Opini Aswar Hasan
Opini Dosen Unhas: Hidup dengan Mindfullness
Mindfulness dan agama memiliki kesamaan yang mendalam dalam tujuan dan nilai-nilai yang mereka anjurkan.
Oleh: Aswar Hasan
Dosen Fisipol Unhas
TRIBUN-TIMUR.COM - Hidup dengan Mindfullness adalah hidup dengan kesadaran yang disadari makna hakekat dan tujuannya dalam kaitannya dengan lingkungannya, sehingga ia dalam keberadaannya, saling sinergis dalam harmoni sebagai makhluk ciptaan Nya.
Pemaknaan yang tepat dari kata "mindfulness" dalam bahasa Indonesia adalah "kesadaran penuh" atau "kesadaran saat ini". Mindfulness merujuk pada keadaan di mana seseorang sepenuhnya hadir dan sadar terhadap apa yang sedang ia lakukan, tanpa menghakimi atau bereaksi berlebihan terhadap situasi atau pikiran yang muncul.
Banyak yang salah memahami antara “mindfulness” dan “awareness” khususnya yang mengartikannya sama, padahal hakekat makna keduanya berbeda.
Perbedaannya terletak pada kedalaman dan fokus dari kesadaran yang dimaksud. Mindfulness lebih mengacu pada kesadaran penuh dan perhatian yang disengaja terhadap momen saat itu.
Sementara awareness (yang juga sering diartikan Kesadaran) adalah kesadaran atau pengetahuan tentang sesuatu. Lebih luas dan tidak selalu melibatkan fokus seperti dalam mindfulness.
Misalnya, seseorang bisa memiliki awareness tentang lingkungan sekitar, situasi, atau masalah sosial tanpa harus terlibat secara mendalam atau reflektif. Awareness bisa juga lebih bersifat pasif, di mana seseorang hanya sadar akan sesuatu tanpa interaksi atau perhatian khusus yang mendalam.
Secara singkat, mindfulness adalah bentuk khusus dari awareness yang sangat terfokus dan terarah pada pengalaman saat itu. sementara awareness lebih umum dan mencakup segala bentuk kesadaran secara umum.
Hidup dengan mindfulness sekarang ini merupakan praktik hidup yang mengajak individu untuk hadir sepenuhnya pada kehidupan itu sendiri.
Dalam Islam, konsep dzikrullah (mengingat Allah) merupakan bentuk mindfulness, di mana individu diajak untuk selalu mengingat Sang Pencipta dan hadir (secara fikir dan zikir) dalam setiap aktivitas.
Mindfulness dalam agama memiliki beberapa kesamaan dalam nilai-nilai yang dianjurkan. Keduanya menekankan pentingnya; Pertama kasih sayang.
Baik mindfulness maupun agama mengajarkan pentingnya mengembangkan kasih sayang terhadap diri sendiri dan sesama.
Kedua, Kesabaran. mindfulness mendorong individu untuk mengembangkan kesabaran dalam menghadapi berbagai situasi, sementara agama mengajarkan pentingnya bersabar dalam menghadapi cobaan hidup.
Dalam al Qur’an sendiri mengajarkan pentingnya kesabaran:
“Ya orang-orang yang beriman, mintalah pertolongan (kepada Allah) dengan sabar dan shalat. Sesungguhnya Allah beserta orang-orang yang sabar.
Ketiga, Mindfulness mengajarkan untuk menerima segala sesuatu apa adanya, tanpa penilaian.
Ajaran agama juga menekankan pentingnya menerima takdir dan kehendak Tuhan. Takdir dalam Islam merupakan bagian dari rukun iman yang harus diyakini.
” Engkau beriman kepada Allah, kepada para Malaikat-Nya, Kitab-kitab-Nya, kepada para rasul-Nya, kepada hari Kiamat dan kepada takdir yang baik maupun yang buruk .” (HR.Muslim,).
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin rahimahullah menyatakan bahwa beriman kepada takdir itu wajib karena bagian dari rukun iman yang enam sebagaimana disebutkan dalam hadits Jibril di atas.
Keempat, Kerendahan hati. agama mendorong individu untuk mengembangkan kerendahan hati dan melepaskan ego yang lebih mementingkan diri sendiri.
