Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Korupsi UMI

Ironi Sufirman Rahman Profesor Hukum Tersangka Korupsi, Kasus Diselesaikan Pakai Restorative Justice

LBH Makassar menyoroti Polda Sulsel yang menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restorative) dalam mencabut status tersangka Sufirman

Editor: Edi Sumardi
DOK TRIBUN TIMUR
Rektor UMI nonaktif, Prof Sufirman Rahman 

MAKASSAR, TRIBUN-TIMUR.COM - Lembaga Bantuan Hukum Makassar (LBH Makassar) menyoroti Polda Sulsel yang menggunakan pendekatan restorative justice (keadilan restorative) dalam mencabut status tersangka terhadap Prof Sufirman Rahman terkait kasus dugaan korupsi atau penggelapan di Universitas Muslim Indonesia (UMI) Makassar.

Sufirman merupakan Rektor UMI nonaktif.

Dalam menggunakan pendekatan restorative justice, Sufirman sekaligus Guru Besar Fakultas Hukum UMI, mengembalikan uang kerugian kepada Yayasan Wakaf UMI.

Belum diketahui nilai uang dikembalikan suami Komisaris Polisi Cut Juwita itu.

Namun, dalam kasus dugaan korupsi yang melibatkan Sufirman serta mantan Rektor UMI Prof Basri Modding, nilai kerugian yayasan mencapai Rp 4,3 miliar.

Dugaan korupsi terjadi pada proyek Taman Firdaus (taman air mancur depan kampus UMI), proyek gedung international school LPP YW-UMI, pengadaan 150 access point, dan pengadaan videotron kampus Pascasarjana UMI.

Rektor UMI Prof Sufirman Rahman - Eks Rektor Prof Basri Modding Tersangka Korupsi, Kerugian Rp4,3 M

Proyek pengadaan videotron dilakukan saat Sufirman menjabat Direktur Program Pascasarjana UMI.

Seharusnya, restorative justice tak bisa digunakan dalam kasus korupsi.

Berdasarkan Pasal 364, Pasal 373, Pasal 379, Pasal 384, Pasal 407, dan Pasal 482 KUHP restorative justice bisa diterapkan dalam kasus tindak pidana ringan dengan hukuman pidana penjara paling lama 3 bulan dan denda Rp 2,5 juta.

Kasus tindak pidana ringan dimaksud, yakni perkara anak, perkara perempuan yang berhadapan dengan hukum, kasus narkotika, dan tersangka baru pertama kali melakukan tindak pidana yang ancaman pidananya tidak lebih dari 5 tahun penjara  

Restorative justice tidak bisa diterapkan pada kasus-kasus berat, seperti terorisme, tindak pidana yang mengancam keamanan negara, korupsi, kejahatan terhadap nyawa orang, tindak pidana lingkungan hidup, dan tindak pidana yang dilakukan oleh korporasi.

Baca juga: Prof Sufirman Minta Statusnya sebagai Rektor UMI Diaktifkan

Berdasarkan Peraturan Jaksa Agung Nomor 15 Tahun 2020, syarat dalam melakukan restorative justice, yaitu:

1.Tindak pidana yang baru pertama kali dilakukan,

2.Kerugian di bawah Rp 2,5 juta,

3.Adanya kesepakatan antara pelaku dan korban,

Sumber: Tribun Timur
Halaman 1 dari 2
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved