Opini
Menakar Arah Politik Hukum Rezim Selanjutnya
Aksi massa yang dilancarkan oleh masyarakat sipil diberbagai kota adalah bentuk kemuakan yang selama ini terpendam dalam benak publik.
Oleh: Muh Imam Hidayat SH
Senior Legal Officer PT Hukum Amanah Indonesia
TRIBUN-TIMUR.COM - “Hukum selalu satu tingkat dibawah politik”.
Dinamika Putusan MK 60/2024 yang merubah arah konstelasi pilkada hari ini serta pembahasan kebut RUU-Pilkada di DPR RI tempo hari lalu telah meledakkan serangkaian kecil butir-butir dari “bom waktu” atas akumulasi kemarahan publik terhadap kebijakan-
kebijakan hukum rezim Jokowi.
Aksi massa yang dilancarkan oleh masyarakat sipil diberbagai kota adalah bentuk kemuakan yang selama ini terpendam dalam benak publik.
Sebelumnya memang ada banyak pula serangkaian gerakan-gerakan pro demokrasi yang telah terjadi sebelumnya.
Tetapi upaya sabotase DPR atas Putusan MK 60/2024 ini benar-benar “telanjang” dan menunjukkan cara main dan bentuk asli dari rezim otoriter.
Keberanian rezim untuk dengan terang menunjukkan watak otoriter nya adalah buah dari konsolidasi kekuatan politik yang besar di istana hari ini.
Terbentuk nya Koalisi Indonesia Maju (KIM) pada momentum pilpres kemarin, ditambah bergabungnya partai-partai besar lain seperti Nasdem, PKB, PPP ke dalam Koalisi tersebut di momentum pilkada Jakarta meniscayakan ketidak berimbangan sistem check and balance di pemerintahan eksekutif dan parlemen.
Semuanya tegak lurus pada satu instruksi, yaitu instruksi dan kepentingan orang yang diklaim sebagai “Raja-Jawa”.
Hemat saya, kejadian kemarin tersebut akan linear kedepan dan akan terjadi kembali pada rezim baru yang akan datang (rezim prabowo gibran).
Sepanjang partai-partai di KIM tetap kokoh di rezim prabowo gibran - dikarenakan rezim otoriter cenderung pasti akan melahirkan produk hukum yang otoriter pula, mengapa demikian?
Hal ini telah jauh dikemukakan serta diuraikan oleh Prof Mahfud MD, ketika ia menulis Disertasi tentang Politik Hukum di Indonesia pada tahun 1993 yang dijadikan sebagai tesis teori.
Masa-masa penghujung orde baru yang semakin otoriter, ia menerangkan bahwa hukum dan politik bukanlah sesuatu yang secara ideal dapat berdiri sendiri tanpa ada hubungan timbal-balik.
Ia mengatakan bahwa ada hubungan yang intens antara hukum dan politik, ada saling pengaruh-mempengaruhi antara keduanya.
Mahfud MD membagi dua karakteristik rezim pemerintahan, yaitu rezim demokratis dan rezim otoriter.
Tujuan dari pembagian tersebut adalah untuk menentukan karakteristik dari produk hukum yang akan lahir dari masing-masing bentuk rezim tersebut.
Mahfud MD mengatakan, rezim otoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif atau cenderung sangat tidak aspiratif dan sarat akan kepetingan yang bersifat elitis.
Berbanding terbalik jika pada rezim demokratis, produk hukum yang dilahirkan akan cenderung demokratis, responsif dan sangat aspiratif.
Hubungan yang saling mempengaruhi antara politik dan hukum ini tentu adalah akibat dari produk Undang-Undang yang memang secara prosedural bahkan substansial, lahir dari perumusan faksi-faksi partai politik di DPR.
Dimana partai politik dapat kita pastikan hari ini, adalah instrumen kepentingan dari berbagai corong kepentingan, termasuk kepentingan para oligarki.
Maka tesis teori Prof Mahfud MD tentu masih relevan hari ini untuk kita gunakan sebagai pisau analisis dalam membaca situasi politik hari ini dan kebijakan politik hukum pada masa yang akan datang.
Saat ini, partai politik tidaklah se-ideal tujuan pembentukannya yang dijadikan sebagai wadah pergumulan ideologi progresif berbasis kepentingan rakyat.
Melainkan telah berubah wajah menjadi wadah untuk memuluskan kepentingan oligarki yang sarat akan transaksi ekonomi-
politik yang dijalankan oleh kekuasaan.
Kondisi hari ini, dapat kita jadikan sebagai instrumen analisis-sosiologis untuk menakar arah politik hukum di masa yang akan datang, sebab jika kita mengamini tesis Prof Mahfud MD tersebut, wajah dari rezim yang akan yang datang, yang ditopang oleh konsolidasi kekuatan partai politik yang begitu besar hanya menyisakan 1 partai parlemen (PDI Perjuangan) yang tidak bergabung pada KIM.
Tentu kita dapat memperkirakan dengan mudah, bahwa produk-produk hukum pada rezim transisi yang akan datang.
Cenderung pula akan melahirkan produk hukum yang sama atau bahkan jauh lebih otoriter dan konservatif, sebab kebut pembahasan RUU Pilkada kemarin adalah “Panggung Pertama” dari pemeran-pemeran yang ada di KIM.
Disisi lain, sangat lemahnya kekuatan oposisi nanti di parlemen nasional, akan menyediakan “Jalan Tol” untuk disahkannya
produk-produk hukum yang culas nan otoriter di masa yang akan datang.
Tentu pada situasi ini, sangat naif jika kita hanya berharap pada perjuangan-perjuangan partai oposisi di parlemen, maka menguatkan simpul, konsolidasi rakyat dan propaganda-propaganda perlawanan akan jauh lebih menghadirkan harapan untuk melakukan counter atas produk hukum dan kebijakan publik yang otoriter.
Bahwa di masa rezim yang akan datang, serangkaian “bom-bom waktu” akan meledak jika rezim menarik detonator dari bom tersebut,
dan jika ia menarik terus detonator bom tersebut.
Maka ledakan-ledakan besar tidak dapat dihindarkan, dan pada akhirnya ia akan membunuh dirinya sendiri, begitulah logika kehancuran dari kekuasaan.
Sejarah telah membuktikan, bahwa keruntuhan dari suatu kekuasaan paling banyak disebabkan karena ialah yang memicu kehancurannya sendiri.
Tulisan ini ditulis sebagai bentuk dukungan pencerahan untuk masyarakat awam, agar masing-masing dari kita bersiap untuk membela diri kita sendiri di masa-masa yang akan datang, Hidup Rakyat!.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.