Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Command Room Berbasis Epidemiologi Spasial: Upaya Wujudkan Presisi Kebijakan Kesehatan di Sulsel

Dua hal utama yang menjadi masalah dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat adalah proporsi anggaran kesehatan yang hanya 5,6 persen

Editor: Sudirman
zoom-inlihat foto Command Room Berbasis Epidemiologi Spasial: Upaya Wujudkan Presisi Kebijakan Kesehatan di Sulsel
Ist
Andi Alfian Zainuddin, Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda ICMI Sulawesi Selatan

Oleh: Andi Alfian Zainuddin

Ketua Majelis Pengurus Wilayah Pemuda ICMI Sulawesi Selatan

TRIBUN-TIMUR.COM - Derajat kesehatan masyarakat merupakan indikator penting dalam pembangunan.

Walaupun demikian, prioritas untuk pembangunan kesehatan masih dapat dikatakan minim.

Dua hal utama yang menjadi masalah dalam upaya peningkatan derajat kesehatan masyarakat adalah proporsi anggaran kesehatan yang hanya 5,6 persen dari APBN (WHO merekomendasikan 15 persen dari APBN) dan prioritas program kesehatan yang hanya mengedepankan upaya kesehatan kuratif.

Ini terlihat dengan dibangunnya rumah sakit - rumah sakit besar yang hanya berpusat di ibukota provinsi sehingga minimnya pemerataan akses masyarakat sampai pada pelosok di Kabupaten/ Kota.

Hal ini juga terlihat di Provinsi Sulawesi Selatan, di mana anggaran kesehatan yang minim di hampir semua level pemerintahan serta tidak meratanya akses pelayanan kesehatan karena fasilitas pelayanan kesehatan “mumpuni” hanya berpusat di ibukota provinsi tentunya diikuti tidak meratanya persebaran sumber daya manusia yang dibutuhkan sesuai masalah kesehatan di wilayahnya masing-masing.

Data BPS tahun 2021 menunjukkan di Kota Makassar memiliki total 54 rumah sakit, sangat kontras dibandingkan dengan jumlah rumah sakit di kabupaten dan kota lainnya di Provinsi Sulawesi Selatan yang hanya di kisaran 1-9 rumah sakit.

Begitu pula dengan persebaran dokter maupun dokter spesialis yang tidak merata. Oleh karena itu, anggaran kesehatan yang minim harus mampu dimanfaatkan untuk mendapatkan hasil yang merata bagi seluruh penduduk.

Ketimpangan antarwilayah tersebut memperlihatkan bahwa belum adanya kebijakan kesehatan yang presisi dan proporsional untuk seluruh wilayah.

Padahal, persebaran penyakit bisa berbeda untuk tiap wilayah.

Publikasi penelitian oleh penulis di Scientific Reports memperlihatkan bahwa persebaran prevalensi penyakit diabetes mellitus dan hipertensi di Sulawesi Selatan memperlihatkan bahwa Kabupaten Luwu Timur merupakan kabupaten dengan prevalensi tertinggi kedua penyakit tersebut.

Hal yang unik justru bukan di Kota Makassar yang memiliki jumlah penduduk terbesar di Sulawesi Selatan.

Kita mengetahui bahwa diabetes mellitus dan hipertensi merupakan faktor utama kejadian penyakit stroke dan penyakit jantung yang merupakan penyakit utama yang meningkatkan angka kematian dan angka kecacatan.

Untuk mewujudkan kebijakan yang presisi maka diperlukan dukungan data yang adekuat.

Hal ini dilakukan dengan mengidentifikasi persebaran kasus maupun faktor risiko berbasis wilayah melalui pemetaan berbasis analisis Geographic Information System  (GIS).  

Analisis GIS merupakan bagian dari epidemiologi spasial yang didefinisikan sebagai deskripsi dan analisis data kesehatan melalui indeks geografis sehubungan dengan demografi, lingkungan, perilaku, sosial ekonomi, genetik dan faktor risiko penyakit.

Akan tetapi, terdapat keterbatasan dalam penggunaan teknik GIS dalam epidemiologi dan investigasi wabah.

Pemetaan penyakit cenderung hanya mengetahui “di mana” tapi belum tentu mengetahui “mengapa ada” satu wabah penyakit.

Walaupun demikian, teknis GIS memberikan hipotesis baru sehingga dapat dilakukan analisis eksplorasi lebih lanjut terhadap satu penyakit. 

GIS memiliki dua kegiatan utama, yaitu memvisualisasikan informasi spasial dan menganalisis informasi spasial dan memungkinkan berbagai analisis spasial yang mencakup berbagai kemungkinan pemodelan (sumber daya alam, pembangunan, arus transportasi dan persebaran) serta visualisasi berupa pemetaan.

Terdapat tiga tahap dalam analisis spasial epidemiologi yaitu : 

1)    Analisis dasar yang melibatkan inspeksi visual sederhana dari fenomena geografis

2)    Analisis kluster untuk mengidentifikasi kemungkinan pola persebaran secara spasial (baik mengelompok, tersebar atau acak)

3)    Analisis kontekstual yang bertujuan menjelaskan hubungan antara fenomena geografis atau variasi sementara. 

Data tersebut bisa didapatkan melalui sinkronisasi data dengan pusat data BPJS Kesehatan.

Jumlah kepesertaan program Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) di Sulawesi Selatan sudah lebih dari 95 persen.

Selain itu, jumlah fasilitas kesehatan yang bekerjasama dengan BPJS Kesehatan sebanyak 942 Fasilitas Kesehatan Tingkat Pertama (FKTP) dan 131 Fasilitas Kesehatan Tingkat Lanjut (FKTL).

Data yang didapatkan merupakan data riil penggunaan fasilitas kesehatan baik rawat jalan maupun rawat inap yang secara nasional mencapai jutaan transaksi setiap harinya.

Oleh karena itu, sinkronisasi tersebut memungkinkan adanya data persebaran riil penyakit di seluruh titik fasilitas pelayanan kesehatan di kabupaten/kota Sulawesi Selatan dari setiap pasien yang berkunjung pada FKTP maupun FKTL setiap harinya.

Dengan adanya pemetaan persebaran penyakit melalui analisis GIS tersebut, maka akan didapatkan data penyakit yang jelas sehingga dapat diketahui keadaan kesehatan riil di seluruh Kabupaten/ Kota di Sulawesi Selatan.

Pemetaan persebaran penyakit memungkinkan untuk dibuatkan dalam suatu presentasi data kesehatan dari hari ke hari, bulan ke bulan dan tahun ke tahun di suatu ruangan komando atau command room.

Hal ini memungkinkan bagi para pengambil kebijakan untuk membuat suatu perencanaan sistem kesehatan yang presisi untuk setiap kabupaten/ kota yaitu pemetaan kebutuhan fasilitas kesehatan, kebutuhan sumber daya manusia kesehatan, kebutuhan logistik dan perbekalan kesehatan.

Kebutuhan konten promosi kesehatan, kebutuhan pengetahuan dan keterampilan bagi tenaga kesehatan, serta realisasi anggaran kesehatan yang tepat sasaran yang dijalankan secara efisien dan efektif. 

Bahkan dari data pemetaan tersebut, juga memberikan masukan bagi lintas sectoral dalam perencanaan program di seluruh Kabupaten/ Kota.

Dengan demikian tidak ada lagi kebijakan yang selalu “seragam” untuk semua akan tetapi bukan merupakan kebutuhan.

 

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved