Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Hasto Tersangka KPK

Tanda Apa? KPK Tetapkan 8 Hari Pasca Presiden Joko Widodo Dipecat dari PDI Perjuangan

KPK mentersangkakan Hasto empat hari setelah PDI Perjuangan memecat Joko Widodo sekeluarga sebagai kader, Senin (16/12/2024).

Editor: Muh Hasim Arfah
Handover
KPK mentersangkakan Hasto Kristiyanto empat hari setelah PDI Perjuangan memecat Joko Widodo sekeluarga sebagai kader, Senin (16/12/2024). 

TRIBUN-TIMUR.COM- Komisi Pemberantasan Korupsi Republik Indonesia ( KPK RI ) merilis Sekretaris Jenderal (Sekjen) PDI Perjuangan, Hasto Kristiyanto tersangka, Selasa (24/12/2024). 

KPK mentersangkakan Hasto empat hari setelah PDI Perjuangan memecat Joko Widodo sekeluarga sebagai kader, Senin (16/12/2024).

Pemecatan ini disertai dengan sejumlah pertimbangan yang mencerminkan pelanggaran serius terhadap aturan internal partai. 

Dasar Pemecatan Jokowi

Pemecatan Jokowi dituangkan dalam Surat Keputusan (SK) Nomor 1649/KPTS/DPP/XII/2024 yang ditetapkan pada 14 Desember 2024. 

SK tersebut ditandatangani oleh Ketua Umum PDI-P Megawati Soekarnoputri dan Sekretaris Jenderal Hasto Kristiyanto

Dalam SK itu, terdapat lima keputusan utama, termasuk pelarangan bagi Jokowi untuk melakukan kegiatan atau menduduki jabatan yang mengatasnamakan PDI-P. 

"Terhitung setelah dikeluarkannya surat pemecatan ini, maka DPP PDI-P tidak ada hubungan dan tidak bertanggung jawab atas sesuatu yang dilakukan oleh saudara Jokowi," ujar Komarudin, Senin. 

Selain Jokowi, pemecatan juga dilakukan terhadap Wakil Presiden (Wapres) Gibran Rakabuming Raka dan Calon Gubernur Sumatera Utara Bobby Nasution. 

Namun, fokus utama keputusan ini adalah langkah tegas terhadap Jokowi karena perannya sebagai kader yang sebelumnya ditugaskan PDI-P sebagai Presiden RI. 

Pelanggaran Jokowi

Pemecatan Jokowi didasarkan pada pelanggaran yang dianggap melawan terang-terangan terhadap keputusan DPP PDI-P, khususnya dalam Pemilihan Umum (Pemilu) 2024. 

Jokowi disebut mendukung pasangan calon presiden dan wakil presiden dari partai politik lain, yakni Koalisi Indonesia Maju, bukan pasangan Ganjar Pranowo dan Mahfud MD yang diusung oleh PDI-P. 

Diketahui, putra sulung Jokowi, Gibran Rakabuming Raka maju sebagai calon wakil presiden (cawapres) mendampingi Prabowo Subianto yang diusung oleh Koalisi Indonesia Maju (KIM). 

“Sikap, tindakan, dan perbuatan saudara Joko Widodo selaku kader PDI-P telah melanggar AD/ART Partai Tahun 2019 serta Kode Etik dan Disiplin Partai,” kata Komarudin. 

Selain itu, Jokowi juga dituduh menyalahgunakan kekuasaannya untuk mengintervensi Mahkamah Konstitusi (MK). 

Hal ini dianggap mencederai sistem demokrasi, hukum, dan moral-etika dalam kehidupan berbangsa dan bernegara, yang menurut PDI-P merupakan pelanggaran berat.


Alasan Hasto Tersangka 

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menetapkan Sekretaris Jenderal PDI Perjuangan (Sekjen PDIP) Hasto Kristiyanto sebagai tersangka dalam dua kasus terkait eks kader PDIP, Harun Masiku. 

Kedua kasus tersebut yakni penyuapan terhadap mantan Komisioner Komisi Pemilihan Umum (KPU) Wahyu Setiawan yang dilakukan bersama Harun Masiku. 

Serta, perintangan penyidikan yang dilakukan KPK ketika memburu Harun Masiku. 

Sejak diusut pada tahun 2019, kasus ini sudah cukup menyita publik. 

Pasalnya, Harun Masiku yang telah ditetapkan sebagai buronan sejak 2020, hingga kini tak kunjung berhasil ditangkap oleh KPK

Kasus suap kepada Komisioner KPU KPK menduga Hasto terlibat dalam penyuapan eks Komisioner KPU, Wahyu Setiawan, agar meloloskan Harun Masiku sebagai anggota DPR RI. 

Padahal, perolehan suara Harun Masiku yang maju dari Daerah Pemilihan (Dapil) 1 Sumatera Selatan saat itu, kalah jauh dari Riezky Aprilia. 