Al-Qur'an sebagai kitab suci umat Islam, memberikan petunjuk yang sangat jelas mengenai pentingnya kerendahan hati. Sebagaimana ajaran Al-Qur'an yang secara eksplisit maupun implisit mendorong umatnya untuk selalu bersikap rendah hati, tawadhu', dan tidak sombong sebagaimana firman Allah dalam QS. Al-Luqman: 18 Janganlah memalingkan wajahmu dari manusia (karena sombong) dan janganlah berjalan di bumi ini dengan angkuh. Sesungguhnya Allah tidak menyukai setiap orang yang sombong lagi sangat membanggakan diri.
TAHAPAN MINDFULLNESS
Jika mindfullness kita bawa ke sistem Islam, setidaknya ada 6 (enam) tahapan yang harus kita lalui menurut filosof Fahruddin Fais, yaitu : satu, Niat yang ikhlas.
Segala sesuatu yang mau dilakukan dan bernilai ibadah haruslah dilakukan dengan niat lillahitaalah.
Sah tidaknya sebuah perbuatan tergantung niatnya. Innamal a’malu binniyat. Niat itu penting karena segalanya ditentukan oleh niat.
Olehnya itu luruskanlah niat.
Kedua, zikir. Segala sesutu yang hendak dilakukan seharusnya disandarkan kepada Allah. Sebab dengan demikian, hati menjadi tenang. Dalam surat ar Rad ayat 28 disebutkan;
“(yaitu) orang-orang yang beriman dan hati mereka menjadi tenteram dengan mengingat Allah. Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenteram."
Ayat ini menurut tafsir al Misbah menjelaskan salah satu ciri khas orang-orang beriman yang sejati, yaitu hati mereka selalu merasa tenteram dan damai karena senantiasa mengingat Allah.
Kehidupan dunia yang penuh dengan gejolak dan cobaan tidak akan mudah menggoyahkan iman dan ketenangan hati mereka.
Ketiga, pikir. Unsur pikir dalam Islam sangat penting karena merupakan salah satu aspek yang mendorong umat Muslim untuk menggunakan akal dan pengetahuan dalam memahami ajaran agama serta fenomena alam.
Sebagaimana perintah dalam Al-Qur'an Surah Al-Imran [3:190-191], yang menyatakan bahwa orang-orang yang menggunakan akal mereka dalam merenungi penciptaan langit dan bumi adalah yang paling dekat dengan Allah.
Keempat, ikhtiar. Ikhtiar dalam Islam merujuk pada usaha atau upaya yang dilakukan oleh seseorang untuk mencapai tujuan tertentu, sambil tetap bergantung kepada Allah dalam hasil akhirnya.
Konsep ini mencakup berbagai aspek kehidupan, termasuk usaha dalam pekerjaan, ibadah, pendidikan, dan lain-lain.
Kelima, Tawakkal. Ikhtiar yang telah diupayakan itu, harus selalu disertai dengan tawakkal, yaitu berserah diri kepada Allah setelah melakukan segala upaya yang maksimal.
Ini berarti, setelah seseorang berusaha dengan sungguh-sungguh, dia menyerahkan hasilnya kepada Allah, dengan keyakinan bahwa apapun yang terjadi adalah yang terbaik menurut kehendak-Nya.
Keenam, Muhasabah. Muhasabah dalam Islam berarti introspeksi diri atau evaluasi diri, di mana seorang Muslim merenungkan dan menilai perbuatan, pikiran, dan niatnya. Muhasabah dilakukan untuk mengidentifikasi kesalahan atau dosa yang telah dilakukan dan untuk meningkatkan kualitas ibadah serta perilaku sehari-hari.
Mindfulness dan agama memiliki kesamaan yang mendalam dalam tujuan dan nilai-nilai yang mereka anjurkan.
Dengan menggabungkan praktik mindfulness dengan ajaran agama, individu dapat mencapai keseimbangan antara kehidupan spiritual dan kehidupan duniawi.
Mindfulness tidak hanya bermanfaat untuk dirinya tetapi juga dapat memperkaya pengalaman beragama dan memperkuat hubungan dengan Sang Pencipta. Wallahu a’lam bissawabe.(*)
Isi komentar sepenuhnya adalah tanggung jawab pengguna dan diatur dalam UU ITE.