Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini Aswar Hasan

Isyarat Jokowi Bakal Ditinggalkan

Hubungan antar pihak bisa berubah dengan cepat, dan apa yang dianggap benar hari ini bisa dianggap salah di hari  besok.

|
Editor: Sudirman
aswar hasan
Aswar Hasan Dosen Fisipol Unhas 

Oleh: Aswar Hasan

Dosen Fisipol Unhas

TRIBUN-TIMUR.COM - Dalam dunia politik, tidak ada yang permanen kecuali perubahan itu sendiri. 

Hubungan antar pihak bisa berubah dengan cepat, dan apa yang dianggap benar hari ini bisa dianggap salah di hari  besok.

Tidak ada musuh abadi. Dalam politik, tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi. Politik adalah soal kepentingan.

Kepentingan politik adalah hal yang dinamis dan selalu berubah.

Dalam dunia politik, hubungan antar individu, kelompok, atau partai politik bisa berubah-ubah seiring berjalannya waktu.  Hal ini dipengaruhi oleh berbagai faktor.

Tujuan politik suatu pihak bisa berubah seiring waktu. Apa yang dianggap penting hari ini, belum tentu penting besok.

Perubahan dalam struktur kekuasaan bisa mengubah aliansi politik. Pihak yang sebelumnya berseteru bisa menjadi sekutu, begitu pula sebaliknya.

Perubahan itu juga terjadi karena adanya tekanan publik. Opini publik yang berubah bisa memaksa para politisi untuk mengubah sikap dan menjalin kerjasama baru.

Dua partai politik yang sering berseteru dalam satu pemilihan umum, bisa saja bekerja sama dalam pemilihan umum berikutnya jika memiliki kepentingan yang sama.

Seorang politisi yang sangat kritis terhadap kebijakan pemerintah, bisa saja mendukung kebijakan tersebut di masa depan jika kebijakan itu dianggap menguntungkan, kepentinganya  atau konstituennya.

Politik adalah soal kepentingan. Kepentingan politik adalah hal yang dinamis dan selalu berubah.

Tidak ada musuh abadi. Dalam politik, tidak ada musuh abadi, hanya kepentingan yang abadi.

Aliansi politik bersifat sementara. Aliansi politik bisa terbentuk dan bubar kapan saja.

Konsep ini membantu kita memahami mengapa aliansi politik bisa berubah-ubah.

Dengan memahami konsep ini, kita bisa lebih kritis dalam menilai tindakan para politisi.

Demikianlah yang terjadi dalam hubungan kerjasama politik antara Prabowo dan Jokowi yang selama ini mesra hubungannya dalam kepentingan yang sama yaitu Pilpres.

Tetapi kemudian timbul fenomena retak. Apakah karena kepentingannya mulai berbedah ? Sangat boleh jadi.

Berawal dari perbedaan kepentingan antara Prabowo dan Jokowi mengenai penggunaan prioritas anggaran negara.

Bermula saat Presiden Joko Widodo dalam pidato nota keuangan mengungkapkan anggaran pembangunan infrastruktur tahun 2025, disiapkan sebesar 400,3 triliun rupiah.

Anggaran tersebut mencakup keberlanjutan pembangunan Ibu Kota Nusantara tahun 2025. (Cnn,16/8-2024).

Namun, disaat Prabowo menjelang dilantik di tangan Presiden terpilih, anggaran pembangunan IKN anjlok.

Dalam rancangan Anggaran Pendapatnya dan Belanja Negara sebesar Rp 143,1 miliar.

Nilainya lebih rendah daripada dana yang digelontorkan oleh Presiden Joko Widodo (Koran Tempo,26 Agustus 2024). 

Prabowo Subianto diminta untuk mempertimbangkan kembali keberlanjutan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara.

Pasalnya, pembangunan megaproyek Jokowi itu dinilai masih akan membutuhkan dana fantastis. 

Di sisi lain, Prabowo Subianto yang resmi menjabat pada 20 Oktober mendatang akan langsung dibebani utang jatuh tempo senilai Rp800 triliun.

Maka, ekonom mewanti-wanti presiden terpilih itu untuk menentukan program prioritas.

Direktur Program Indef, Eisha M Rachbini menyatakan bahwa Prabowo harus jeli melihat program prioritas yang sekiranya bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih besar.

"Harus fokus ke target jangka panjang, mana program yang bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi, kontribusinya lebih tinggi," katanya dalam sebuah diskusi di Jakarta. 

"Selain pertumbuhan ekonomi, kita juga harus lihat kesejahteraan masyarakat. Mengurangi kesenjangan, menyerap tenaga kerja yang lebih besar lagi untuk menjalankan program yang memang harus dipilih," imbuhnya. 

Lebih lanjut, Direktur Pengembangan Big Data Indef, Eko Listiyanto secara blak-blakan bahkan meminta Prabowo fokus pada program makan bergizi gratis. Dibandingkan IKN, program unggulan Prabowo pada masa kampanye tersebut dinilai jauh lebih bisa memberi dampak besar pada ekonomi negara.

"Alasannya, program yang menjadi 'jualan' Prabowo-Gibran di Pilpres 2024, bisa menjadi stimulan sektor ekonomi.

Ini (makan bergizi gratis), kemungkinan bisa mendorong pertumbuhan ekonomi lebih tinggi skala nasional," tuturnya.

Sementara IKN, selain pertumbuhan ekonominya dianggap kurang, proyek ibu kota baru tersebut juga dinilai bisa membebani APBN. (Warta Ekonomi, 5 Juli 2024).

Fenomena kedua perihal retaknya hubungan Perabowo dan Jokowi adalah ketika Prabowo Singgung tentang "Haus Kekuasaan" di Kongres PAN 25 Agustus 2024, 09:25 WIB Presiden terpilih, Prabowo Subianto, menyinggung pihak yang terlalu haus dengan kekuasaan.

Menurutnya, tindakan tersebut justru berpotensi merugikan dan merugikan masyarakat.

Prabowo menyampaikan hal itu saat menyampaikan pidato pada acara penutupan Kongres ke-6 Partai Amanat Nasional (PAN) di Jakarta, Sabtu (24/8/2024) malam.

Awalnya, Ketua Umum Partai Gerindra itu menyinggung soal arti politik yang telah ia pelajari selama ini.

Menurutnya, untuk memperbaiki kehidupan rakyat, seseorang yang berkecimpung di dunia politik perlu mendapatkan dukungan publik untuk menjadi pemimpin melalui pemilu.

Namun, katanya, ada juga pihak yang terlalu haus dengan kekuasaan.

Sehingga, menghalalkan segala cara untuk melanggengkan kekuasaan dengan cara yang tidak seharusnya.

“Mereka-mereka yang terlalu haus dengan kekuasaan, dan kadang-kadang kekuasaan itu hendak dibeli, hendak diatur, hendak dikendalikan oleh kekuatan-kekuatan lain, kekuatan-kekuatan di luar kepentingan rakyat,” ingat Prabowo (Kompas. Kocom.25/8-2024).

Akhirnya, Perabowo tak perlu menjalankan perogram- perogram yang tidak logis dan tak mendesak, terutama Warisan Jokowi.

Apa mau dikata, pemerintahan Prabowo Akan kebagian tugas mencuci piring kotor yang ditinggalkan Jokowi (Editorial Tempo, 30 Agustus 2024).

Fenomena retaknya hubungan politik tersebut masih bisa bertambah kedepannya. Bahkan bisa lebih dahsyat lagi.

Memang, tidak ada kawan yang abadi dalam politik karena yang abadi hanyalah kepentingan. Wallahu a’lam bissawwabe.(*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved