Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Beraninya Ahok Bongkar Kelakuan Buruk Eks Anak Buahnya di Pertamina, Kini Jadi Tersangka

Ahok blak-blakan membongkar kelakuan tersangka yang rugikan negara mencapai Rp 968 triliun. 

Editor: Ansar
TribunMedan.com
AHOK BONGKAR KELAKUAN EKS ANAK BUAH - Basuki Tjahja Purnama alias Ahok buka suara soal namanya disebut-sebut dalam kasus korupsi Pertamina selama periode 2018 hingga 2024. Ia mengaku sudah pernah memaki Riva Siahaan satu dari 9 tersangka korupsi di Pertamina . 

TRIBUN-TIMUR.COM - Beraninya Basuki Tjahja Purnama alias Ahok bongkar kelakuan para tersangka korupsi Pertamina.

Ahok blak-blakan membongkar kelakuan tersangka yang rugikan negara mencapai Rp 968 triliun. 

Tiga dari sembilan tersangka kasus Pertamax oplosan itu ternyata pernah menjadi bawahan Ahok

Ketika itu Ahok menjabat sebagai Komisaris Utama Pertamina, 25 November 2019 – 2 Februari 2024.

Ketiga tersangka itu adalah Direktur Pemasaran Pusat dan Niaga PT Pertamina Patra Niaga Maya Kusmaya.

Lalu ada Direktur Utama PT Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan serta Direktur Utama PT Pertamina International Shipping Yoki Firnandi.Basuki Tjahja Purnama alias Ahok membongkar kelakuan para tersangka korupsi Pertamina yang rugikan negara mencapai Rp 968 triliun.

Ahok mengaku heran mengapa orang-orang seperti Riva, Maya dan Yoki masih bertahan menjadi petinggi di PT Pertamina Patra Niaga.

Ahok awalnya mengatakan, Riva, Maya, dan Yoki merupakan sosok yang setiap rapat dimarahi olehnya saat masih menjabat sebagai Komut PT Pertamina.

Mantan Gubernur DKI Jakarta itu menyebut mereka adalah orang yang ngeyel ketika diberitahu olehnya.

Bahkan, kata Ahok, ketika Riva, Maya, dan Yoki diminta untuk membenarkan suatu hal yang salah, mereka tidak pernah melakukannya.

"Mereka ini ya dimarahi paling pintar. Dimarahi cuma diam, ngeyel nggak dikerjain. Minggu depan datang, sama lagi," katanya, dikutip dari YouTube Liputan6, Minggu (1/3/2025).

Ahok juga mengungkapkan Riva, Maya, dan Yoki menjadi sosok yang mengakibatkan transaksi pembayaran di SPBU masih menggunakan cara cash atau uang tunai.

Padahal, sejak empat tahun lalu, dia sudah meminta kepada mereka agar pembayaran di SPBU dengan cara menggunakan aplikasi MyPertamina.

"Sampai hari ini, SPBU (bayar) masih pakai tunai. Gua sudah minta (pembayaran via aplikasi MyPertamina) dari empat tahun lalu," jelasnya.

Ahok mengatakan Riva cs seakan tidak takut kepadanya dan selalu mengulang kesalahan lantaran dirinya tidak memiliki wewenang memecat sebagai komisaris utama.

Sehingga, dia berharap, agar komisaris utama tidak hanya diberi wewenang untuk mengawasi, tetapi juga melakukan pemecatan.

"Kenapa dia berani? Karena dia tahu, gua nggak bisa mecat dia. Jadi, intinya kalau orang dikasih kuasa mengawasi, harus ada kuasa untuk memecat, itu kuncinya," katanya.

Kemudian, Ahok pun mempertanyakan petinggi Pertamina seperti Riva cs masih dipertahankan di perusahaan pelat merah tersebut dan tidak kunjung dipecat sejak lama.

"Kalau yang brengsek-brengsek ini masih bercokol, berarti yang bisa memecatnya ada apa?" ujar Ahok.

Peran 9 Tersangka Kasus Korupsi Minyak Mentah
Sebelumnya, Kejaksaan Agung (Kejagung) sudah menetapkan sembilan tersangka dalam kasus mega korupsi ini.

Adapun perannya adalah Riva bersama Direktur Feedstock and Product Optimization PT Pertamina International, Sani Dinar Saifuddin, dan Vice President (VP) Feedstock Management PT Kilang Pertamina International, Agus Purwono, memenangkan DMUT/broker minyak mentah dan produk kilang yang diduga dilakukan secara melawan hukum.