Dari penelusuran KPK, Harun Masiku merupakan warga Sulawesi Selatan (Sulsel), yang ditempatkan untuk maju di Sumsel. Saat KPU mengumumkan hasil Pemilu 2019, Harun Masiku hanya berhasil mengantongi 5.878 suara, dan menempatkannya di urutan keenam caleg dengan suara terbanyak. 

Sementara Riezky Aprilia yang meraup 44.402 suara, berhasil berada di urutan kedua. Keduanya awalnya tidak lolos ke Senayan. 

Caleg PDIP asal Dapil 1 Sumsel yang semestinya lolos adalah Nazarudin Kiemas. 

Namun, Nazarudin meninggal dunia sebelum dilantik. 

Semestinya, Riezky Aprilia lah yang menggantikan Nazarudin. 

Hasto pun berakrobat dengan mengajukan judicial review kepada Mahkamah Agung pada tanggal 24 Juni 2019 supaya Harun Masiku bisa melenggang ke DPR. 

Tak hanya itu, Hasto juga menerbitkan Surat Bernomor: 2576/ex/dpp/viii/2019 tertanggal 5 Agustus 2019 perihal permohonan pelaksanaan judicial review. 

Hasto juga meminta Riezky Aprilia untuk mengundurkan diri, bahkan mengirim orang untuk menyusulnya ke Singapura untuk meminta hal yang sama. 

Namun, Riezky Aprilia kekeh menolak permintaan tersebut. Hasto kemudian menemui Wahyu Setiawan, pada 31 Agustus untuk melobi dua pergantian antar waktu (PAW) anggota DPR RI. 

Namun, nama Harun tidak lolos. 

Hasto akhirnya melalui bawahannya Saeful Bahri dan Dony Tri Istiqomah menyuap Wahyu dan anggota Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) Agustiani Tio Fridelina dengan uang 19.000 dollar Singapura dan 38.2250 dollar Singapura. 

Menurut Setyo, sebagian uang suap itu bersumber dari kantong Hasto. “Agar saudara Harun Masiku dapat ditetapkan sebagai anggota DPR RI periode 2019-2024 dari Dapil 1 Sumsel,” tutur Ketua KPK Setyo Budiyanto. 

Kasus perintangan penyidikan 

Selain menyuap, Hasto juga diduga melakukan perbuatan-perbuatan yang menghalangi jalannya penegakan hukum, termasuk membuat Harun Masiku lolos dari operasi tangkap tangan (OTT) pada Januari 2020. Ketika KPK menggelar OTT pada 8 Januari 2020, Hasto memerintahkan penjaga Rumah Aspirasi, Nurhasan untuk menghubungi Harun Masiku. 

“(Memerintahkan) Harun Masiku supaya merendam Hp-nya dalam air dan segera melarikan diri,” kata Setyo. 

Perintah yang sama juga Hasto sampaikan pada 6 Juni 2024 lalu, beberapa hari sebelum ia diperiksa KPK sebagai saksi Harun. 

Ia memerintahkan staf pribadinya, Kusnadi merendam Handphone. 

Selain itu, Hasto juga disebut mengumpulkan sejumlah saksi terkait perkara Harun Masiku dan mengarahkan mereka agar tidak memberikan keterangan dengan jujur. 

Karena perbuatan itu, KPK juga menetapkan Hasto dan kawan-kawan sebagai tersangka perintangan penyidikan. 

“Dengan sengaja mencegah, merintangi atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan perkara dugaan tindak pidana korupsi terkait penetapan anggota DPR RI terpilih 2019-2024 yang dilakukan Harun Masiku bersama-sama Saeful Bahri,” ujar Setyo. 

Ancaman hukuman 

Atas perbuatannya, Hasto kini diancam Komisi Antirasuah dengan pasal yang berbeda. Dalam perkara suap, Hasto disangka dengan Pasal 5 Ayat (1) huruf a atau Pasal 5 Ayat (1) huruf b atau Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. 

Secara rinci Pasal 5 Ayat (1) huruf a dan b UU Tipikor berbunyi sebagai berikut: Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang: 

a. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau 

b. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya. 

Pasal 13 UU Tipikor berbunyi sebagai berikut: Setiap orang yang memberi hadiah atau janji kepada pegawai negeri dengan mengingat kekuasaan atau wewenang yang melekat pada jabatan atau kedudukannya, atau oleh pemberi hadiah atau janji dianggap melekat pada jabatan atau kedudukan tersebut, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun dan atau denda paling banyak 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah). 

Sedangkan terkait kasus perintangan penyidikan, Hasto dijerat KPK dengan Pasal 21 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP. Adapun Pasal 21 UU Tipikor berbunyi: Setiap orang yang dengan sengaja mencegah, merintangi, atau menggagalkan secara langsung atau tidak langsung penyidikan, penuntutan, dan pemeriksaan di sidang pengadilan terhadap tersangka dan terdakwa ataupun para saksi dalam perkara korupsi, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 (tiga) tahun dan paling lama 12 (dua belas) tahun dan atau denda paling sedikit Rp. 150.000.000,00 (seratus lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 600.000.000,00 (enam ratus juta rupiah).

(tribun-timur.com/kompas.com)

 

Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved