Opini
Kekerasan Seksual di Kampus Kapan Bisa Terhapus?
Ia melakukan tindakan tidak senonoh kepada mahasiswinya saat bimbingan skripsi
Oleh: dr Ratih Paradini
Dokter, Aktivis Dakwah
TRIBUN-TIMUR.COM - Viral kasus kekerasan seksual di kampus, kali ini pelakunya diduga adalah salah satu dosen Fakultas Ilmu Budaya Universitas Hasanuddin.
Ia melakukan tindakan tidak senonoh kepada mahasiswinya saat bimbingan skripsi.
Bentuk pelecehan yang terjadi mulai dari memeluk hingga hampir mencium korban, sampai membuat korban merasa sangat trauma.
Budaya sirri menjadi tercoreng oleh sosok yang harusnya menjadi tauladan kepada mahasiswa, dosen yang mengajarkan budaya malah perilakunya tidak berbudaya.
Awalnya bahkan ada oknum dosen yang menyalahkan korban dan menganggapnya berhalusinasi.
Lebih miris lagi dalam kasus ini, viral pesan WhatsApp salah satu Staf Satgas PPKS (Satuan Tugas Pencegahan dan Penanganan Kekerasan Seksual) Universitas Hasanuddin yang malah tidak bersimpati kepada korban dan seolah lebih cenderung memihak pelaku.
Kampus harusnya menjadi ruang belajar bukan menjadi tempat berperilaku kurang ajar. Civitas akademika merupakan orang-orang terpelajar namun mengapa malah ada oknum yang berperilaku di luar nalar?
Data per April 2024 dari Kementerian Pemberdayaan Perempuan dan Perlindungan Anak mencatat 2.681 kasus kekerasan seksual yang terjadi di lingkungan perguruan tinggi (www.uph.edu 2 Juli 2024)
Penyebab Munculnya Pelaku Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bisa terjadi karena adanya pelaku dan kesempatan untuk melakukan perbuatan tersebut.
Secara naluriah manusia memang punya dorongan seksual namun manusia juga dikaruniai akal oleh Allah sebagai alat pengambil keputusan yang tepat.
Berbeda dengan hewan ketika birahi mereka mudah saja mengejar betina tanpa mengenal tata krama.
Maka rusaknya akal para pelaku kekerasan seksual inilah yang menjadi penyebab timbulnya perbuatan bejat.
Baik itu fungsi akalnya memang rusak akibat alkohol, narkoba dan kecanduan video porno atau fungsi akalnya sehat, hanya saja persepsinya terhadap hakikat kehidupan yang keliru sehingga standarisasi benar dan salah dalam kehidupan menjadi ambigu.
Ideologi sekularisme misalnya, pemahaman ideologi ini memisahkan agama dengan kehidupan sehingga menjadikan perasaan dan kebebasan sebagai standar.
Walhasil rentan sekali seseorang melakukan berbagai kemaksiatan termasuk kekerasan seksual dengan persepsi seperti ini.
Apalagi bila merasa punya kuasa untuk menyembunyikan aksinya, baik dengan mengintimidasi korban atau dengan cara licik lainnya.
Sulitnya Ruang Aman Dan Keadilan Bagi Korban
Bukan hanya masalah pelaku saja, sulitnya ruang aman bagi perempuan atau korban kekerasan seksual menjadikan kesempatan terjadinya perbuatan asusila selalu terbuka lebar.
Baik itu di jalanan, angkutan umum, bahkan ruang belajar atau sudut-sudut kampus bisa menjadi tempat pelampiasan nafsu binatang para pelaku kekerasan seksual.
Terutama bila terjadi khalwat atau kondisi berduaan, misalnya untuk alasan bimbingan skripsi.
Pelaku juga merasa aman dari melakukan aksinya sebab sering kali korban sangat sulit untuk mendapatkan keadilan.
Kondisi traumatis yang terjadi menjadikan para korban banyak yang memilih diam dibandingkan speak up apalagi bila pelaku adalah sosok yang berkuasa dan punya uang.
Hukuman bagi pelaku juga dinilai tidak memberi efek jera. Pada kasus di Universitas Hasanuddin, oknum dosen terduga pelaku kekerasan seksual hanya di copot dari jabatan akademiknya dan di skorsing selama 3 semester.
Hukuman ini dinilai terlalu ringan oleh mahasiswa dan pendamping korban, para mahasiswa melakukan aksi solidaritas menuntut hukuman yang lebih berat ( 1-12-2024 makassar.tribunnews.com)
Solusi Islam Terhadap Kekerasan Seksual
Kekerasan seksual bisa terhapus ketika ada kesadaran bersama dari berbagai pihak untuk serius memberantasnya.
Pemberantasan kekerasan seksual mulai dari pendidikan individu, menumbuhkan kesadaran untuk saling memuliakan manusia, meningkatkan pengetahuan tentang kekerasan seksual, menghindari diri dari hal-hal yang bisa merusak akal seperti alkohol dan konten porno.
Mendekatkan diri kepada Tuhan dan ajaran agama akan membuat seseorang menjadi takut untuk melakukan kejahatan karena keyakinannya terhadap dosa dan balasanNya di akhirat kelak.
Terlebih lagi di dalam ajaran Islam, bukan hanya sekedar pemberian nasehat tetap juga syariat Islam benar-benar menjaga manusia.
Misalnya saja larangan mengonsumsi minuman keras, keharaman melihat aurat lawan jenis termasuk pornografi.
Bukan hanya menjaga akal, Islam juga memberikan batasan interaksi antara laki-laki dan perempuan sehingga tertutup peluang terjadinya kekerasan seksual.
Islam melarang laki-laki dan perempuan berduaan tanpa mahram, bercampur baur hingga saling sentuhan yang melanggar batas syariat.
Islam mewajibkan menundukkan pandangan dan menutup aurat. Hal itu semua bisa menjadi upaya preventif, namun bila tetap terjadi kasus kekerasan seksual Islam memberikan hukuman yang tegas bagi para pelakunya.
Hukum kekerasan seksual masuk kategori ta’zir artinya perinciannya tergantung dari ijtihad seorang Khalifah, ta’zir bisa berupa hukuman penjara, hingga pengasingan.
Namun bila kekerasan seksual sampai pada perbuatan pemerkosaan maka menurut mazhab Syafi’i pelakunya dijatuhi hukuman had zina, yaitu cambuk bila belum menikah dan dirajam bila sudah menikah.
Adapun korban tidak dihukum karena ia dipaksa. Korban pemerkosaan juga mendapatkan mahar mitsil yaitu mahar yang nominalnya ditentukan oleh besaran mahar keluarga pihak perempuan.
Maka harapannya penguatan pemahaman agama dan penerapannya dalam kehidupan baik di kampus maupun masyarakat akan menjadi jalan kekerasan seksual dapat dituntaskan.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.