Opini Aswar Hasan
Persekutuan yang Membahayakan Demokrasi
Dalam konteks politik moderen, bergabungnya antara oligarki, dinasti nepotis, dan pemerintahan otoritarian menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Ada jenis persekutuan yang menguntungkan segolongan kecil bangsa ini, namun merugikan sebagian besar bangsa ini.
Persekutuan atau penggabungan itu, telah menjadi fenomena aktual di dunia politik.
Dalam konteks politik moderen, bergabungnya antara oligarki, dinasti nepotis, dan pemerintahan otoritarian menjadi ancaman serius bagi demokrasi.
Betapa tidak, karena oligarki, adalah ketika kekuasaan politik yang terkonsentrasi di tangan segelintir elit ekonomi.
Sementara dinasti nepotis, me wariskan kekuasaan dalam lingkup keluarga atau kerabat, serta menciptakan tatanan politik yang eksklusif.
Ketika keduanya mendapat perlindungan dari pemerintahan otoritarian maka ruang demokrasi akan mengalami distorsi dan hanya di peratasnamakan.
Komunikasi Politik dalam perspektif pemerintahan otoritarian akan mengontrol dengan sangat ketat.
Media massa, yang seharusnya berfungsi sebagai penjaga demokrasi (watchdog), akan dimonitoring dan ditekan agar hanya menyampaikan pesan-pesan yang mendukung rezim.
McNair (2011) dalam An Introduction to Political Communication menjelaskan bahwa dalam sistem otoritarian, komunikasi politik seringkali menjadi alat propaganda untuk menciptakan legitimasi semu dan membangun narasi yang mendukung penguasa.
Komunikasi politik dalam situsi tersebut tidak lagi menjadi wadah diskursus publik yang bebas dan terbuka, tetapi menjadi saluran untuk mendiktekan narasi resmi kepada masyarakat.
Pemerintah otoritarian, dengan dukungan oligarki dan dinasti nepotis, akan menciptakan lingkungan informasi yang asimetris di mana kontrol informasi berada di tangan elit.
Mereka dapat menggunakan media untuk menciptakan ilusi stabilitas dan kesejahteraan, sementara realitas sebenarnya mungkin menunjukkan kesenjangan sosial dan ekonomi yang semakin melebar.
Oligarki dan dinasti nepotis juga akan menggunakan komunikasi politik untuk melanggengkan kekuasaannya.
Mereka memanfaatkan sumber daya ekonomi untuk mengontrol media dan mendanai kampanye politik yang masif.
Menurut teori Manufacturing Consent dari Herman dan Chomsky (1988), elit ekonomi dapat membentuk opini publik melalui kontrol media dan pembingkaian (framing) isu-isu politik sesuai kepentingan mereka.
Mereka juga kerap kali menggunakan strategi komunikasi politik berbasis personal branding, di mana tokoh-tokoh politik dari dinasti tersebut dipromosikan melalui berbagai media sebagai sosok yang kompeten dan peduli pada masyarakat.
Dalam komunikasi politik, hal ini dikenal dengan strategi image building, di mana citra positif dibangun melalui kampanye media dan kegiatan sosial yang sarat pencitraan.
Rekayasa Opini Publik
Komunikasi politik dalam rezim otoritarian yang dibackup oleh oligarki dan dinasti nepotis akan manipulatif.
Salah satu bentuknya adalah penggunaan propaganda dan disinformasi untuk membangun narasi yang menguntungkan elit penguasa.
Mereka dapat menciptakan musuh bersama (misalnya, oposisi politik atau kelompok kritis) untuk mengalihkan perhatian publik dari isu-isu penting seperti korupsi atau penyalahgunaan kekuasaan.
Dari perspektif teori agenda setting (McCombs & Shaw, 1972), media yang dikendalikan oleh elit ini akan menentukan isu-isu apa yang menjadi perhatian publik dan bagaimana isu tersebut dibingkai.
Dengan demikian, masyarakat hanya akan menerima informasi yang sudah difilter dan diarahkan untuk mendukung narasi pemerintah.
Efeknya, ruang publik yang seharusnya menjadi tempat diskusi bebas berubah menjadi ruang yang terkontrol, di mana hanya suara-suara tertentu yang mendapatkan panggung.
Dampaknya pada Demokrasi
Secara prinsip, demokrasi menuntut adanya komunikasi politik yang bebas, transparan, dan berimbang.
Namun, ketika oligarki dan dinasti nepotis bersekutu dengan pemerintahan otoritarian, proses demokrasi hanya menjadi formalitas.
Pemilu mungkin tetap dilaksanakan, tetapi tidak memberikan kesempatan yang adil bagi oposisi. Komunikasi politik digunakan untuk menggiring opini publik agar mendukung status quo.
Pemilih tidak akan mendapatkan informasi yang berimbang dan memadai untuk membuat keputusan politik yang rasional.
Dalam teori Spiral of Silence (Noelle-Neumann, 1974), individu yang memiliki pendapat berbeda dengan narasi pemerintah mungkin akan memilih diam karena takut dikucilkan atau bahkan diintimidasi.
Hal ini menciptakan ilusi kesepakatan massal, padahal sebenarnya ada banyak suara kritis yang tidak terdengar.
Dari perspektif komunikasi politik, penggabungan antara oligarki, dinasti nepotis, dan pemerintahan yang bercirikan otoritarianisme dapat menciptakan kondisi di mana demokrasi menjadi semu.
Media, sebagai pilar demokrasi keempat, kehilangan fungsinya sebagai penyampai kebenaran dan justru menjadi alat propaganda.
Komunikasi politik yang seharusnya membuka ruang dialog justru menjadi instrumen sebagai kontrol sosial.
Dalam situasi seperti itu, langkah-langkah untuk melindungi demokrasi perlu difokuskan pada membangun kembali kebebasan pers, memperkuat masyarakat sipil, melalui ormas dan LSM serta menciptakan ruang publik yang sehat untuk diskusi politik.
Jika tidak, demokrasi hanya akan menjadi topeng bagi kekuasaan segelintir elit yang terus berupaya melanggengkan kekuasaannya melalui manipulasi komunikasi politik.
Wallahu a’lam bisawwabe(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.