Opini
Maskulinitas Beracun dalam Tren Laki-laki Tidak Bercerita
Fenomema tersebut mengisyaratkan bahwa laki-laki pantang untuk menceritakan masalahnya atau mencurahkan perasaannya kepada orang lain.
Laki-laki yang mencurahkan emosinya akan dianggap cengeng, lemah, bukan laki-laki sejati.
Nilai-nilai ini bahkan telah ditanamkan pada diri laki-laki sejak kecil.
Ketika orangtua melihat anak laki-lakinya menangis akibat terjatuh dari sepeda misalnya, mereka langsung mengucapkan mantra jitu agar bocah lanangnya diam, “Sudah jangan cengeng, laki-laki kok nangis!”.
Laki-laki yang tidak bisa memenuhi standar maskulinitas yang ditetapkan masyarakat akan merasa gagal sebagai laki-laki.
Karena menafkahi keluarga adalah identitas laki-laki, maka mereka yang tidak memiliki pekerjaan tetap atau tak mapan secara finansial menganggap dirinya sebagai orang yang hina.
Laki-laki dalam keadaan seperti ini akan menarik diri dari komunitas atau bahkan dikucilkan dari pergaulan.
Mulut mereka menjadi bungkam, sementara alam pikirannya berisik mencari-cari solusi sendiri.
Tak dianjurkannnya laki-laki untuk menceritakan masalah yang dialami kepada orang lain bisa menyebabkan kerentanan pada depresi.
Seiring berjalannya waktu, mental laki-laki akan tergerus dan akhirnya memunculkan trauma berkepanjangan.
Berhubungan dengan masalah tersebut, Matthew Genuchi, Profesor Ilmu Psikologi di Boise State University mengemukakan bahwa laki-laki yang mengakhiri hidup dengan bunuh diri empat kali lebih banyak dibandingkan perempuan.
Pada tahun 2012, penelitian serupa dilakukan oleh The Samaritans, suatu lembaga amal di Inggris bagi mereka yang mengalami tekanan mental yang mengungkap fakta bahwa kasus bunuh diri paling sering terjadi pada laki-laki paruh baya.
Dari penelitian itu juga diketahui bahwa laki-laki yang kurang dalam segi ekonomi berpotensi sepuluh kali lebih besar mengakhiri hidupnya.
Insiden malang itu dialami oleh seorang laki-laki di Jakarta Selatan pada tahun 2017 silam.
Beritanya sempat menghebohkan dunia maya, karena aksi gantung diri tersebut disiarkan langsung oleh pelaku di facebook.
Sebelum meregangkan nyawanya sendiri, laki-laki itu menumpahkan keresahan-keresahannya atas kondisi ekonominya yang memprihatinkan sehingga ia tak mampu lagi menghidupi istri dan anak-anaknya.
Pesantren sebagai Katalis Peradaban, Catatan dari MQK Internasional I |
![]() |
---|
Paradigma SW: Perspektif Sosiologi Pengetahuan Menyambut Munas IV Hidayatullah |
![]() |
---|
Dari Merdeka ke Peradaban Dunia: Santri Sebagai Benteng Moral Bangsa |
![]() |
---|
Makassar dan Kewajiban untuk Memanusiakan Kota |
![]() |
---|
Ketika Pusat Menguat, Daerah Melemah: Wajah Baru Efisiensi Fiskal |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.