Makassar Mulia
Kota Makassar Komitmen Dalam Kreatifitas

Opini

Lontara Sebagai Pusaka atau Pustaka

Di antara banyaknya suku bangsa di Indonesia salah satu yang mempunyai tradisi tulis adalah suku Bugis, makassar di Sulawesi Selatan.

dok pribadi
Muhammad Akbar - Ketua Kaderisasi PMII Mangkoso 

Lontara Sebagai Pusaka atau Pustaka

Oleh: Muhammad Akbar

Ketua Kaderisasi PMII Mangkoso

TRIBUN-TIMUR.COM - Suku bangsa yang ada di Indonesia tidak banyak yang mempunyai tradisi tulis. 

Tradisi tulis sangat penting untuk dijadikan sebagai sarana pengabdian sebuah pikiran, gagasan, perasaan, dan sebagai sarana komunikasi. 

Di antara banyaknya suku bangsa di Indonesia salah satu yang mempunyai tradisi tulis adalah suku Bugis, makassar di Sulawesi Selatan. 

Merekalah yang disebut sebagai pemilik naskah lontara.

Beberapa ahli sependapat bahwa abjad lontara yang didalamnya terdapat huruf Bugis, dan huruf Makassar berasal dari india, yaitu aksara kawi, atau dari huruf pallawa. 

Kemudian abjad tersebut dimodifikasi hingga bentuknya yang sekarang dan berfungsi sebagai medium pengabadian sejarah, dan karya orang-orang Bugis, Makassar di Sulawesi Selatan.

Awal mula Tradisi tulis dan Lontara

Awal mula tradisi tulis Suku Bugis Makassar cukup sulit untuk memastikan kapan awal terjadinya, dikarenakan  sulitnya menemukan data maupun literatur yang membahas  terkait kapan tradisi tulis itu dilakukan. 

Namun beberapa ahli sependapat bahwa tradisi tulis itu sudah dimulai jauh sebelum masuknya agama islam di Sulawesi Selatan, itu artinya sebelum tahun 1600. 

Masuknya islam di Sulawesi Selatan sangat penting dijadikan sebagai patokan kapan awal mula terjadinya tradisi tulis, karena pada umumnya cerita-cerita kuno di Sulawesi Selatan sekalipun tidak pernah menyinggung agama islam.

Jika memperhatikan berbagai kisah-kisah kuno Bugis yang dikenal dengan nama Galigo, tampak jelas bahwa kandungan ceritanya berkisar di penghujung abad ke 13- hingga abad ke-17, atau sebelum masuknya islam di Slawesi Selatan.

Sementara itu, jika La Galigo ditulis pada abad ke-17, sudah  pasti dalam ceritanya akan menyinggung soal islam sejak awal kisahnya. 

Atas asumsi ini menjadi dugaan tradisi tulis baru dimulai di awal abad ke-14 atau pada akhir abad ke-13, sejak itulah tradisi tulis dimulai sebagai pengabadian buah pikiran,  dan sebagai perekaman beberapa kejadian di Sulawesi Selatan.

Sedangkan awal penciptaan lontara diciptakan oleh seorang syahbandar yang menjabat sebagai Tumailalang (Menteri urusan istana luar dan dalam negeri) di kerajaan Gowa pada masa pemerintahan Raja Gowa ke IX Daeng matanre Karaeng Manguntungi (1510-1546), syahbandar tersebut bernama Daeng Pamatte. 

Alasan aksara ini dibuat yakni dengan alasan pada saat itu kerajaan Gowa ingin menuliskan apa yang mereka ucapkan agar bisa menuliskan kejadian-kejadian pada masa itu. 

Aksara Lontara pada masa ini disebut sebagai aksara Lontara Toa atau jangang-jangang (Burung). 

Dalam perkembangannya aksara Lontara berubah nama pada saat agama islam dianut oleh mayoritas masyarakat Sulawesi Selatan, aksara Lontara yang mengalami perubahan ini disebut Lontara Bilang-Bilang biasa diartikan dalam Bahasa Indonesia adalah hitungan, Lontara bilang-bilang ini diperkirakan muncul pada abad ke-16 yakni pada masa pemerintahan Raja Gowa ke XIV Sultan Alauddin (1593-1639).

Perubahan bentuk aksara Lontara bukan hanya sekedar perubahan biasa atau hanya keinginan perubahan untuk menyempurnakan aksara Lontara, melainkan perubahan itu terjadi karena, menandakan terjadinya suatu revolusi yang tidak hanya merombak huruf aksara, tetapi juga merombak tatanan masyarakat, kehidupan sosial politik dan ideologi tentunya mengalami perubahan. 

Lontara sebagai ilmu pengetahuan

Pada zaman yang berlangsung sekitar 3 abad lamanya, naskah Lontaraq menjadi sumber ilmu pengetahuan.

Karena naskah lontaraq dijadikan suatu benda Pustaka yang sangat penting, naskah Lontara bukan hanya dipelajari oleh intelektual di zamannya, bahkan masyarakat biasa pada zaman itu juga ikut mempelajarinya. 

Naskah yang memuat soal kejadian-kejadian pada zaman itu, silsilah Raja-raja, dan bahkan sejarah kerajaan-kerajaan, semuanya ada dalam naskah lontara tersebut. 

