Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Pilkada 2024

Pengamat: Kotak Kosong Bukan Sekadar Opsi, Tapi Gerakan Kesadaran Politik

Fenomena calon tunggal versus kotak kosong dalam Pilkada 2024 semakin mencolok di sejumlah daerah.

Penulis: Erlan Saputra | Editor: Hasriyani Latif
Tribun Timur
Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad. 

TRIBUN-TIMUR.COM, MAKASSAR - Fenomena calon tunggal versus kotak kosong dalam Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) 2024 semakin mencolok di sejumlah daerah, termasuk Pilkada Maros. 

Pengamat Politik Universitas Islam Negeri Alauddin Makassar, Prof Firdaus Muhammad mengungkapkan alasan di balik situasi yang mencerminkan dinamika politik yang kompleks. 

Dalam konteks Pilkada Maros, pasangan calon Chaidir Syam dan Muetazim Mansyur diusung sebagai calon tunggal melawan kotak kosong. 

Prof Firdaus menilai kemunculan kotak kosong ini bukanlah sekadar kebetulan, melainkan hasil dari pilihan rasional partai politik serta pertimbangan anggaran politik. 

Di mana, partai politik cenderung memilih calon yang dinilai memiliki peluang terbesar untuk menang. 

Dengan memperhatikan popularitas dan tingkat keterkenalan di mata publik. 

Namun demikian, dinamika di balik kemunculan kotak kosong dan implikasinya terhadap demokrasi. 

Baca juga: Beredar Video Suhartina Plt Bupati Maros dan Suaminya Hadiri Pertemuan Kotak Kosong

Olehnya, kehadiran kotak kosong tidak terlepas dari manuver partai politik yang hanya mengusung satu pasangan calon. 

“Hasil Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) 2015 menegaskan bahwa kotak kosong merupakan bagian dari Undang-Undang Pemilu. Ketika hanya ada satu calon, kotak kosong pun menjadi opsi bagi pemilih,” ujarnya kepada Tribun-Timur.com di Makassar, Selasa (15/10/2024). 

Prof Firdaus mengungkap kemungkinan kotak kosong menang dalam pesta demokrasi. 

“Kotak kosong dapat menang jika ada mobilisasi pemilih yang mendukungnya," katanya. 

Bahkan, dalam sejarah Pilwali Makassar 2018 menunjukkan bahwa kotak kosong unggul atas pasangan calon yang ada. 

Hal ini dinilai menunjukkan adanya kepentingan elite politik yang mungkin bermanuver untuk memenangkan kotak kosong.

Sehingga, pendaftaran dan pemilih kepala daerah kembali diulang oleh Komisi Pemilihan Umum (KPU). 

Prof Firdaus menekankan bahwa kemenangan kotak kosong bisa menjadi ekspresi ketidakpuasan masyarakat terhadap calon tunggal yang diusung oleh partai politik. 

“Ini bisa dianggap sebagai perlawanan masyarakat yang tidak setuju dengan pilihan yang diberikan, serta indikasi bahwa masyarakat menginginkan lebih dari sekadar satu calon,” tambahnya . 

Namun, ia juga mengingatkan bahwa situasi ini dapat memperburuk kondisi demokrasi. 

“Jika kotak kosong menang, itu berarti tidak ada pemenang. Kita sedang mengalami stagnasi dalam berdemokrasi, di mana kontestasi terjadi tanpa hasil yang jelas," kata Prof Firdaus. 

"Kemenangan kotak kosong bukanlah kemenangan yang berarti, tetapi lebih kepada pengulangan proses pemilihan yang tidak produktif,” paparnya. 

Prof Firdaus menegaskan bahwa meskipun kotak kosong bisa menjadi pilihan, hal ini menunjukkan adanya masalah yang lebih dalam dalam sistem politik. 

“Kemenangan kotak kosong di Pilkada serentak akan menjadi sinyal buruk bagi demokrasi. Ini menunjukkan bahwa partai politik harus lebih responsif terhadap aspirasi rakyat dan tidak hanya mengandalkan satu pasangan calon,” pungkasnya. 

Dengan meningkatnya kesadaran politik di kalangan masyarakat, fenomena kotak kosong diharapkan menjadi pengingat bagi partai politik untuk lebih memperhatikan kualitas calon yang diusung. 

Ini juga dapat memicu diskusi lebih lanjut mengenai pentingnya keterlibatan masyarakat dalam proses politik demi terciptanya sistem demokrasi yang lebih baik.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved