut merasakan "kebahagiaan" dari pinjaman.
Kita, sebenarnya telah terjebak dalam skenario kapitalis, dimana kebahagiaan hari raya malah diukur dari jumlah harta dan penampilan yang dimiliki, bukan dari ketenangan jiwa yang seharusnya diraih setelah sebulan berpuasa.
Akan petaka betul rasanya, jika lebaran malah jadi ajang pamer; penganan berjejar kue-kue mahal, pakaian andalan dan berkelas tetiba muncul sekali setahun berbau lemari, kendaraan mengkilap, perabotan mewah, bahkan perhiasan tubuh yang kuning-kemuning keemasan mulai berkilau membuat pongah.
Akhirnya, filosofi kesederhanaan yang diajarkan tamu agung itu selama ramadhan, hambar sia-sia dan ditanggalkan saat lebaran tiba. Malah yang terjadi menyisakan kesenjangan sosial tak kunjung pupus.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.