Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Mubha Kahar Muang

Kembalikan UUD 1945

22 tahun setelah berlakunya UU 2002 waktu lebih dari cukup untuk menilai mana dari landasan tersebut yang lebih baik dan tepat untuk negeri kita

Editor: AS Kambie
zoom-inlihat foto Kembalikan UUD 1945
dok.tribun
Mubha Kahar Muang, Anggota FKP DPR RI 1987-1992-1997-1998

Oleh: Mubha Kahar Muang
Anggota FKP DPR RI 1987-1992-1997-1998

TRIBUN-TIMUR.COM - Setiap negara yang merdeka atau memperoleh kemerdekaan selalu ditandai dengan adanya  konstitusi.

Konstitusi adalah ketentuan pokok mengenai ketatanegaraan suatu negara. Dengan demikian konstitusi merupakan Undang-Undang Dasar suatu negara yang mengatur susunan organisasi pemerintahan, menetapkan badan negara, dan cara kerja badan tersebut, menetapkan hubungan antara pemerintah dan warga negara serta mengawasi pelaksanaan pemerintahan.

Undang-Undang Dasar 1945 yang disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945, merupakan hukum dasar tertulis yang menetapkan Pancasila sebagai ideologi bangsa dan menjadi dasar hukum bagi negara Indonesia.

UUD1945 tersebut telah di amandemen sebanyak empat kali yaitu I, 19 Oktober 1999, II 18 Agustus 2000, III 10 November 2001 dan IV 10 Agustus 2002.

Dengan demikian  bangsa Indonesia saat ini sudah melaksanakan dua landasan pengelolaan negara yaitu berdasar UUD 1945 dan UUD 1945 yang telah diamandemen, atau UU 2002.

Dua puluh dua tahun setelah berlakunya UU 2002 adalah waktu yang lebih dari cukup untuk dapat menilai mana dari landasan tersebut yang lebih baik dan tepat untuk negeri ini dan sesuai dengan cita-cita pendiri bangsa ini.

Yang paling menonjol dari perubahan landasan tersebut adalah Sistim Pemilihan Presiden dan Penentuan Arah Pembangunan serta Rencana Pembangunan.

Pemilihan presiden sebelum perubahan UUD 1945 adalah melalui MPR RI, sedang yang digunakan setelah UUD 1945 di amandemen
adalah melalui Pemilihan Langsung.

Model pemilihan presiden setelah perubahan UUD 1945, diikuti pula dengan pemilihan kepala daerah.

Karena pemilihan tersebut menggunakan presidential threshold membuat peran partai menguat tetapi bukan dalam menciptakan kader- kader pemimpin.

Fakta yang terjadi setelah perubahan tersebut, menggiring partai lebih fokus kepada bagaimana mengusung calon pemimpin pusat dan daerah.
Apakah itu berasal dari kader partai pengusung, kader partai lain atau bukan kader partai.

Karena calon pemimpin baik pusat maupun daerah harus diusung oleh partai yang memiliki sejumlah tertentu kursi di dewan sehingga  ketercukupan suara partai sesuai aturan per undang- undangan yang berlaku yang menjadi titik berat dalam menyiapkan calon pemimpin. 

Partai yang berperan dalam penentuan calon pemimpin.

Karena dalam proses pemilihan pemimpin perlu ketercukupan suara partai, pihak pemilik modal juga terdorong memanfaatkan kesempatan berinvestasi dengan ikut membiayai transaksi ganti rugi biaya partai atau lazim disebut mahar partai bahkan termasuk biaya pemenangan calon.

Dampaknya, dalam mengusung calon baik pusat, daerah  maupun legislatif, ukuran utama bukan lagi kompetensi sang calon tetapi ketersediaan sumber daya. 
Karenanya, dukungan pihak luar yaitu pemodal sulit dihindarkan.

Ikutnya pemilik modal membiayai transaksi mahar partai ataupun biaya pemenangan calon sudah merupakan  indikasi KKN karena dapat mendorong munculnya KKN, dan oligarki.

Disisi lain sebagian masyarakat kita belum memiliki  pemahaman yang merata keterkaitan antara masa depan negeri dengan pemimpin yang dipilih baik pusat maupun daerah begitu juga dengan anggota legislatif disemua jenjang, sehingga  dalam menentukan pilihan dalam praktik bisa tergantung mana yang lebih memberi keuntungan walau sesaat.

Karena itu pemilihan langsung sudah lazim diikuti ajang beli suara. Akibatnya biaya pemilihan semakin membebani calon baik untuk pemilihan pemimpin pusat, lokal dan legislatif di semua jenjang.

