Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Jenesys 2025

Cerita Pipang Bugis, Keluarga Kecil, dan Air Mata Perpisahan dengan Warga Jepang

Sejak pagi hingga petang, kami merasakan bagaimana menjadi bagian dari keluarga yang sehari-harinya tinggal di Kota Takikawa, Prefektur Hokkaido.

Penulis: Fahrizal Syam | Editor: Sudirman
TRIBUN-TIMUR.COM / FAHRIZAL
JENESYS 2025 - Rombongan Jenesys 2025 saat berada di Kota Takikawa, Prefektur Hokkaido, Sabtu (1/2/2025). Pria 70 tahun bernama Kazuaki Sato menjadi keluarga angkat rombongan Jenesys 2025  

TRIBUN-TIMUR.COM, TAKIKAWA - Sabtu (1/2/2025) adalah hari kelima saya berada di Jepang. Hari ini diisi dengan kegiatan paling menyenangkan sejak saya mengikuti program Jenesys 2025.

Seharian penuh, saya bersama tiga rekan kelompok, menjadi keluarga angkat warga Jepang.

Sejak pagi hingga petang, kami merasakan bagaimana menjadi bagian dari keluarga yang sehari-harinya tinggal di Kota Takikawa, Prefektur Hokkaido.

Memasak, makan siang dan malam bersama, mencuci piring, menonton televisi, berbelanja, hingga jalan-jalan.

Pria 70 tahun bernama Kazuaki Sato menjadi keluarga angkat kami. 

Ia seorang pensiunan dan tinggal sendiri di rumahnya yang tak begitu besar.

Sato san, begitu kami memanggilnya, menjemput kami di balai warga Kota Takikawa.

Saat menerima kami, Sato mengajak dua wanita temannya datang membantu. Namanya Mika Ohsaki dan Tomo-san.

Sato adalah pensiunan dengan segudang pengalaman. Ia sempat menetap dan bekerja di beberapa negara di Eropa selama beberapa bulan.

Ia juga pernah mengunjungi beberapa negara di Asia Tenggara, hingga Amerika.

Sato, Tomo, dan Mika bisa berbahasa Inggris sehingga memudahkan komunikasi dengan kami yang tak begitu banyak tahu Bahasa Jepang.

Tiba di rumahnya yang tak jauh dari lokasi hotel kami, saya langsung terkagum melihat bagaimana rumah warga Jepang.

Rumahnya kecil, tapi sangat nyaman. Rumah besar juga tak begitu berarti bagi Sato sebab Ia tinggal sendiri.

Ia sudah berpisah dengan istrinya dan tak memiliki anak. Sejak cerai, ia tinggal bersama orangtuanya di rumah itu hingga keduanya meninggal.

Saya tak berani menanyakan lebih jauh urusan keluarganya. Saya hanya melihat di dinding rumahnya ada beberapa foto Sato bersama istrinya. Juga foto kedua orangtuanya.

Tiba di rumahnya, Sato bersama Mika dan Tomo langsung masak untuk kami makan siang. Sementara kami mempersiapkan meja dan peralatan makan.

Meskipun baru bertemu dan berkenalan, suasana cair langsung begitu terasa. Kami saling bertukar cerita.

Saya mengeluarkan oleh-oleh camilan pipang Bugis yang memang saya bawa dari Makassar.

Mereka sangat menyukainya. "Oishi" langsung terucap begitu mereka makan pipang.

Oishii diucapkan orang Jepang jika mereka menyukai sesuatu yang dimakan, atau enak.

Mereka juga penasaran bagaimana pipang dibuat. Saya ceritakan dan mereka terkagum.

Usai makan siang, Sato mengajak kami jalan-jalan ke sebuah stasiun radio lokal. Ia mengajak kami siaran bersama. 

Setelah pensiun, Sato mengisi waktunya dengan menjadi penyiar volunteer di sebuah radio di Kota Takikawa.

Kemudian ia membawa kami ke sebuah kota kecil bernama Utashinai, tak jauh dari Takikawa. Ada sebuah museum di sana.

Museum itu berisi barang-barang tua, khususnya peninggalan penambang batu bara di masa lampau.

Utashinai, Akibara, dan beberapa daerah di sekitarnya, dulunya adalah lokasi pertambangan batu bara yang cukup besar dan ramai di Jepang

Namun setelah tambang tutup, kota pun mulai ditinggalkan oleh penduduknya.

Saat kami berkunjung, Utashinai tampak begitu sepi aktivitas. Tak banyak kendaraan, hanya rumah-rumah tertutup salju.

Puas mengunjungi museum, keluarga Sato membawa kami ke sebuah toko sekaligus pabrik parfum, body lotion, dan perawatan tubuh lainnya. 

Uniknya, pengunjung bisa menyaksikan langsung bagaimana proses parfum dibuat dengan menggunakan bahan-bahan alami yang diambil di Hokkaido.

"Belikan sesuatu untuk keluargamu di Indonesia," kata Sato kepadaku saat melihat-lihat produk di toko itu.

Kami juga diantar berbelanja di sebuah supermaket, sebelum kembali ke rumahnya untuk makan malam.

Makan malam ini menjadi momen paling menyenangkan sekaligus sedih. Sebab usai makan malam, Sato harus mengantar kami kembali ke hotel, dan tentu saja perpisahan.

Namun sebelum itu, Sato dan kerabatnya menyajikan kami makanan khas Jepang, Sushi dan Sashimi. Kami makan bersama di sebuah meja kecil.

Keakraban makin terasa. Canda tawa dari kami tak berhenti, hingga akhirnya waktu menunjukkan kami harus kembali ke hotel.

Sebelum pulang, Sato menyanyikan lagu untuk kami. Ia mengambil gitar dari kamarnya. Ia memang laki-laki penyuka musik. Banyak koleksi gitar hingga kaset dan CD di rumahnya.

Seorang teman kelompokku sampai berkaca-kaca mendengar suara merdu Sato dengan petikan gitarnya.

Perpisahan makin terasa menyedihkan di hotel. Detik-detik terakhir kami harus berpisah dengan keluarga baru kami, membuat air mata tak terbendung.

Yah, kami mungkin tak akan bisa bertemu mereka lagi. Besok kami harus terbang kembali ke Tokyo, melanjutkan program Jenesys.

Meski singkat, pertemuan dengan keluarga Jepang sungguh menjadi momen tak terlupakan bagi saya. Ini bahkan menjadi yang terbaik selama saya di Jepang.

Tapi memang seperti itulah tujuan program Jenesys, menciptakan kesan dan pertukaran budaya antara Indonesia dengan Jepang. (*)

 

 

 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved