Opini
Gaduh Nasib Perempuan Jelang Masa Tenang
Pemilik suara mayoritas sebagai penentu kemenangan di Pilkada tidak mendapat tempat dalam perbincangan politik selama kurang lebih 3 bulan kampanye
Kebijakan yang responsif terhadap kebutuhan mereka masih sangat minim.
Program-program yang diajukan oleh para kandidat lebih banyak berfokus pada pembangunan infrastruktur atau ekonomi yang lebih umum, tanpa memberikan perhatian khusus terhadap pemberdayaan perempuan.
Padahal, untuk mengatasi kesenjangan gender, dibutuhkan kebijakan yang berbasis pada analisis gender dan mengakomodasi kebutuhan perempuan di segala bidang.
Kuasa Paternalisme di Pilkada
Kemajuan demokrasi pada Pilkada serentak 2024 ini adalah, meningkatnya figur-figur perempuan yang bertarung di gelanggang politik.
Terlepas dari latar belakang kandidat calon kepala daerah yang bertarung tersebut mayoritas merupakan kalangan yang tidak jauh dari garis oligarki yang sedang mengakar dan tumbuh subur di Indonesia.
Meskipun banyak di antara mereka yang tampil dengan citra sebagai pemimpin perempuan, peran dan kebijakan yang mereka bawa sering kali tidak mencerminkan perubahan substansial untuk memperjuangkan kepentingan perempuan secara luas.
Hal ini bisa dipahami, mengingat cakada-cakada perempuan ini tidak lahir dari rahim organisasi atau setidaknya pernah terlibat dalam advokasi dan perjuangan perempuan.
Fenomena ini menunjukkan bahwa meskipun perempuan semakin banyak menempati posisi politik tinggi, mereka seringkali terjebak dalam struktur kekuasaan yang didominasi oleh jaringan politik keluarga dan kepentingan oligarki.
Dalam banyak kasus, figur-figur perempuan ini lebih dipandang sebagai perpanjangan dari kekuatan politik yang sudah ada, daripada sebagai agen perubahan yang memperjuangkan hak-hak perempuan.
Mereka mungkin berbicara tentang pemberdayaan perempuan atau kesetaraan gender, namun kebijakan yang mereka usung kerap kali tidak mengatasi akar masalah ketimpangan sosial dan ekonomi yang dihadapi perempuan, seperti kesenjangan upah, kekerasan berbasis gender, atau kurangnya akses perempuan terhadap pelayanan kesehatan dan pendidikan yang berkualitas.
Banyak diantara calon perempuan ini datang dari keluarga penguasa atau tokoh politik yang sudah mapan, yang sering kali lebih fokus pada mempertahankan status quo dan menjaga kekuasaan politik keluarga atau kelompok oligarkinya.
Alih-alih mewakili suara perempuan yang paling terpinggirkan, mereka justru melanggengkan struktur sosial dan politik yang menguntungkan kelompok tertentu, tanpa memberikan perhatian serius terhadap isu-isu yang dihadapi perempuan di tingkat akar rumput.
Keikutsertaan perempuan dalam Pilkada yang berasal dari keluarga elit politik terkait erat dengan kuasa paternalistik dalam politik.
Kuasa Paternalistik dalam Politik merujuk pada sistem di mana kepala keluarga (biasanya pria dalam konteks patriarki) memegang kekuasaan utama dan membuat keputusan besar yang menentukan arah politik, ekonomi, dan sosial, sementara perempuan biasanya berada dalam posisi yang lebih subordinat.
Merdeka Tanpa Akal: Republik Simbolik dan Pesta Kosong |
![]() |
---|
Melawan Politik Uang: Reformasi Kampanye dalam Revisi Regulasi Kepemiluan |
![]() |
---|
SULSEL KITA, Bertumbuh atau Tertinggal??! |
![]() |
---|
Apakah Suku Toraja Memiliki Kekerabatan Genetik dengan Orang Vietnam? Kajian Antropologi Ragawi |
![]() |
---|
Jauhkan Nalar Kalkulator dari Pilkada |
![]() |
---|
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.