Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Teropong

Pemilu

Kita masih ingat mars lagu pemilu tahun 1971 yang diciptakan oleh Mochtar Embut. Liriknya “Pemilihan umum telah memanggil kita. 

Editor: Sudirman
Ist
Abdul Gafar  

Tidak ada istilah kalah. Harus menang dengan cara apapun dilakukan. Pemilu selalu menghasikan perasaan pilu yang mendalam bagi pihak yang kalah.

Segala dana, daya, dan upaya telah dilakukan. Untuk posisi bupati, walikota, hingga gubernur harus dimodali milyaran rupiah.

Tidak hanya puluhan, tetapi ratusan milyar harus siap digelontorkan. 

Makanya jika berakhir dengan kekalahan, betapa menyakitkan. Itulah dunia perpolitikan yang ada di negeri kita.

Ada manusia yang berjiwa ‘petarung’ dalam kancah politik. Tidak akan surut berjuang demi mencapai ‘prestise’ sebagai pemimpin. Sebaliknya masih banyak masyarakat pemilih memanfaatkan manusia seperti ini. Hitung-hitung hari ini dapat ‘berapa’. 

Mereka ‘kurang cerdas’ jika dibagi dengan tahun, bulan, apalagi hari ternyata sangat-sangat kecil. “Ah, pusing amat, yang penting dapat duit”, dijawab dengan entengnya.

Inilah pembelajaran politik yang gagal mendidik anak bangsa. Apakah kampus tidak menyampaikan kebenaran berpolitik terhadap anak didiknya? 

Ataukah para politisi membiarkan masyarakat dalam kekurangan informasi yang benar?

Baru-baru ini pemilu bupati, walikota, dan gubernur telah usai. Akan tetapi dalam proses tersebut terjadi masalah yang merusak azas luber dan jurdil dalam pelaksanaannya. 

Selain tingkat partisipasi pemilih tidak memadai, juga diikuti oleh tingkah calon bersama pendukungnya kurang elok.

Ditambah lagi petugas pemilu yang mencederai azas pemilu. 

Rupanya para petugas itu ikut ‘bermain’ cantik memenangkan calon yang didukungnya.

Pemilu yang buruk menghasilkan pemimpin yang buruk pula. Pemimpin terlahir dari proses yang tidak wajar karena kolaborasi jahat. 

Seharusnya jika ternyata ditemukan adanya pelanggaran, maka calon tersebut, hasilnya dibatalkan saja. Para penyelenggara yang curang diberi sanksi  pidana penjara.

Calon ‘dipaksakan’ untuk jabatan tertentu. Tidak mengherankan jika mantan presiden hingga presiden yang kini berkuasa turut masuk ke gelanggang mendukung seseorang.

Salahkah tindakan mereka itu? Biarlah rakyat mencari jawabannya sendiri. 

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
  • Ikuti kami di
    AA

    Berita Terkini

    Berita Populer

    © 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
    All Right Reserved