Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Dari Fatimah Hingga Gaza, Perlawanan yang Sama

Dari Hajar hingga Asyiah, hijrah dimulai dari seorang perempuan berlari di padang gurun membawa air untuk seorang bayi kecil yang kelak menjadi nabi.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Dari Fatimah Hingga Gaza, Perlawanan yang Sama
Ist
Haryati Ismail S Pd, Mahasiswi S2 Kajian Studi Wanita dan Keluarga Universitas Internasional Al Mustafa Iran/Founder Perempuan Bersuara

Oleh: Haryati Ismail S Pd

Mahasiswi S2 Kajian Studi Wanita dan Keluarga Universitas Internasional Al Mustafa Iran/Founder Perempuan Bersuara

TRIBUN-TIMUR.COM - Jika seluruh peristiwa jalur perlawanan dicatat dalam jantung sejarah, maka nama-nama perempuan yang mempunyai pengaruh luar biasa pasti akan muncul di dalamnya.

Dari Hajar hingga Asyiah, hijrah dimulai dari seorang perempuan yang berlari di padang gurun membawa air untuk seorang bayi kecil yang kelak menjadi nabi sampai pada didikan perempuan pada seorang nabi di istana Firaun.

Hingga pada zaman nabi terakhir, ketika perlawanan seorang perempuan seperti Khadijah mencapai misinya dan menjadi ibu dari seorang perempuan seperti Fatimah, yang jiwa sucinya telah menguji ketabahan dan kesabaran berkali-kali sebelum diciptakan. 

Dan setelah dilahirkan dan hidup bersama ayah seperti Muhammad, ia menjadi ibu dari ayahnya (Ummu Abiha).

Fatimah adalah Masalah Agama, Bukan Masalah Sejarah Pasca wafatnya Nabi Muhammad SAW, disinilah awal jihad perlawanan Sayyidah Fathimah az Zahra. Putri nabi memasuki ranah politik dengan sekuat tenaga dan bangkit melawan. 

Dia melihat situasi ummat terjadi penyimpangan dan melanggar janji yang mereka telah ucapkan kepada nabi di peristiwa Ghadir Khum (Peristiwa besar yang terjadi seusai Haji Wada di area antara Makah dan Madinah dimana umat Islam memberikan sumpah janjinya kepada Nabi). 

Bukan hanya itu, dengan dalih Nabi tidak memiliki warisan, hak Sayidah Fatimah atas tanah Fadak yang telah dihadiahkan Nabi untuknya, telah diambil alih pengelolaannya. Tanah Fadak disebut milik umat, dan tidak bisa dimiliki secara perseorangan.

Sayidah Fatimah dengan membawa putra-putrinya, berkeliling kerumah para Muhajirin dan Anshar selama 40 hari setelah wafatnya nabi guna mengingatkan mereka mengenai hak Ahlulbait. 

Bukan hanya itu, putri Nabi ini juga mendatangi Masjid Nabawi dan menyampaikan khutbahya yang bersejarah yang dikenal dengan nama Khutbah Fadakiyah.

Ia memperjuangkan haknya atas tanah Fadak, bukan karena gila harta, melainkan mengajarkan sebuah sikap kepada umat, untuk tidak diam dihadapan kesewenang-wenangan.

Dengan hujjah yang kuat ia menyebutkan, tanah Fadak dimiliki nabi tanpa melalui peperangan sehingga berdasarkan Al-Qur’an, menjadi milik pribadi nabi dan bukan milik bersama. Tanah Fadak dihadiahkan kepada putrinya.

Benar bahwa Islam adalah agama kasih sayang, namun kaum tertindas tidak boleh menoleransi kedzaliman. 

Dalam ayat Al-Qur’an disampaikan bahwa ciri-ciri masyarakat sehat salah satunya adalah jika di dzalimi maka kita harus melawan dan tidak membiarkan diri tertindas. 

Istri Ali bin Abi Thalib dalam sejarahnya telah melakukan perlawanan dengan perkataan dan perbuatan. Hingga dia meninggal, dia tetap melakukan perlawanan dengan memboikot orang-orang yang telah melanggar perintah nabi, melawan ketetapan agama dan rakus akan kekuasaan.