Sementara itu, tersangka DW dan GRJ melakukan komunikasi dengan tersangka Agus untuk memperoleh harga tinggi (spot) pada saat syarat belum terpenuhi dan mendapatkan persetujuan dari SDS untuk impor produk kilang.

Adapun DW atau Dimas Werhaspati adalah Komisaris PT Navigator Katulistiwa dan Komisaris PT Jenggala Maritim.

Sementara, GRJ atau Gading Ramadhan Joedoe selaku Komisaris PT Jenggala Maritim sekaligus Direktur Utama PT Orbit Terminal Merak.

Dalam pengadaan produk kilang oleh PT Pertamina Patra Niaga, Riva kemudian melakukan pembelian untuk produk Pertamax (RON 92). 

Namun, sebenarnya, hanya membeli Pertalite (RON 90) atau lebih rendah. Kemudian, Pertalite tersebut di-blending di Storage/Depo untuk menjadi RON 92. 

Padahal, hal tersebut tidak diperbolehkan. 

Selanjutnya, pada saat telah dilakukan pengadaan impor minyak mentah dan impor produk kilang, diperoleh fakta adanya mark up kontrak shipping yang dilakukan Yoki Firnandi selaku Dirut PT Pertamina International Shipping.

"Pada saat kebutuhan minyak dalam negeri mayoritas diperoleh dari produk impor secara melawan hukum, maka komponen harga dasar yang dijadikan acuan untuk penetapan HIP (Harga Indeks Pasar) Bahan Bakar Minyak (BBM) untuk dijual kepada masyarakat menjadi mahal/tinggi."

"Sehingga dijadikan dasar pemberian kompensasi maupun subsidi BBM setiap tahun dari APBN."

"Akibat adanya beberapa perbuatan melawan hukum tersebut, telah mengakibatkan adanya kerugian negara sekitar Rp 193,7 triliun, yang bersumber dari berbagai komponen," kata Direktur Penyidikan Jampidsus Kejagung, Abdul Qohar, Senin (24/2/2025).

Sementara itu, peran dua tersangka baru yakni Maya dan Edward, dijelaskan oleh Qohar, mereka melakukan pembelian bahan bakar minyak (BBM) RON 90 (Pertalite) atau lebih rendah dengan harga RON 92 dengan persetujuan Direktur Utama atau Dirut Pertamina Patra Niaga Riva Siahaan.

"Kemudian tersangka Maya Kusmaya memerintahkan dan/atau memberikan persetujuan kepada Edward Corne untuk melakukan blending (mencampur) produk kilang pada jenis RON 88 (Premium) dengan RON 92 agar dapat menghasilkan RON 92," jelas Qohar, Rabu (26/2/2025).

Pembelian tersebut menyebabkan pembayaran impor produk kilang dengan harga tinggi dan tidak sesuai kualitas barang. 

"Hal ini tidak sesuai dengan proses pengadaan produk kilang dan core bisnis PT Pertamina Patra Niaga," jelasnya.

Selain itu, Maya dan Edward melakukan pembayaran impor produk kilang menggunakan metode spot atau penunjukan langsung berdasarkan harga saat itu. 

Perbuatan tersebut membuat PT Pertamina Patra Niaga membayar impor kilang dengan harga yang tinggi ke mitra usaha. 

Padahal, pembayaran seharusnya dilakukan menggunakan metode term atau pemilihan langsung dengan waktu berjangka supaya diperoleh harga yang wajar.

Tak hanya itu saja, Qohar juga menjelaskan, Maya dan Edward mengetahui dan memberikan persetujuan terhadap mark up dalam kontrak shipping yang dilakukan oleh tersangka Yoki Firnandi (YF) selaku Direktur Utama PT Pertamina International Shipping. 

Keterlibatan Maya dan Edward dalam mark up itu menyebabkan PT Pertamina Patra Niaga mengeluarkan fee 13–15 persen secara melawan hukum. 

"Fee tersebut diberikan kepada tersangka Muhammad Kerry Adrianto Riza (MKAR) selaku beneficial owner PT Navigator Khatulistiwa dan tersangka Dimas Werhaspati (DW/tersangka) selaku komisaris PT Navigator Khatulistiwa," jelas Qohar.

Artikel ini telah tayang di Tribun-Medan.com

Sumber: Tribunnews.com
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved