Opini
Calon Tunggal dan Daulat Rakyat
Hal ini dapat diamini karena secara prinsip proses demokasi melalui pemilihan pemimpin yang ditentukan oleh rakyat adalah masih lebih baik
Oleh: Adi Suryadi Culla
Dosen Fisip Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Pilkada sebagai proses elektoral atau sarana untuk memilik pemimpin melalui pemilihan oleh rakyat, sebenarnya merupakan sebuah sistem demokrasi yang patut diberikan ruang yang layak.
Hal ini dapat diamini karena secara prinsip proses demokasi melalui pemilihan pemimpin yang ditentukan oleh rakyat adalah masih lebih baik daripada lewat sistem “penunjukan” (otoritarian).
Dengan memilih pemimpin melalui pemilihan umum atau pilkada secara langsung, maka rakyat mendapatkan hak politiknya sebagai suatu hak asasi universal dimana mereke berpartisipasi langsung menentukan pengelolaan pemerintahan.
Proses keterlibatan itu tak hanya sebagai tanggungjawab prosedural, namun juga merupakan substansi demokrasi itu sendiri yang intinya didasarkan pada suara sang pemilik “daulat politik”.
Namun demikian pemilu atau pilkada sebagai prosedur demokrasi bukan tanpa kelemahan.
Demokrasi ternyata juga menyimpang cacat bawaan dimana dalam ruang kontestasi yang disediakan, terjadi kemungkin persaingan kemampuan dari aktor-aktornya.
Karena itu resiko logis dalam sistem tersebut adalah munculnya aktor yang kuat dengan kekuatan yang dominatif mengalahkan calon yang lemah.
Tidak hanya setelah kontestasi aktor yang kuat itu lahir sebagai pemenang, namun bisa terjadi juga dalam proses pemilihan yang mengantarkan sang aktor politik ke dalam proses seleksi.
Akibat proses seleksi tersebut, ada calon yang terdepak, atau hanya dua calon yang head to head, atau bisa juga bermuara pada munculnya calon tunggal atau kandidat tanpa lawan (unopossed candidate).
Mengapa Calong Tunggal?
Regulasi menjamin keberadaan calon tunggal. Atas hasil uji materi UU No. 8/2015 tentang Pemilu yang disetujui MK, Pilkada harus terus berlanjut meskipun yang tampil hanya calon tunggal.
Untuk memberi landasan sebagai suatu proses demokasi, maka calon tunggal akan diperhadapkan kolom kosong.
Batas kemenangan atau siapa yang menang dan kalah adalah harus melebihi 50 persen plus satu.
Kalau kolong kosong mendapatkan suara lebih dari 50 persen atau kandidat tungggal tidak mendapatkan suara lebih dari 50 persen dari hasil pemilihan, maka pilkada dimenangkan oleh kolom kosong.
Munculnya calon tungal itu bisa disebabkan proses politik yang kompleks.
Tapi salah satu penyebab adalah karena ada calon yang memborong partai politik.
Atau partai hanya merapat ke satu calon saja. Mungkin ada calon lain yang ingin menjadi penantang, namun karena persyaratan “tiket” dukungan partai tidak cukup, akhirnya urung untuk jadi kontestan.
Apa pasalnya? Yang paling sederhana, adalah karena kecenderungan pragmatisme parpol, Yaitu, mengarahkan dukungan pada calon yang mampu memberikan jaminan elektoral politik lebih menjanjikan daripada calon lainnya.
Bisa jadi juga karena faktor mahar politik, tapi bisa jadi juga terkait faktor elektabilitas; sehingga seluruh partai hanya merapat ke satu calon tersebut karena tidak ada partai yang mau kalah, semuanya mau menang.
Maka intinya, secara politik riil pragmatisme papol tersebut berkontribusi pada lahirnya calon tunggal.
Kasus Pilkada Makassar
Data menunjukkkan kecenderungan fenomena calong tunggal yang semakin banyak terjadi dalam setiap tahapan Pilkada dari waktu ke waktu.
Dalam kasus Pilkada tahun 2018, saat itu fenomena calon Tunggal di Makassar bukan satu-satunya.
Ada sekitar 18 daerah dalam Pilkada Serantak saat itu yang melaksanakan Pilkada dengan calon tunggal. Salah satunya Makassar.
Dan kejadian yang unik itu lalu menjadi suatu preseden besar, ketika kotak kosong yang menang.
Kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar tersebut, menjadi suatu peritiwa demokrasi yang unik, bahkan mungkin satu-satunya kejadian dalam paraktek demokrasi di belahan bumi manapun.
Ada beberapa pendapat kritis yang muncul dalam merespon preseden politik unik tersebut, dalam kaitan perspektif demokrasi: kememangan kotak kosong itu menjadi tamparan bagi partai politik yang gagal dari segi kaderisasi hingga soal pragmatisme yang dianggap makin marak.