Perlawanan dari Fatimah ke Gaza

Fatimah adalah panutan bagi semua kalangan, baik laki-laki dan perempuan. Ruh perlawanan yang dimilikinya akan terus hidup dan merasuki para ibu-ibu yang beriman sehingga perlawanan tidak akan pernah padam.

Gaza merupakan wujud perlawanan saat ini melawan para tiran. Sepanjang sejarah, kita mungkin tidak pernah melihat begitu banyak perempuan yang mati syahid di garis depan, seperti yang terjadi di Gaza

Perempuan Gaza selama 76 tahun berada di garda terdepan, memainkan peran pertama dalam perlawanan untuk membela hak tanah miliknya.

Para pemuda dan pria Gaza yang bergerak melawan Zionis memiliki ibu, istri dan anak perempuan, dan jika para perempuan ini tidak setuju, para Mujahidin ini tidak akan bergerak melawan Israel.

Para ibu dan istri ini tahu bahwa jika remaja putra dan putri mereka berperang melawan Rezim Israel, musuh Zionis akan membombardir rumah mereka. 

Sehingga salah satu penyebab Zionis membom pemukiman-pemukiman di Gaza adalah keluarga dan perempuan di Gaza.

Rezim Zionis sudah muak dan tidak ingin membiarkan laki-laki dan generasi muda Gaza terus melakukan perlawanan. 

Karena musuh mengetahui bahwa cara menghancurkan sumber daya manusia dan modal motivasi pemuda Gaza adalah melalui keluarga, perempuan dan anak-anak. 

Jika perempuan-perempuan ini dilawan, maka generasi muda dan laki-laki tidak akan mampu melakukan gerakan besar ini. Oleh karena itu, dikatakan garda terdepan dan role play pertama ada di tangan perempuan Gaza.

Saat ini, perempuanlah yang menjadi pihak pertama dalam barisan perlawanan. Jika Anda berbicara dengan ibu-ibu para syuhada dan mujahidin perlawanan, Anda akan merasakan keberanian dan ketidakegoisan mereka. 

Oleh karena itu, kita patut menyapa para perempuan perlawanan yang berani mewariskan hal tersebut kepada anak-anaknya.

Para perempuan di Gaza tanpa pamrih mengatakan kepada laki-laki mereka, “Pergilah ke medan perang, bahkan jika mereka menghancurkan saya di sini karena pemboman.

” Ini adalah kedudukan yang indah. Darah perlawanan yang mengalir dalam tubuh para ibu- ibu Gaza adalah darah perlawanan yang ditorehkan oleh Sayidah Fatimah az Zahra.

Perjuangan

melawan penindasan, membela hak adalah sejarah yang yang tidak bisa dihapus dengan ledakan bom dan kematian. Perlawanan para pecinta Fatimah akan terus berlanjut demi umat beriman dan anak-anak di dunia.

Saat ini, kita dapat melihat bahwa beberapa pemimpin politik di dunia menaruh belas kasihan terhadap anak-anak Gaza

Preposisi apa yang kita miliki? Kita harus mengucapkan kata-kata superior itu dan menceritakan tentang keberanian mereka. 
Hillary Clinton, mantan menteri luar negeri AS, yang merupakan seorang perempuan, mengatakan: 

“Selama ibu-ibu Muslim mengajari anak-anak mereka pelajaran tentang kesyahidan, mereka semua adalah teroris dan mereka semua harus dibunuh.”

Mereka paham bahwa keinginan syahid para pemuda Palestina ini disebabkan oleh pelajaran yang diajarkan ibu mereka.

Jadi perempuan memainkan peran pertama dalam keberanian laki-laki untuk melawan. 

Membela diri dan berani memperjuangkan hak, adalah sejarah yang ditandai oleh Sayidah Fatimah az-Zahra dalam sejarah perlawanannya. 

Hal ini akan terus berlanjut tanpa henti hingga muncul kemenangan. Imam Khomeii, pemimpin besar revolusi Islam Iran pernah berkata, “Perlawanan adalah seseorang memilih jalan yang dianggapnya sebagai jalan yang hak, jalan yang benar dan mulai bergerak dijalan ini dan segala bentuk rintangan tidak dapat menghentikannya.”(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved