Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Mengcounter Misoginisme

isu seksisme dan misogini menerpa, masih sering muncul sebagai sikap apatis, terutama kandidat perempuan dalam kontestasi politik Pilkada.

Editor: Muh Hasim Arfah
Handover
Juanto Avol, Anggota Bawaslu Gowa 

Oleh Juanto Avol

Anggota Bawaslu Gowa

ADA satu dalil yang tak asing, sering digaungkan di alam nalar kita.

Itu pula yang kadang menjadi tafsir liar, pemantik dialogis politik dalam menentukan pemimpin.

Misalnya ayat 'Arrijalu qawwamuna alan-nisa' (QS. An-Nisa ayat 34) bahwa laki-laki adalah pemimpin bagi kaum perempuan

Akhirnya, narasi-narasi serupa sering mencuat di momentum pemilihan kepala daerah, seolah rasanya lucu ketika seorang perempuan maju sebagai pemimpin. 

Tak cukup disitu, beberapa pandangan lain yang menyatakan bahwa akal perempuan kurang cerdas. Namun fakta membuktikan, kapasitas perempuan banyak yang mumpuni, bahkan bisa jauh lebih besar dibandingkan laki-laki.

Munculnya tafsir beragam itu di berbagai konteks, mulai dikait-kaitkan tentang kepemimpinan.

Dari urusan rumah tangga, ruang formal, birokrasi dan sosial politik. Seolah semua yang paling mutlak dan berhak sebagai pemimpin bukanlah dari kaum Hawa.

Andai kita mau sedikit meluangkan waktu, membaca sejarah panjang tentang kepemimpinan, ada banyak bukti, perempuan memimpin, berperan besar dalam kemajuan bangsa, agama dan negara.

Dan kalaulah kita melihat, dalam konteks Sulawesi Selatan, 27 November 2024 lalu di beberapa kabupaten/kota, ada banyak deretan perempuan hebat, maju sebagai calon kepala daerah.

Tentu, posisi mereka itu tidak mudah, isu seksisme dan misogini menerpa, masih sering muncul sebagai sikap apatis, terutama kandidat perempuan dalam kontestasi politik pemilihan kepala daerah (pilkada).

Fenomena misogini tersebut dapat terlihat dalam berbagai bentuk, baik secara langsung atau tersirat, seperti penggunaan isu-isu gender di atas, digunakan untuk melemahkan posisi perempuan.

Akhirnya, kandidat perempuan sering kali diperhadapkan pada stereotipe tradisional, yang meragukan kemampuan mereka untuk memimpin, hanya karena perkara jenis "kelamin".

Mereka dipersepsikan "tidak cocok" untuk posisi tertentu, sebab dianggap terlalu emosional atau kurang tegas. Sehingga dicarilah narasi tentang keterkaitan dalil-dalil suci yang dikonotasikan dalam urusan politik sebagai komoditi bantahan. 

Padahal, cara-cara politisasi -agama- seperti itu justeru kadang dibenturkan dengan nilai-nilai sosial, budaya dan agama itu sendiri dalam demokrasi.

Sehingga bertentangan dengan konstitusi yang mencederai akal sehat kita dalam berpolitik.

Stereotipe mereka tentang kehidupan pribadi perempuan pun diungkit, dijadikan alat kepentingan tertentu, yang jarang dialami oleh kandidat laki-laki.

Misalnya, gambaran penampilan fisik; paras wajah, gestur gaya bicara dan berpakaian, menjadi topik politisasi sebagai objek cibiran.

Status sosial pun tak luput, sering kali menjadi sasaran yang tidak relevan, diumbar saat dan pasca kontestasi. Hal itu, malah mencerminkan ketidakdewasaan berpolitik.

 

Mustinya, semua elemen masyarakat mendorong dan melihat mereka dengan ide dan gagasan yang menjadi pijakan, seperti apa kapasitasnya, sebagai konsep kesetaraan dengan laki-laki dalam memimpin suatu daerah.

 

Patriarkal

Dalam masyarakat kita, sebagai budaya orang timur yang masih kental dengan patriarkal, pemilih kadang lebih memilih kandidat laki-laki, sebab dianggap lebih pantas, berkarakter dan kuat.

Sedangkan kandidat perempuan sering kali harus bekerja dua kali lebih keras untuk membuktikan kemampuan mereka, agar mematahkan persepsi politik mesogini.

Bahwa perempuan yang maju dalam pilkada itu lemah dan sering menjadi korban kekerasan berbasis gender, baik secara verbal maupun non-verbal.

Olehnya, dengan persepsi itu, ruang-ruang yang musti dibangun kedepan sebagai pencerdasan politik, yaitu semua elemen sosial masyarakat tadi, baik formal dan non formal selaiknya diperkuat, termasuk peran-peran para tokoh, aktor politik, lembaga-lembaga sosial dan media sebagai pengarusutamaan gender. 

Disini, sejatinya seluruh stakeholder dan media sebagai sarana sosial makin edukatif dan mampu berlaku adil.

Dengan kandidat perempuan atau laki-laki semua sama nan setara dalam berdemokrasi.

Karena itu, terhadap siapa pun mereka sebagai vigur, melihatnya dari kacamata politik, kita musti berfokus pada visi misi dan program kerjanya, bukan semata dari aspek personal.

Jika itu diperkuat, maka dampak seksisme dan misogini diatas tidak lagi menjadi amunisi "kampungan" untuk menyerang para calon pemimpin dari kalangan perempuan. Ini penting, agar mendorong rasa adil terhadap semua hak-hak politik seseorang. 

Sehingga dimasa mendatang, mesin-mesin partai politik pun harus mampu mengurangi sekat nalar feodalisme politik, sebagai peluang besar yang terus melahirkan dan mendorong partisipasi kepemimpinan perempuan untuk berkiprah dalam politik, dan tidak lagi membatasi pilihan-pilihan masyarakat oleh diskriminasi politik berbasis seksisme dan misogini.

Olehnya, pemahaman pendidikan politik terhadap publik, kedewasaan berdemokrasi terus diperkuat untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang kesetaraan.

Sehingga kendali tentang pilihan-pilihan itu sesungguhnya ada di tangan rakyat, kedaulatannya menentukan siapa pemimpin terpilih adalah keputusan bersama, inklusivitas dan representasi yang seharusnya menjadi pemimpin adalah prinsip utama dalam pemilihan yang demokratis dan adil.

Maka sepatutnya, siapapun calon Gubernur dan Wakil gubernur, Bupati dan Wakil bupati yang terpilih atau yang belum terpilih, harus menjadi kesatuan yang utuh dan ideal sebagai calon terbaik pemimpin kepala daerah milik rakyat. 

Bukan lagi menciptakan sekat-sekat milik golongan tertentu, agar kemajuan daerah dibangun diatas prinsip merajut kedaulatan bersama.(*)

Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved