Opini
Etika Kehidupan dari Masyarakat To Bentong
Tulisan ini sebenarnya tidak ingin menyoroti tambang dan juga Donald Trump, kendati dua-duanya tidak jauh dari isu lingkungan.
Oleh: Muhammad Suryadi R
Sekertaris Umum GP Ansor Barru
TRIBUN-TIMUR.COM - Tambang (masih viral). Setelah ormas, kini masyarakat kita kembali digegerkan oleh desas-desus jatah konsesi tambang untuk PT (Perguruan Tinggi).
Desas-desus ini cukup viral, bisa disejajarkan dengan kontroversi manuver-manuver Donald Trump pasca pelantikan, keputusan AS keluar dari Paris Agreement.
Tulisan ini sebenarnya tidak ingin menyoroti tambang dan juga Donald Trump, kendati dua-duanya tidak jauh dari isu lingkungan.
Jadi ada yang menarik. Bahwa komunitas etnik di beberapa daerah banyak menyimpan khazanah kearifan lokal mengenai banyak hal. Salah satu yang menarik itu tentang etika kehidupan.
Nun jauh di pegunungan Barru tepatnya di Dusun Lapatemmu, Desa Bulo Bulo, Pujananting berdiam komunitas etnik yang hingga kini masih mempertahankan falsafah kehidupan leluhur.
Komunitas ini dinamai To Bentong. Sebagian masyarakat setempat bahkan orang luar menyebutnya To Balo.
Frasa “To Balo” yang melekat dalam komunitas ini karena kekhasannya berupa kulit belang. Tetapi sebenarnya penamaan ini salah kaprah.
To Balo sendiri sebetulnya adalah entitas komunitas atau sub-etnik dari masyarakat To Bentong.
Penamaan To Bentong dalam masyarakat ini terambil dari bahasa sehari-hari yang digunakan masyarakat sekitar, yakni Bahasa Bentong.
Karena itu, masyarakat ini tergolong unik, salah satunya karena bahasanya selain keberadaan To Balo -yang juga menggunakan bahasa Bentong.
Dalam berkomunikasi, masyarakat ini menggunakan gabungan tiga bahasa, Bugis, Makassar, dan Konjo. Penulis menduga makna Bentong berarti campuran atau penggabungan bahasa.
Cerita Mitologi
Masyarakat To Bentong penuh dengan mitologi. Keberadaannya bahkan diceritakan lewat narasi berbau mitologi.
Mitos pertama mengisahkan tentang keberadaan To Balo. Menurut cerita masyarakat sekitar, awal mula To Balo berasal dari pelanggaran yang dilakukan prajurit kerajaan setelah peperangan.
Para prajurit terbukti melanggar perjanjian (sumpah) kepada raja. Prajurit yang telah dibekali ilmu kesaktian atau ilmu kekebalan sebelum turun ke medan perang melanggar aturan bahwa setelah mendapatkan kekebalan, pantang menaiki atau kembali ke rumah masing-masing sebelum menyembelih beberapa ekor ayam putih.
Karena kelalaian, seluruh prajurit tadi sudah mendapati dirinya berkulit belang.
Mitos kedua mengenai sumpah. Jadi, pasutri (pasangan suami istri) yang sudah lama merajut mahligai rumah tangga rela bersumpah demi dikarunai momongan.
Suatu ketika di pelesiran sawah, sepasang suami istri melihat penampakan kuda yang di sekujur tubuhnya penuh belang.
Akibat frustasi, pasutri tadi tanpa ragu mengucapkan sumpah kepada Dewata (Tuhan), tak masalah jika kelak keturunannya berkulit belang seperti kuda belang itu, asalkan memiliki momongan.
Tak lama berselang, sang istri hamil dan pada akhirnya melahirkan seorang bayi berkulit belang.
Mitologi ini terus dipercayai masyarakat sekitar, kendati ilmu medis mampu mengilmiahkan penyebab belang pada kulit seseorang. Tapi itulah mitos.
Masyarakat yang sudah modern bagaimanapun tidak akan dengan mudah melupakan cerita-cerita yang telah berurat berakar dalam kehidupan masyarakat lokal.
Falsafah Kehidupan
Sama halnya komunitas masyarakat kultural lainnya, masyarakat To Bentong hari ini masih memegang teguh tradisi leluhur mereka.
Tradisi yang sejak dulu diperagakan adalah ritual (media) pengobatan. Orang-orang sekitar menyebutnya Massagala.
Jika artikan, Massagala ini berarti melakukan pengobatan terhadap penyakit Sagala. Penyakit ini sejenis penyakit kulit seperti Puru, Sarampa’ Buntucika’, kira-kira kurang lebih seperti penyakit cacar.
Yang menarik adalah ritual Massagala ini hanya dilakukan sekali dalam tiga tahun.
Masyarakat To Bentong mempercayai penyakit ini datang sekali dalam tiga tahun. Ritual ini dilakukan selama seminggu hingga satu bulan. Sagala ini pernah menjadi wabah besar yang melanda kehidupan masyarakat.
Karena itu, leluhur mereka melakukan ritual pengobatan. Selain mengobati, leluhur mereka dapat memprediksi kapan waktu datangnya Sagala.
Biasanya tanda-tandanya terdapat pada anak-anak kecil dan pada orang dewasa yang belum mengikuti ritual Massagala.
Seperti ritual-ritual lainnya, ritual Massagala memerlukan syarat-syarat tertentu berikut pantangan-pantangannya.
Tapi, yang paling utama adalah melakukan puasa. Selama Massagala dilakukan, banyak aktivitas yang dibatasi.
Orang yang mengikuti ritual dilarang mengkonsumsi makanan yang berasal dari hewan yang disembelih (Mappadara), makanan bergetah, ikan dari hasil pancingan, dilarang menebang pohon bahkan suami istri yang mengikuti ritual ini dilarang melakukan hubungan intim.
Ritual masyarakat To Bentong sejatinya menyiratkan falsafah kehidupan. Pembatasan atau puasa yang diperagakan masyarakat To Bentong sebenarnya cara memperlakukan semua makhluk dengan baik.
Larangan Mappadara hewan atau binatang selama Massagala adalah membatasi sekaligus memotong nafsu kebinatangan dalam diri manusia. Bahwa nafsu kebinatangan jika tidak dibatasi akan membuat manusia serakah dan tamak.
Kedua, pembatasan lainnya seperti larangan menebang pohon dan memakan ikan dari hasil pancingan adalah cara masyarakat To Bentong memperlakukan makhluk hidup lainnya dengan baik dan benar.
Hewan dan pohon adalah makhluk hidup sama seperti manusia yang saling membutuhkan sehingga harus dipergunakan untuk kebutuhan dengan penuh kesadaran. Massagala yang diwariskan leluhur tak lain adalah cara mendidik masyarakat To Bentong.
Cerita dari masyarakat To Bentong menjadi pelajaran untuk kita sekalian. Betapa penting tradisi dari warisan leluhur dipelajari kembali.
Tradisi leluhur adalah oase untuk mengobati masyarakat modern yang kering etika dan spiritualitas.
Masyarakat kita harus didekatkan kembali kepada tradisi dan kearifan lokal, mengingat modernitas telah menjauhkan masyarakat dari akarnya yaitu kebudayaan.
Modernitas memang menawarkan kemajuan tapi modernitas sekaligus membawa bias, yakni imoralitas. Pertanyaan mengapa masyarakat semakin maju, tetapi perilaku dan etika kebablasan? Jawabnnya adalah kembali pada kebudayaan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.