Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Pilkada Core : Kontestasi, Agensi, dan Basa-Basi

Meski begitu, Pilkada tetap memiliki dimensi positif sebagai ruang ekspresi politik masyarakat.

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Pilkada Core : Kontestasi, Agensi, dan Basa-Basi
IST
Ibnu Azka, Akademisi, Penulis, dan Dai

Oleh: Ibnu Azka

Akademisi, Penulis, dan Dai

TRIBUN-TIMUR.COM - PEMILIHAN Kepala Daerah (Pilkada) adalah bagian tak terpisahkan dari proses demokrasi di Indonesia.

Proses ini dirancang untuk memastikan keterlibatan masyarakat dalam memilih pemimpin di daerahnya masing-masing.

Namun, Pilkada belakangan mulai disadari bukan sekadar proses memilih, justru menjadi ajang kontestasi kekuasaan, ekspresi agensi politik masyarakat, dan sayangnya, kadang hanya menjadi panggung basa-basi yang jauh dari substansi.

Pilkada: Ruang Kontestasi

Pilkada adalah arena kontestasi. Para calon kepala daerah berlomba-lomba untuk menarik simpati masyarakat dengan menawarkan program kerja, janji kampanye, dan visi pembangunan.

Dalam konteks ini, Pilkada memperlihatkan bagaimana demokrasi bekerja sebagai sistem kompetitif yang membuka ruang bagi siapa saja untuk ikut serta, baik individu dari partai besar maupun independen.

Namun, kontestasi ini sering kali tidak murni berbasis gagasan atau visi yang membangun.

Banyak Pilkada diwarnai oleh politik uang (baca : policik), kampanye hitam, hingga eksploitasi isu-isu sensitif seperti agama dan etnisitas.

Fenomena ini menunjukkan bahwa kontestasi dalam Pilkada tidak selalu sehat dan cenderung mengarah pada polarisasi masyarakat.

Dalam situasi seperti ini, Pilkada tidak hanya menjadi medan perebutan kekuasaan, tetapi juga arena konflik yang bisa meninggalkan luka sosial di masyarakat.

Selain itu, kontestasi dalam Pilkada juga dipengaruhi oleh aktor-aktor besar di balik layar, seperti partai politik dan elite ekonomi.

Alih-alih menjadi proses demokrasi yang terbuka, Pilkada kerap menjadi ajang bagi kepentingan elite untuk memperkuat cengkeraman mereka terhadap kekuasaan di setiap daerah.

Hal ini menimbulkan pertanyaan : sejauh mana kontestasi Pilkada benar-benar mewakili aspirasi rakyat, bukan sekadar menjadi alat bagi elite untuk melanggengkan pengaruhnya?

Agensi : Ruang Ekspresi Politik Masyarakat

Meski begitu, Pilkada tetap memiliki dimensi positif sebagai ruang ekspresi politik masyarakat.

Pilkada memberi masyarakat kesempatan untuk menegaskan agensi politik mereka, yaitu kemampuan untuk membuat pilihan dan menentukan arah kebijakan di tingkat daerah.

Melalui Pilkada, masyarakat dapat mengajukan tuntutan kepada calon kepala daerah mengenai isu-isu yang mereka anggap penting, seperti pembangunan infrastruktur, pendidikan, dan kesejahteraan sosial.

Namun, agensi ini sering kali terganggu oleh kurangnya informasi yang memadai tentang para calon dan program mereka.

Banyak masyarakat yang akhirnya memilih berdasarkan popularitas atau hubungan emosional dengan calon, bukan karena pertimbangan rasional terhadap visi dan program kerja yang ditawarkan.

Hal ini diperburuk oleh maraknya politik uang yang merusak integritas proses demokrasi.

Ketika masyarakat memilih bukan karena pertimbangan program kerja, agensi politik mereka menjadi semu.

Selain itu, Pilkada juga menjadi cerminan kesenjangan politik di Indonesia. Banyak daerah terpencil atau tertinggal yang masih sulit mendapatkan akses informasi terkait Pilkada.

Dalam konteks ini, agensi politik masyarakat menjadi terbatas, karena mereka tidak memiliki alat atau sumber daya untuk membuat keputusan yang benar-benar berdasarkan pemahaman.

Basa-Basi : Kampanye yang Kehilangan Substansi 

Salah satu kritik terbesar terhadap Pilkada adalah kecenderungan kampanye yang hanya berupa basa-basi.

Banyak calon kepala daerah yang sekadar melontarkan janji-janji manis tanpa rencana konkret untuk merealisasikannya.

Retorika politik yang bombastis kerap mengaburkan substansi, sehingga masyarakat sulit menilai mana kandidat yang benar-benar kompeten dan mana yang hanya pandai berbicara.

Basa-basi ini juga terlihat dalam cara para calon kepala daerah mendekati masyarakat.

Dalam banyak kasus, pendekatan mereka cenderung transaksional, di mana suara masyarakat dipandang sebagai sesuatu yang bisa "dibeli" (baca : dicuri) dengan bantuan sesaat atau janji-janji kosong.

Pola seperti ini tidak hanya mencederai nilai demokrasi, tetapi juga menghambat munculnya kandidat-kandidat berkualitas ke depannya.

Lebih dari itu, basa-basi juga tampak dalam hubungan antara Pilkada dan partai politik.

Banyak partai yang mencalonkan kandidat bukan berdasarkan kompetensi atau integritas, tetapi berdasarkan kemampuan finansial atau kedekatan personal.

Akibatnya, Pilkada kehilangan makna sebagai proses seleksi pemimpin terbaik dan justru menjadi alat transaksi politik.

Menuju Pilkada yang Lebih Berkualitas

Untuk mengatasi berbagai tantangan ini, perlu ada upaya bersama dari berbagai pihak untuk meningkatkan kualitas Pilkada.

Masyarakat perlu dididik tentang pentingnya memilih berdasarkan visi dan program kerja, bukan karena uang atau hubungan emosional semata.

Selain itu, partai politik juga harus lebih bertanggung jawab untuk menjadi corong dalam mencalonkan pemimpin, tidak hanya popularitasnya, melainkan mengedepankan etikabilitas dan intelektualitas kandidat.

Penyelenggara Pilkada, seperti KPU dan Bawaslu, juga memiliki peran penting untuk memastikan proses yang jujur, adil, dan transparan.

Pengawasan terhadap politik uang, kampanye hitam, dan pelanggaran lainnya harus diperketat.

Media juga harus berperan aktif dalam menyediakan informasi yang objektif, begitu juga ASN, TNI, dan Polri yang harus
menjaga netralitas.

Pilkada adalah jantung dari demokrasi yang memberikan ruang bagi masyarakat untuk berpartisipasi secara langsung dalam menentukan masa depan wilayah mereka.

Namun, kontestasi, agensi, dan basa-basi dalam Pilkada menunjukkan bahwa masih banyak pekerjaan yang harus dilakukan untuk menjadikan Pilkada sebagai mekanisme demokrasi yang ideal.

“Demokrasi adalah suara rakyat, bukan harga suara. Mari berkontestasi dengan riang gembira, hindari money policik”(*)

Sumber: Tribun Timur
Berita Terkait
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved