Opini Muhammad Idris
Gaya Komunikasi Pendakwah Dari Perspektif Gen Z
Katanya, apa yang disampaikan adalah keluhan dari sejumlah jamaah yang mayoritas generasi Z (Gen Z).
Oleh: Muhammad Idris
Dosen Ilmu Komunikasi FSIKP UMI / Pemerhati Masalah Sosial, Budaya dan Kebijakan Publik
TRIBUN-TIMUR.COM - SUATU hari Saya bertemu teman yang juga seorang pengurus masjid usai shalat Jumat.
Ia bercerita soal gaya komunikasi para pendakwah yang belakangan cenderung monoton dan kurang menarik.
Katanya, apa yang disampaikan adalah keluhan dari sejumlah jamaah yang mayoritas generasi Z (Gen Z).
Seusai shalat tarawih, Saya berbincang dengan Andi, mahasiswa semester akhir yang rajin datang ke masjid.
Dengan gaya khas generasi sekarang yang lugas dan to the point, Andi mengatakan, “Pak, penceramah tadi bagus, tapi temanya begitu-gitu saja ya? Kurang relate dengan kehidupan saya saat ini,” ujarnya polos.
Sambil tersenyum saya mencoba memahami betul apa yang dirasakannya. Andi adalah representasi dari Gen Z yang kritis, cepat bosan dan menginginkan sesuatu yang relevan dengan konteks kehidupannya.
Meski saya tahu, tidak semua gaya komunikasi pendakwah seperti yang disebutkan Andi.
Kembali saya menanyakan soal ini kesejumlah mahasiswa di kelas. Jawaban mereka nyaris senada.
Mereka menilai jika gaya komunikasi pedakwah saat ini monoton, tidak up to date, susah dipahami, bahasanya berbelit-belit, terkesan menggurui, dogmatis, diksinya kurang sesuai
dan cenderung membosankan.
Tradisi ceramah yang kita kenal selama ini memang ibarat kapal tua yang mengarungi samudera digital.
Sementara arus deras gelombang kemajuan teknologi digital tidak bisa lagi dibendung.
Konsep dakwah tanpa mimbar tampaknya bukanlah keniscayaan. Ini karena mimbar kerap menjadi simbol jarak antara pendakwah dengan jamaah.
Bagaimana upaya mendekatkan setiap pesan ceramah agama pendakwah dengan Gen Z?
Generasi digital native yang lahir direntang waktu 1995 hingga 2010 yang gaya komunikasi dan pola pikirnya jauh berbeda dengan generasi sebelumnya. Generasi yang bertumbuh dalam ekosistem two way communication.
Memahami Karakteristik Gen Z
Hasil penelitian dari Pew Research Center (2023) patut jadi rujukan. Riset menunjukkan jika 63 persen Gen Z menginginkan pendekatan agama yang relevan dengan realitas kekinian.
Sebuah studi microsoft (2022) terungkap bahwa 78 persen Gen Z merasa tidak nyaman dengan model komunikasi satu arah yang otoritatif.
Data Google Consumer Survey (2023) menunjukkan 68 persen Gen Z lebih mudah mengingat informasi berbentuk narasi (storytelling).
Menarik menyimak para pendakwah yang digemari Gen Z seperti; Dennis Lim, Ust Syam, Agam Fachrul, Hannan Attaki, Taqy Malik, yang kajiannya selalu ramai kalangan Gen Z bahkan Gen Alpha.
Atau Habib Husein Ja’far Al Hadar, Ust Hilman Fauzi, Ust Adi Hidayat, Ust Dasad Latif dan Ust Abdul Somad yang gaya ceramahnya interaktif dengan tema up to date, selalu berhasil
menghadirkan lintas generasi di setiap tabligh akbar mereka.
Para pendakwah ini dikenal aktif membagikan ceramah mereka di dunia maya. Mereka menghadirkan tema relevan dengan kehidupan sehari-hari generasi muda.
Bagaimana Islam memandang isu kekinian seperti mental health, bijak bermedsos dalam Islam, manajemen stress ala Rasulullah atau tema terkait teknologi seperti dampak artificial intelligence dalam perspektif Islam.
Generasi ini tumbuh di era speed up, dimana informasi tersedia dengan cepat dan melimpah.
Mereka terbiasa dengan konten visual, interaktif dan to the point. Jika pendakwah masih menggunakan gaya komunikasi satu arah (monolog), monoton dan bertele-tele, dipastikan
pesannya tenggelam dalam lautan informasi yang mereka terima setiap hari.
Gen Z juga lebih nyaman dengan gaya casual talk ala podcast. Dimana pendakwah duduk melingkar atau berada ditengah audiens.
Model ini membuat mereka seolah terlibat dan dilibatkan dalam dakwah. Pendekatan ini mengurangi kesan menggurui dan membangun kedekatan emosional.
Selain itu, mereka lebih menyukai bahasa yang sederhana, ringkas, relatable dan mudah dipahami.
Penggunaan diksi terlalu tinggi atau bahasa berbelit-belit justru membuat mereka kehilangan minat.
Mereka mendambakan dakwah bergaya storytelling dengan konsep bercerita, narasi bertutur, mengalir dan menyentuh emosi. Bahkan tema ceramah bisa ditentukan jamaah
lewat polling di platform digital.
Memanfaatkan teknologi berbasis platform media sosial dengan kemasan dakwah kreatif, visualisasi menarik dan interaktif bisa efektif menjangkau mereka.
Gaya komunikasi dakwah ini bukan mencoba menggadaikan substansi pada tren, melainkan upaya merajut benang hikmah dalam kain budaya kontemporer di era algoritma.
Dengan mengangkat isu terkini, memperlihatkan bahwa Islam tidak bisa terlepas dari realitas kekinian yang lebih modern.
Sebagaimana Nabi Muhammad SAW yang menggunakan bahasa para penenun unta dalam berdakwah. Begitupun sembilan wali yang memanfaatkan wayang dalam syiar Islam di zaman itu.
Tugas pendakwah hari ini adalah menemukan ‘bahasa hati’ yang bisa menyentuh dan merangkul generasi yang setiap hari berbicara dalam kode binary dan bahasa emoji.
Transformasi gaya komunikasi pendakwah sebuah keharusan, agar dakwah terus menjadi oase di tengah gurun digital yang gersang. Konsep ini sebagai strategi kultural agar nilai Islam tetap hidup dalam jiwa Gen Z@. (*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.