Kemenangan kotak kosong menjadi tamparan sistem demokrasi.
Hal ini karena peristiwa itu menunjukkan kekalahan subyek (kandidat) atas obyek (kolom kosong); apalagi mengingat bahwa subyek politik demokrasi sebenarnya adalah manusia sebaai aktort.
Seharusnya yang berkompetisi adalah subyek dengan subyek tapi yang terjadi adalah subyek dengan obyek dan yang menang adalah obyek politik (kolom kosong).
Kotak Kosong, Ancaman?
Partai politik gagal sebagai wadah partisipasi politik. Parpol tidak berfungsi efektif dalam mengusung calon, padahal calong diusung sudah mengakumulasi atau memborong hampir seluruh parpol.
Ini menunjukkan secara nyata bahwa dukungan mayoritas partai tidak berbanding linier dengan kemenangan.
Peristiwa kekalahan kandidat oleh kotak kosong munjukkan bahwa parpol sebagai mesin politik (sarana artikulasi, agregasi, komuniksi dan rekrutmen politik) sebenarnya sangat lemah.
Faktor lain adalah soal kaderisasi politik tidak berjalan sesuai fungsi utama parpol.
Tampilnya kolom kosong karena parpol tidak memiliki kader yang dapat dipilih dengan dukungan signifikan.
Kandidat yang diusung legitimasinya lemah, terlepas yang bersangkutan kader internal partai atau eksternal partai lain.
Padahal banyak kader parpol yang mungkin memilik potensi namun tidak dilirik, juga bisa pula sebaliknya parpol tidak berhasil melahirkan kader untuk menjadi pemimpin.
Faktor lain bisa bersumber dari kualitas kandidat politik yang berkontestasi sebagai calon tunggal yang tidak mampu bersaing dalam melawan kotak kosong, karena kapabilitas individualnya dan dukungan elektoral tidak kuat berbanding dukungan kotak kosong.
Bukan kotak kosong yang kuat tapi kandidat yang lemah. Kehadiran calon Tunggal nyaris hanya dipaksakan, tanpa basis kualifikasi kompetitif.
Tak kurang pentingnya adalah faktor perilaku pemilih yang kritis dan rasional.
Ada kondisi yang menimbulkan reaksi pemilih yang krusial, yakni terkait dengan preseden diskualifikasi calon petahana atau kontestan lain yang vulgar tertangkap direkayasa dan didzalimi di mata publik pemilik suara.
Pemilih kemudian memprotes diskualifikasi atas calon yang seharusnya memiliki hak kontestasi.
Ujungnya kemenangan kotak kosong dalam Pilkada Makassar saat itu juga dtafsirkan tidak terlepas dari protes pemilih terhadap kegagalan sistem politik di satu sisi dan bentuk dukungan di sisi lain atas calon yang terdiskualifikasi.
Terakhir yang dapat dikaitkan dengan kemenangan kotak kosong adalah manuver elit yang beroposisi.
Yaitu, para elit berpengaruh baik dari kalangan politik maupun elit informal yang dalam kepentingan mereka yang beragam dalam melatari motif mereka, namun bertemu dalam suatu muara yang sama: menolak hadirnya kotak kosong.
Ada semacam “gerakan sunyi” atau sosialisasi penolakan mereka yang beroposisi terhadap calon Tunggal, untuk mengarahkan masyarakat untuk memilih kotak kosong.
Ini menunjukkan bahwa kostasi kotak kosong bukan berarti suatu ruang kosong, karena di balik itu ada dukungan politik terhadapnya melalui kelompok-kelompok yang beroposisi atau tidak mendukung calon tunggal.
Quo Vadis?
Fenomena calon tunggal itulah yang kemudian menjadi sorotan dan kritik atas kelemahan sistem demokrasi, sebagaimana banyak disorot dalam Pilkada di Indonesia akhir-akhir ini. Lalu, apakah dengan calon tunggal berarti Pilkada harus dibatalkan?
Regulasi pilkada di Indonesia, kendati kendati kontestan hanya satu atau calon tunggal itu tidak membatalkan pemilihan.
Pemilihan harus tetap digelar kendati pun tak ada kontestan lain.
Ada hak politik calon tersebut untuk tetap diberikan ruang untuk dipilih (pemilihan), dan karena itu pilkada tidak boleh batal hanya karena calon hanya satu.
Maka, solusnya lawan yang dihadapi jika pilkada terus dilanjutkan adalah “kotak kosong”.
Rakyat yang akan menentukan pilihannya, dan itu juga dari segi prosedural dapat dianggap sebagai suatu proses demokrasi, berbasis prosedur regulasi Pilkada.
Debat tersisa terkait aspek kelemahan substansial regulasi tersebut, hal itu kiranya yang perlu jadi evaluasi mendasar ke depan.
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.