Bukan hanya itu, naskah Lontara dijadikan sebuah ilmu pengetahuan dikarenakan, di dalam naskah juga memuat berbagai ramalan tentang hari baik dan buruk, bukan hanya membicarakan nasib dan peruntungan, tetapi juga memuat perkiraan tentang turunnya hujan atau datangnya musim kemarau yang Panjang. 

Selain itu, dikenal lontara pa’bura, yang  berisi tentang tata cara pengobatan, jenis-jenis penyakit dan resep pembuatan obat. 

Lontara pa’bura adalah salah satu diantara naskah yang sangat penting di zamannya, dan masih banyak lagi lontara. 

Makanya tidak salah masyarakat dulu menjadikan naskah lontaraq sebagai ilmu pengetahuan.

Akan tetapi lontara yang dijadikan sebagai ilmu pengetahuan tidak bertahan lama. 

Terjadi degradasi kepemilikan naskah-naskah. Dimulai sejak runtuhnya kerajaan Gowa atau sejak masuknya dominasi asing di Sulawesi Selatan, kurang lebih tahun 1670 lontara sebagai ilmu pengetahuan secara berangsur-angsur dilupakan. 

Kemudian Lontara menjadi benda warisan yang dibagi-bagikan pada generasi-generasi pewaris kekuasaan tradisional yang nantinya terpecah-pecah. 

Naskah tersebut masih dalam penggunaannya sebagai sumber ilmu pengetahuan dan informasi, namun pemilik yang diberikan lontara sebagai warisan hidup terpisah-pisah di berbagai kekuasaan tradisional yang berkuasa di kerajaan-kerajaan kecil.

Akan tetapi saat terjadinya ekspedisi penaklukan belanda terhadap kerajaan-kerajaan di pedalaman pada tahun 1905. 

Pusat-pusat kekuasaan tradisional dan kerajaan-kerajaan pedalaman dihancurkan melalui perang kolonial dan pada saat itulah Lontaraq mengalami degradasi kepemilikan yang amat drastis, para keturunan bangsawan yang berkuasa di kerajaan kecil maupun pedalaman kehilangan kekuasaan. 

Dalam keadaan demikian benda Pustaka pun ikut terbagi Bersama benda-benda pusaka. 

Sejak saat itulah naskah atau benda Pustaka tidak berguna lagi karena isinya, melainkan menjadi bermakna karena wujudnya, naskah yang sebelumnya dikenal sebagai sumber ilmu pengetahuan atau benda Pustaka berubah menjadi benda pusaka.

Lontara di zaman sekarang 

Kebudayaan Bugis Makassar telah melahirkan ribuan manuskrip lontaraq yang mencakup sastra, silsilah, sejarah, pertanian, profesi dan lain sebagainya. 

Dari manuskrip itu, ratusan judul sudah menjadi koleksi perpustakaan luar negeri. 

Ribuan judul sudah menjadi koleksi perpustakaan nasional dan daerah. 

Belum lagi mana yang rusak dan terbakar, hilang dan bebagai hal tragis yang menimpa manuskrip. 

Salah satu tantangan yang dihadapi di era modern ini adalah pola pikir terhadap manuskrip khususnya lontara, sebab manuskrip lontara lebih diperlakukan sebagai benda pusaka dibandingkan sebagai benda Pustaka atau sumber ilmu pengetahuan. 

Sebagai pusaka lontaraq harus dijaga sakralitasnya, dan sangat rahasia, sehingga manfaat edukasinya kurang, dan sulit untuk masyarakat mengaksesnya. 

Lontara yang seharusnya diperlakukan sebagai benda Pustaka atau bahan literasi untuk generasi agar transformasi pengetahuan dapat berkelanjutan. 

Mengkaji sejarah lokal Sulawesi Selatan, harusnya mempunyai rujukan dan referensi yang jelas. 

Selama ini yang menjadi tantangan bagi sastrawan bahkan pemuda dalam mengkaji sejarah lokal Sulawesi Selatan adalah rujukan dan referensi yang sangat sulit ditemukan, walaupun ada lontara yang dijadikan referensi, namun sulit diakses, karena lontara adalah benda pusaka dan disakralkan sehingga sulit ditemukan.

Beruntung di zaman berkembangnya teknologi ini, beberapa lontara sudah terdigitalisasi. 

Sehingga informasi dan ilmu pengetahuan yang ada di dalamnya dapat diakses dengan mudah. 

Salah satu tantangan untuk menyelamatkan informasi dan pengetahuan dalam lontara yang tersimpan pada individu adalah terlalu sakralnya manuskrip tersebut sehingga mudah dibiarkan rusak dan lapuk tanpa dibaca atau diselamatkan. 

Oleh karena itu, pentingnya bagi semua pihak untuk sadar seberapa pentingnya pelestarian dan pengembangan budaya, untuk menyelamatkan informasi dan ilmu pengetahuan yang dimiliki oleh orang-orang terdahulu. (*)

Sumber: Tribun Timur
Rekomendasi untuk Anda
Ikuti kami di
AA

Berita Terkini

Berita Populer

© 2025 TRIBUNnews.com Network,a subsidiary of KG Media.
All Right Reserved