Opini Aswar Hasan
Disinformasi dan Hoaks Mengancam Pilkada
Keduanya dapat menyebar dengan sangat cepat dan luas, berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
Disinformasi dan hoax merupakan masalah serius di era digital saat ini.
Keduanya dapat menyebar dengan sangat cepat dan luas, berpotensi menimbulkan dampak negatif yang signifikan.
Disinformasi, adalah Informasi yang sengaja dibuat salah atau menyesatkan untuk mencapai tujuan tertentu, seperti memanipulasi opini publik atau merusak reputasi seseorang atau organisasi.
Sementara hoax adalah Berita bohong yang dibuat-buat dan disebarluaskan dengan sengaja, seringkali dengan tujuan untuk menipu atau mengecoh orang, atau dengan tujuan politik tertentu.
Seperti pada pengalaman dan pelajaran pada Pilpres yang lalu. Betapa banyak yang korban salah pilih akibat termakan oleh disinformasi dan hoaks.
Disinformasi dan hoax berbahaya, karena mencemari ruang publik.
Menyebabkan kebingungan, perpecahan, dan ketidakpercayaan di masyarakat. Mempengaruhi keputusan politik, ekonomi, dan sosial sehingga dapat merusak reputasi individu, organisasi, atau bahkan negara, sehingga mengancam keamanan seperti memicu konflik atau kekerasan.
Contoh konflik dan kekerasan yang terjadi akibat disinformasi dan hoaks adalah apa yang terjadi (kerusuhan) di Inggris belum lama ini, sehingga Inggris sebagai negara maju (berperadaban) harus menanggung malu di mata dunia.
Kerusuhan bermula dari peristiwa penikaman di Southport yang menyebabkan tewasnya seseorang kulit putih.
Disinformasi dan hosks pun beredar di media sosial dengan cepat bahwa pembunuhnya adalah orang imigran beragama Islam, padahal bukan.
Dipastikan kemudian bahwa informasi itu palsu. Kelompok sayap kanan menyebarkan informasi palsu itu, bahwa pelaku adalah imigran Muslim memperkuat sentimen anti-imigran dan anti-Muslim yang sudah ada.
Maka terjadilah mobilisasi massa. Informasi yang salah itu, dimanfaatkan untuk memobilisasi massa dan melakukan aksi protes.
Kerusuhan meluas. Aksi protes berubah menjadi kerusuhan yang meluas, menyerang masjid dan toko-toko milik warga muslim.
Ada ketidakpercayaan pada media. Banyak orang tidak percaya pada media mainstream dan lebih memilih sumber informasi di media sosial yang tidak terverifikasi.
Kejahatan yang terjadi memicu kemarahan publik yang mudah dimanipulasi dan diprovokasi. Isu identitas seperti ras, agama, dan etnis dimanfaatkan untuk memecah belah masyarakat.
MENGAPA MENARIK ?
Apa sebenarnya yang membuat disinformasi dan hosks itu menarik dan menelan korban tanpa disadari?
Berdasarkan penulusuran penulis, setidaknya ada 5 (lima) faktor yang yang menentukan mengapa mudah menelan korban, yaitu ; Pertama, karena tampilannya memadukan teks dan visual.
Penelitian Mafindo (2022) mengungkap bahwa konten berupa kombinasi antara teks dan gambar terdapat 79,2 persen penyebab disinformasi dan hoaks.
Penelitian tentang psikologi dan media di Inggris pada tahun 2022 bahkan menyimpulkan bahwa lewat teknologi, telah megaburkan batas antara citra visual yang nyata dan palsu.
Hal itu kemudian diperkuat melalui hasil penelitian Michael Hameleers dari Universitas Amsterdam, Belanda yang menegaskan bahwa disinformasi berbentuk visual lebih berpengaruh dibandingkan konten yang berupa teks saja.
Kedua, konten disinformasi dan hoaks dirancang untuk secara khusus menyentuh emosi dengan cara mengesploitasinya dan membangkitkan harapan palsu dan cenderung menakut-nakuti.
Menurut penelitian tentang rumor di Amerika, tipe tersebut mengikat emosi audiens sehingga merasakan hal itu penting, lantas mempercayainya.
Ketiga, disinformasi dan hoaks juga memanipulasi bukti guna mendukung klaimnya agar audiens bisa percaya. Salah satu caranya adalah dengan mencatut pernyataan yang mudah dipercaya. Hasil riset menunjukkan, sekitar 67 persen.
Keempat, memanfaatkan ketidaktahuan. Hal ini menjadi-jadi akibat ketidaktahuan masyarakat tentang data dan fakta terkait informasi yang disampaikannya itu ( Tempo, 18/12-2023).
Kelima, rendahnya literasi tentang disinformasi dan hoaks di masyarakat. Olehnya itu masyarakat perlu diberikan literasi agar memiliki kemampuan untuk membedakan informasi yang benar dan salah.
Untuk itu, masyarakat perlu melindungi diri dari dampak negatifnya sebuah disinformasi dan hoaks, khususnya oleh pihak yang terkait seperti KPU dan BAWASLU.
Perlu meningkatkan kesadaran dan literasi digital khusus bagi masyarakat agar selalu berpikir kritis sebelum percaya dan menyebarkan informasi.
Melindungi Pemilih dari disinformasi yang merupakan ancaman serius bagi demokrasi.
Hal ini penting dan mendesak untuk itu, kita perlu melakukan upaya multi-sektoral yang melibatkan pemerintah, masyarakat sipil, media, dan individu selaku objek disinformasi dan hosks yang selama ini terjadi.
Mendesak untuk meluncurkan kampanye publik yang masif untuk meningkatkan kesadaran masyarakat tentang bahaya disinformasi dan cara mengidentifikasi dan mengatasinnya.
Melatih masyarakat untuk bisa mengevaluasi sumber informasi, memverifikasi fakta, dan berpikir kritis agar tidak mudah terprovokasi.
Di samping itu, peran Pemerintah harus aktif terlihat, misalnya menerbitkan regulasi.
Menetapkan regulasi yang jelas dan tegas terhadap penyebaran disinformasi, terutama menjelang Pemilu.
Aktif menjalin kolaborasi dari berbagai pihak guna membangun kerja sama dengan platform media sosial untuk membatasi penyebaran berita bohong.
Dengan begitu, akan tampak upaya nyata melawan penyebaran disinformasi dan hoaks di Pilkada yang sudah di depan hidung kita semua. Wallahu a’ lam bisawwabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.