Praktik tersebut diduga salah satu penyebab beberapa tokoh kita di eksekutif dan legislatif yang melakukan praktik korupsi untuk mengganti biaya yang telah dikeluarkan atau akan dikeluarkan  untuk ikut pemilihan atau mempersiapkan biaya untuk pemilihan berikutnya.

Dampak tersebut sangat bertentangan dengan semangat menciptakan pengelola negara yang bersih dan bebas KKN sesuai amanat Tap MPR RI No XI/MPR/1998.

Faktor mendasar lainnya akibat dari perubahan UUD 1945, adalah Penentuan Arah Pembangunan atau disebut Garis Besar Haluan Negara yang  diterjemahkan dalam Rencana Pembangunan Jangka Menengah yang kemudian menjadi acuan penyusunan Anggaran Pendapatan dan Belanja Tahunan,  bukan lagi merupakan aspirasi masyarakat yang dibahas dan disusun oleh wakil rakyat yang diwakili oleh Anggota MPR RI, yang terdiri dari Anggota DPR RI, Utusan Daerah dan Utusan Golongan, sehingga kontribusi masyarakat ditiadakan dalam ikut serta menentukan arah pembangunan bangsa dan rencana pembangunan yang dilaksanakan oleh pemerintah.

Bagaimana visi negara bisa terwujud jika misi negara pembahasannya bukan lagi oleh rakyat melalui wakilnya di MPR RI  berdasar musyawarah mufakat sesuai amanat butir keempat Pancasila.?

Setelah UUD 1945 diamandemen, presiden dipilih langsung oleh rakyat sehingga MPR RI tidak lagi berwenang meminta atau menolak pertanggungjawaban presiden.

Kalaupun MPR RI bermaksud melakukan pemberhentian presiden, prosesnya panjang. DPR RI memutuskan, lalu mengajukan permintaan ke MK,   keputusan MK kembali lagi ke DPR RI, jika MK menyetujui, DPR RI bersidang untuk penyampaian usul ke MPR RI. Prosesnya selain memakan waktu lama praktiknya belum tentu bisa terlaksana.

Tujuan kemerdekaan Indonesia menurut UUD 1945 adalah negara yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur.
Namun, setelah hampir seperempat abad perubahan UUD 1945, Adil dan Makmur bagi seluruh rakyat Indonesia bukan semakin dekat tetapi semakin seperti menggantung dilangit yang sulit digapai.

Begitu pula dengan Tujuan dibentuknya Pemerintahan Negara Indonesia yang jelas tertuang di alinea ke 4  UUD 1945, atau misi negara yaitu Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia,  Memajukan kesejahteraan umum, Mencerdaskan kehidupan bangsa, dan Ikut melaksanakan ketertiban dunia yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi dan keadilan sosial.


Memajukan Kesejahteraan Umum dan Mencerdaskan Kehidupan Bangsa juga semakin jauh dari harapan.

Sumber Daya Alam  yang merupakan karunia Yang Maha Kuasa untuk negeri ini, diatur dalam UUD 1945 Pasal 33 ayat 3, Bumi dan air dan kekayaan yang terkandung di dalamnya dikuasai oleh negara dan dipergunakan untuk sebesar- besar kemakmuran rakyat. 

Dalam praktik seolah-olah kekayaan sumber daya alam tersebut milik pemerintah bukan milik negara sehingga pemerintah berkuasa penuh dalam pengaturan dan pengelolaannya. Akibatnya, tujuan untuk sebesar - besarnya kemakmuran rakyat,  terabaikan bahkan jauh menyimpang.

Karena itu solusi terbaik bangsa ini adalah kembali menggunakan UUD 1945 sebagai landasan pengelolaan negara yang sudah dipersiapkan dengan seksama oleh pendiri negeri ini. 

Kemudian dibahas secara konprehensip perbaikan yang  yang dianggap perlu dan mendasar.

Pilihan kembali ke UUD 1945 adalah langkah yang mendesak dimana yang memilih presiden dan wakil presiden serta yang menetapkan konstitusi adalah MPR RI sebagai Lembaga Tertinggi Negara.

Begitu pula  penyusunan Arah dan Perencanaan Pembangunan Jangka Panjang dan Menengah, yang menjadi keputusan Ketetapan MPR RI  yang menjadi pedoman, acuan  pengelolaan bangsa dan negara bagi siapapun yang terpilih menjadi pemimpin, dan menjadi acuan bagi anggota dewan dalam mengawasi pengelolaan negara.

Bentuk pemilihan pemimpin dan penyusunan Arah dan perencanaan pengelolaan bangsa dan negara seperti diatas sesungguhnya sudah dirancang  merupakan perwujudan Kerakyatan Yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan Dalam Permusyawaratan Perwakilan. 

Sekarang saatnya mengembalikan Konstitusi kita, UUD RI 1945.

 (2024)

Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved