Opini
Maskulinitas Beracun dalam Tren Laki-laki Tidak Bercerita
Fenomema tersebut mengisyaratkan bahwa laki-laki pantang untuk menceritakan masalahnya atau mencurahkan perasaannya kepada orang lain.
Dalam kasus lain, kebiasaan laki-laki dalam memendam emosi bisa menimbulkan perilaku destruktif melalui pelampiasan amarah tak terkontrol yang berujung pada kekerasan.
Nahasnya, karena laki-laki merasa tak berdaya melawan nilai-nilai kaku masyarakat mengenai maskulinitas yang membebaninya, mereka malah melampiaskan kebenciannya kepada obyek lain yang lebih lemah darinya yaitu perempuan dan anak-anak.
Laki-laki Tidak Bercerita dalam Konteks Kekerasan Seksual
Pada tahun 2020 International NGO Forum on Indonesia Development (INFID) dan Indonesia Judicial Research Society (IJRS) menampilkan data jumlah korban kekerasan seksual dari kaum lelaki di Indonesia mencapai 33 persen.
Satu tahun sebelumnya, pada tahun 2019 pernah viral kasus pegawai laki-laki Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) yang diduga mengalami pelecehan seksual dan bullying dari rekan kerjanya.
Masih pada tahun yang sama seorang remaja lelaki berusia 16 tahun di Probolinggo mengaku dilecehkan oleh wanita berusia 28 tahun.
Jika kita berpatok pada kode maskulinitas, maka kita pasti menyangkal kasus-kasus di atas.
Alasan mengapa kekerasan seksual pada laki-laki tidak dianggap serius dikarenakan mengakarnya doktrin maskulinitas beracun di masyarakat.
Menurut pikiran umum masyarakat, pelecehan terhadap laki-laki dinilai sebagai hal yang mustahil terjadi, sebab laki-laki lebih kuat dari perempuan dan mampu melindungi diri.
Rasa malu dan enggan dihakimi oleh masyarakat dengan ledekan, “Kejantanan berkurang” atau, “Banci” ini pula yang sebenarnya membuat laki-laki lebih memilih tidak bercerita dan mengurungkan niat untuk melaporkan perkara mereka.
Maka dari itu, lembaga yang berwenang perlu menangani kasus-kasus kekerasan berbasis gender secara lebih seksama.
Masyarakat seyogyanya jangan mudah menghakimi, melainkan mulai membentuk lingkungan yang suportif dengan membudayakan maskulinitas dan feminitas yang positif.
Maskulinitas dan feminitas sebenarnya ada pada diri setiap manusia. Artinya, laki-laki dan perempuan telah dianugerahkan oleh Tuhan dengan sifat-sifat ini. Dengan demikian, laki-laki dalam dirinya juga memiliki aspek feminin.
Laki-laki bukan robot pekerja yang tak memiliki rasa. Hal itu menunjukkan bahwa kuat atau jantan bukan berarti harus memikirkan dan menghadapi semuanya seorang diri.
Sebaliknya, jalan keluar lebih mudah ditemui jika kita mencarinya bersama-sama.
Oleh karena itu, laki-laki harus belajar bercerita, membagikan perasaannya kepada orang yang ia bisa percaya. Wallahu a’lam bishawab.
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.